Tuesday, January 2, 2007

Buramnya Penegakan Hukum 2006

Marwan Mas
Doktor Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar

Secara umum, penegakan hukum di berbagai bidang pada 2006 menunjukkan perbaikan dibanding tahun 2005. Kinerja kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 2006 memberi harapan baru dalam memberantas jejaring korupsi, meredam bom, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serta berbagai tindak kriminal yang meresahkan. Kesemuanya dapat dijadikan ukuran untuk lebih meningkatkan kualitas penegakan hukum memasuki tahun 2007 yang kemungkinan jauh lebih berat dan rumit.

Persepsi publik terhadap kinerja aparat hukum dalam menangani kejahatan kelas kakap yang cenderung kehilangan kepercayaan, sebaiknya dijadikan cambuk untuk lebih memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas penganganan kejahatan berskala besar. Banyaknya perkara korupsi di Pengadilan Negeri yang diputus bebas, tentu bisa menjadi potret buram pemberantasan korupsi secara nasional.

Perlawan para koruptor
Salah satu aspek yang mencuat di tahun 2006, adalah munculnya perlawanan para koruptor terhadap proses hukum yang dilakukan KPK. Dapat dilihat pada upaya sejumlah terdakwa korupsi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengajukan gugatan uji meteri UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK) dan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tipikor yang diatur dalam Pasal 53 UU KPK itu dianggap bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (3) UUD bahwa badan-badan lain yang fugsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam UU.

Pemohon menilai, kehadiran Pengadilan Tipikor yang dibentuk melalui Pasal 53 sampai Pasal 62 UU KPK mestinya diatur dalam UU tersendiri, sehingga hak-hak konstitusional pemohon telah dilanggar karena diperiksa dan diadili oleh badan yang pembentukannya membonceng UU KPK. Beruntung Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terlena dengan pertentangan itu, karena meskipun MK menilai Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (3) UUD, tetapi MK tidak serta-merta menyatakan Pasal 53 UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang harus segera dilaksanakan.

MK memberikan solusi dengan melakukan penemuan hukum secara sosiologis dan sistematis, bahwa esksistensi Pengadilan Tipikor tetap dipertahankan karena kehadirannya begitu didambakan rakyat yang menghendaki para koruptor dijatuhi pidana yang setimpal. Tidak satupun perkara korupsi yang diperiksa Pengadilan Tipikor dijatuhi putusan bebas seperti pada Pengadilan Negeri. Karena itu, MK meminta DPR dan pemerintah memperbaiki landasan konstitusional Pengadilan Tipikor dengan membuat UU tersendiri.

Perlawanan lain para koruptor, adalah uji materi terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28-D Ayat (1) UUD 1945. MK tidak mengabulkan permohonan itu, tetapi yang dikabulkan --meskipun tidak diminta pemohon-- adalah tidak lagi mengikat penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31/1999 bahwa "yang dimaksud perbuatan melawan hukum dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana."

Putusan MK ini merupakan langkah mundur dan dapat berimbas pada ketentuan lain. Padahal Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Menafikkan sifat melawan hukum materiil tentu membawa angin segar dan kemenangan bagi koruptor. Penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak bisa lagi melirik ketidaksesuaian harta benda yang melimpah dari seorang pejabat atau mantan pejabat negara dengan penghasilannya. Alasan mendakwa seseorang dalam perkara korupsi hanya dapat dilakukan jika sesuai dengan unsur-unsur suatu pasal yang tertulis.

Tebang salah pilih
Gara-gara penanganan korupsi yang lebih banyak tidak tuntas, citra Indonesia di mata internasional begitu buruk. Keterpurukan citra penegakan hukum dalam memerangi korupsi tidak terlepas dari penerapan 'tebang salah pilih', bukan 'tebang pilih'. Penulis menyadari bahwa adagium 'tebang pilih' biasanya digunakan saat menebang tebu atau bambu yang harus dipilih yang besar-besar dan baik. Yang ditebang tentu saja bukan tebu atau bambu yang kecil-kecil tetapi tebu atau bambu yang besar-besar dan kuat.

Kasus korupsi yang diproses penyidik (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) selama ini justru kasus korupsi kelas ecek-ecek atau jumlah korupsinya relatif kecil. Mereka yang dijerat adalah mantan pejabat yang tidak lagi punya kuasa, atau yang vokal mengkritik aparat hukum. Inilah yang disebut 'tebang salah pilih'. Padahal kalau 'tebang pilih', maka yang mestinya diburu dan diproses adalah koruptor kelas kakap, baik karena jumlah korupsinya yang besar dan mendapat perhatian publik, atau karena dilakukan oleh pejabat negara dan aparat penegak hukum.

Untuk merealisasikan pemberantasan korupsi secara progresif dan tanpa 'tebang salah pilih', sebetulnya sudah didukung oleh produk peraturan perundang-undangan yang memadai. Misalnya, melalui UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001. Tetapi dalam realitasnya masih terjadi perbedaan persepsi antara penuntut umum dan hakim mengenai 'sifat melawan hukum' dan kata 'dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' sebagai delik formal.

Kata 'dapat' merupakan 'delik formal' sehingga penuntut umum tidak perlu membuktikan akibat dari perbuatan melawan hukum itu telah merugikan keuangan atau perekonomian negara. Sudah cukup bila perbuatan yang dilarang terpenuhi, yaitu terjadi perbuatan melawan hukum dengan cara menyimpang dari prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berimplikasi 'dapat' merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Peraturan perundang-undangan dimaksud, bukan hanya yang ditegaskan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga regulasi lain. Bentuk regulasi lain itu bisa berupa peraturan yang dibuat menteri atau gubernur sepanjang diperintahkan ketentuan di atasnya atau tidak bertentangan dengan hirarkhi peraturan perundangan (Pasal 7 Ayat (4) UU Nomor 10/2004).

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum secara konsisten bukan persoalan gampang karena harus ditunjang kemauan dan komitmen yang tinggi. Penanganan kasus korupsi di negeri ini selalu saja diskriminatif alias 'tebang salah pilih'. Tidak semua orang disamakan kedudukannya di hadapan proses hukum (equality before the law). Suka atau tidak, tetapi begitulah potret penegakan hukum selama 2006. Semoga memasuki tahun 2007 terjadi perbaikan yang signifikan dengan mewujudkan tindakan yang lebih progresif agar menimbulkan efek jera bagi para koruptor dan calon koruptor merasa takut untuk mewujudkan niatnya melakukan korupsi.

Ikhtisar
- Penanganan korupsi, masih menjadi catatan buram bagi proses penegakkan hukum selama 2006.
- Salah satu aspek yang penting dalam penanganan korupsi di tahun 2006 adalah munculnya perlawanan dari para koruptor.
- Selain itu, aparat hukum juga masih 'salah pilih' dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi.
- Meski belum sempurna, produk perundangan yang menjadi dasar penanganan korupsi telah memadai.

( )

Sumber: Republika
, 2 Januari 2007

No comments: