Sunday, July 29, 2007

Sastra yang Terbata di Hadapan Kebebasan

Ahmad S Rumi
Dosen sastra Untirta Serang

Isu penting dalam kehidupan sastra Indonesia saat ini, seperti tampak pada beberapa polemik di media massa (Jawa Pos, Media Indonesia, dan Republika) belakangan ini, tak lain adalah kebebasan, lebih tepatnya kegagapan dan kemabukan kita pada isu tersebut. Perdebatan tentang seks dan tubuh dalam sastra, liberalisasi pemikiran, pembongkaran tabu dan belenggu, merupakan bagian dari topik di atas.

Ini menarik, paling tidak untuk membelajarkan kita menyelami makna atau perbedaan pandangan terhadap sosok seksi bernama kebebasan, suatu konsep yang lebih gampang dikatakan daripada dipraktekkan. Dalam hal ini sastrawan dan para penggiat sastra tidak berbeda jauh dengan kalangan lainnya: aktivis partai, aktivis LSM, anggota DPR, birokrat, pengusaha, tim sukses Pilpres/Pilkada, dan bahkan demonstran bayaran yang meneriakkan keadilan dan demokrasi menurut versinya sendiri. Sepuluh tahun era reformasi belum cukup bagi kita untuk dapat memahami makna kebebasan.

Mungkin beginilah jalan masyarakat dari sebuah bangsa yang lama dikolonisasi, dan tidak sebentar dibelenggu Orde Lama-Orde Baru, apalagi sekarang pun kita dijajah oleh bentuk yang lain: neo-imperialisme dalam ekonomi dan budaya global seperti diakui para intelektual poskolonialisme. Celakanya, neoimperialisme ekonomi dan budaya di zaman "merdeka" ini berlangsung halus dan canggih, karena yang dibidik mental manusia.

Secara politik kini kita sudah memasuki era yang bebas. Karena itu, partai-partai bermunculan, gerombolan demonstrasi bentrok di jalanan atas nama rakyat (rakyat yang mana!), proses peradilan lamban karena pelaku kejahatan (utamanya para koruptor) meliak-liuk atas nama kebebasan, tayangan televisi mengeksploitasi publik dan berkelit dalam payung kebebasan, termasuk sastrawan yang konon pejuang (jangan-jangan cuma pemakai) kebebasan itu.

Terjadilah tarik-menarik, perdebatan, baik lisan maupun tertulis, pengerahan massa, hingga dukungan kekuatan dan kekuasaan, ke dalam hal ini termasuk permainan "dana perjuangan". Dalam pertarungan politik dan proses peradilan sudah banyak contohnya: siapa memiliki uang dia yang menang. Dan di manakah posisi rakyat, masyarakat, dan bangsa yang dijadikan pijakan, lebih jelasnya diatasnamakan!

Lalu dalam sastra Indonesia munculah wajah hitam-putih yang berseberangan tajam: sastra tubuh dan lebih-lebih sastra seks berhadapan dengan sastra "penjaga" norma-norma. Bila yang pertama menganggap yang kedua sebagai pelestari tabu dan belenggu, maka yang kedua menilai yang pertama kebablasan.

Kebebasan dan kebablasan: euforia! Inilah yang dengan mudah dapat kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan pasca Orde Baru. Kebebasan sering menjadi dalih untuk menghindar dari semacam tanggung jawab atau "kemalasan berpikir dan melakukan analisis" (pinjam kata-kata Veven Sp Wardhana dalam eseinya di koran ini) seperti dilakukan Veven sendiri yang membela seakan-akan TUK objektif menghargai dan mempraktekan prinsip keberagaman.

Apakah mereka mengira tergolong orang-orang "kritis" dan mampu melakukan analisis? Semoga demikian sehingga mereka mau menyelami akar persoalan secara dalam, termasuk menganalisis mengapa masyarakat merasa ada "penjajahan" halus dari para penguasa dunia yang menjadi "polisi" pergaulan global.

Sebagai bangsa yang lama dijajah dan tertinggal dalam banyak hal, utamanya pendidikan, sehingga mental bangsa masih sering inlander, "prasangka" terhadap "penjajahan" global tidak patut disalahkan. Trauma, jika boleh dikatakan demikian, bagaimanapun tak gampang disembuhkan, apalagi beberapa gejala cukup jelas terlihat. Gejala-gejala itu antara lain sikap pemerintah yang sumir terhadap negara adikuasa, perilaku masyarakat yang kagetan, konsumtif tanpa kritis, gegar budaya (seperti kata Kurnia Efendi dalam diskusi Ode Kampung terhadap perilaku Binhad Nurohmat misalnya), juga snobis dan sok elit di sebagian sastrawan kita.

Kebebasan, kebablasan, keberagaman! Ternyata yang "mabuk" terhadap kebebasan itu hanyalah sekadar mabuk untuk eksplorasi (boleh dibaca: eksploitasi) tubuh dan sekitar seks. Dengan mengutip pemikiran para feminis Eropa, sebagian di antara kita gagah mengatakan perempuan kita tertindas, mari kita rayakan kebebasan, menulis dengan tubuh kita sendiri.

Karena itu, Ayu Utami bangga melakukan "ziarah seks" di Swiss sana (mungkin sebangga istri dan anak pejabat membeli lampu kristal di Paris), tetapi apakah ia peduli pada nasib-nasib perempuan miskin di got-got kota dan desa-desa di Indonesia? Novelnya yang ditaburi puja-puji dan diberitakan besar-besaran, sesungguhnya mirip telenovela yang menceritakan "keluh kesah" dan "gunjingan" perempuan-perempuan muda kaya di kota besar tentang lelaki yang dimimpi dan dibenci. Niatnya mungkin menyetarakan perempuan dan laki-laki, tetapi kesetaraan apa yang diharapkan dari tokoh-tokoh perempuan yang demikian?

Wowok Hesti Prabowo lalu "menghujat" sastra yang mengumbar kelamin itu, juga Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang dianggap sebagai cabang TUK (KUK). Binhad ngeri (mungkin juga jijik) dengan "hujatan" itu, kira-kira sengeri pemilik Lapindo melihat serbuan rakyat Porong Sidoarjo ke Jakarta. Sengeri "suara-suara" rakyat yang "tidak berperadaban" bagi sastrawan yang biasa berkarya di kafe, salon, dan diskotik.

Namun, cobalah pandang dari sebaliknya: kita akan memahami kenapa ada sastrawan-sastrawan yang ngeri dan jijik dengan karya yang temanya dari anu ke anu alias seputar anu. Rakyat yang miskin juga pasti ngeri dan jijik melihat perilaku pemerintah dan pengusaha yang punya segudang hak untuk "bebas" melakukan apapun.

Perbedaan pendapat tentulah wajar. Dari perbedaan itu kita berharap sama-sama menemukan kesadaran dan kemauan untuk masing-masing melakukan introspeksi, menimbang ulang keyakinan dan argumentasi. Perbedaan dan keberagaman harusnya bukan sekedar jargon, apalagi dalih untuk berkelit dari kritik orang.

Pasti akan seru jika hadir orang-orang KUK dalam diskusi Ode Kampung yang bersuasana pribumi itu. Sayangnya, sebagai importir dan laboratorium uji coba pemikiran Barat, mereka lebih suka mencitrakan diri sebagai pemikir elit yang memetakan dunia sastra Indonesia, atau membaptis sastrawan dalam sejumlah festival, diskusi, dan atau tulisan di lingkungan sendiri.

Sebagai komunitas yang awalnya mengimbangi DKJ-TIM dan Horison sebagai "pusat sastra", KUK kini menjadi komunitas besar, khususnya dalam kuantitas program dan dana. Dan kini ia dikritik, antara lain karena wacana yang didengungkannya tak seindah tindak-tanduknya. Orang-orang KUK menggembar-gemborkan perbedaan dan keberagaman, tetapi karya, pikiran, dan perilaku mereka sendiri memperlihatkan keseragaman, dan keseragaman itu diseminasi ke tempat lain, termasuk ke DKJ atau acara-acara lain di komunitas lain yang diasuhnya. Orang-orang KUK mencitrakan diri sebagai para pemikir elit, tetapi yang terjadi cuma gaya hidupnya yang elit. Mereka mengusung perlunya demokrasi, tetapi sikap dan tindakannya yang arogan jelas bertentangan dengan demokrasi.

Jadi kebebasan? Suka tak suka sebagai bangsa, sebagai sastrawan dan penggiat sastra, kita terbata-bata memaknai konsep itu, terlebih dalam mempraktekkannya. Itulah soalnya sebagian di antara sastrawan Indonesia mabuk "memakai" (bukan memperjuangkan!) dan berfoya-foya dengan konsep besar kebebasan di wilayah yang amat sempit: seputar tubuh dan kelamin itu!

( )

Republika, Mingu, 29 Juli 2007

Sunday, July 15, 2007

Salafy dan Salafy Saling Menohok dan Menghujat!

dipublish ulang dari abusalafy

Ditulis oleh abusalafy di/pada 15th Juli 2007

Salafy dan Salafy Saling Menohok dan Menghujat!

Sepertinya perseteruan dan perpecahan antar salafy semakin memanas saja, dan ini baru namanya adil masak hanya umat Islam diluar kelompoknya saja yang jadi sasaran pensesatan dan pengkafiran mereka, iya kan? kali ini mereka bagi-bagi jatah “pensesatan” dan “pengkafiran” atau tuduhan “khawarij” antar sesama mereka.

Mari kita lihat Perseteruan antara kelompok Jakfar Umar Thalib dan kelompok Fauzan Al-Anshari (MMI) yang nota bene sama-sama salafy dan wahabinya, mereka saling hujat dan saling klaim mana yang paling salaf dan yang benar.

Anehnya kelompok Jakfar yang menghujat atau meyalahkan kelompok Fauzan, Jakfar-pun difatwa sesat oleh kelompok salafy yang lain (Baca fatwa tentang Jakfar Umar Thalib yang dimuat “salafy.or.id” disini “Ja’far Umar Thalib telah meninggalkan kita…”).

Jadi mana yang paling Salafy nih? Walhasil kita ikuti saja hujat-menghujat diantara mereka! Dibawah ini akan kami muat bantahan Fauzan Al-Anshari terhadap Jakfar Umar Thalib. Sementara tulisan Jakfar Umar Thalib yang menohok Fauzan dan MMI kami muat juga dibawahnya.

________________________

Siapa Salafi?

Kolom bertitel “Salafi Mesti Berani” tulisan Ja’far Umar Thalib (JUT), yang dimuat majalah Gatra edisi 20 Juni lalu, menarik dicermati. Poinnya, JUT merasa jengah ketika laskar Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melabrak tempat pengajian kelompok salafi di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pengajian yang mestinya membawa kesejukan itu berubah mencaci maki MMI dan mengkhawarijkan amirnya, Ustad Abu Bakar Ba’asyir.

Kelompok salafi di Grogol itu memprotes berita yang dimuat majalah Risalah Mujahidin (RM) edisi 7 (April 2007) halaman 42, berjudul “Mengenal Agen Mossad dalam Gerakan Islam”. Berita itu dianggap melecehkan kelompok salafi. Itulah klaim Ayip Syaifuddin, pengajar Pesantren Daarus Salafi dan Abu Karimah Asykary yang bertindak sebagai penceramah acara “Membongkar Kedustaan Risalah Mujahidin”.

Sebenarnya ada dua hal yang secara substansi perlu mendapat tanggapan. Pertama, dalam memahami makna salafi. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wajib atasmu mengikuti sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin al-mahdiyin….” Imam Muslim dan Bukhari juga meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, “Sebaik-baiknya zaman bagi kalian adalah zamanku ini, kemudian selanjutnya zaman yang mengikuti mereka, kemudian selanjutnya lagi zaman yang mengikuti mereka.” Salafiyah terkait dengan kualitas ahl salaf atau salafush-shalih (generasi terdahulu yang salih) melekat dengan kehidupan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in.

Jadi, salafush-shalih adalah para sahabat RA dan siapa saja yang mengikuti cara dan jalan mereka di antara para tabi’in yang mengikuti mereka pada tiga abad masa Islam yang pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka. Namun tidak ada satu pun nash yang membolehkan kita memutlakkan diri sendiri sebagai yang paling salafi, karena sifat-sifat kita belum teruji. Misalnya dengan membuat Yayasan Ihya as-Sunnah, Ihya at-Turats, Ihya as-Salafi, dan Daarus-Salafi belum tentu salafi. Adalah Abdullah bin Mas’ud pernah berujar, “Jamaah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, walau engkau seorang diri.”

Kedua, definisi khawarij. Dalam sejarahnya, kaum khawarij adalah mereka yang tidak terima dengan keputusan Khalifah Ali RA berdamai (tahkim) dengan Muawiyah. Kemudian khawarij membunuh Ali RA. Sekarang istilah khawarij itu oleh JUT ditujukan kepada siapa pun yang dianggap tidak loyal kepada pemerintah yang sah. Dalam konteks Indonesia, siapa pun yang tidak patuh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) masuk dalam kategori khawarij. Alasannya, karena SBY-JK adalah ulil amri, pemerintah Islam. Walau tidak menerapkan hukum Islam, mereka masih salat, maka harus ditaati.

Lalu, bagaimana dengan ulah JUT sendiri yang pada tahun 2000 meminta izin pada Presiden Abdurrahman Wahid untuk berjihad ke Ambon dan tidak diperbolehkan, tetapi JUT dan Laskar Jihad-nya nekat berangkat ke Ambon? Bukankah itu tindakan khawarij?

Kalau mengikuti logika tersebut, maka Ibnu Taimiyah adalah khawarij. Ini karena Ibnu Taimiyah menentang pemerintah penjajah Holako yang berhasil menguasai Irak pada masa khilafah Abbasiyah. Holako itu muslim, bahkan memberi kebebasan pada rakyat Irak untuk bersyariat Islam, tetapi justru diperangi oleh Imam Ibnu Taimiyah, sehingga beliau dipenjara di Damaskus sampai menjemput syahidnya.

Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab yang membangkang (bughat) dari kekhilafahan Turki Utsmani, lalu mendirikan Kerajaan Arab Saudi sekarang, bersama keluarga Ibnu Saud. Mengapa JUT dan kelompok salafinya tidak berani mengkhawarijkan kedua imam salafush-shalih tersebut? JUT hanya berani menempatkan Ustad Abu Bakar Ba’asyir sebagai khawarij, bahkan menyebutnya sebagai teroris bersama para tersangka teroris yang ditangkap Densus 88.

Jika logika JUT ini dilanjutkan, maka yang tergolong teroris daftarnya akan cukup panjang dan mengejutkan. Hal ini sudah dilakukan oleh Luqman Ba’abduh, mantan Wakil Panglima Laskar Jihad. Dalam pandangan Luqman, yang tergolong teroris adalah mereka yang dikenal umat Islam pada umumnya sebagai mujahid, seperti Syekh Ahmad Yasin, Rantisi, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, Khattab, Abdullah Azzam, Zarqawi, serta para syuhada lainnya.

Pertanyaan berikutnya, apakah Osama bin Laden, Ayman Zawahiri, Omar Abdurrahman, Al-Muhajeer, Kholid Misy’al adalah teroris? Apa pula argumen yang dibangun dalam memvonis mereka sebagai teroris?

Karena itu, apa yang ditulis JUT di Gatra dengan titel “Salafi Mesti Berani” itu betul. Jangan cuma berani bicara di majelisnya sendiri. Dialog terbuka untuk mengkaji definisi, metode, dan amaliah salafi perlu digelar. Mengklaim sebagai salafi, sementara metode dakwahnya jauh dari kesejukan, hanya akan membuat umat menjadi bingung.

Dengan adanya dialog itu, selain mengurangi fitnah antarkomunitas, umat akan mendapatkan pencerahan. Siapa salafi yang sebenarnya, umatlah yang akan menilainya.

Fauzan Al-Anshari
Mantan Pemred Risalah Mujahidin
[Kolom, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007]

SUMBER: Gatra Nomor 34, 5 Juli 2007

_______________________________________________

Dibawah ini Tulisan Jakfar Umar Thalib yang menohok Fauzan (MMI), juga dimuat majalah Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 14 Juni 2007

Salafi Mesti Berani

Gatra pekan lalu memuat berita yang berkaitan dengan komunitas salafi. Sebagai penganjur kepada pemahaman salafiyah, saya tersengat dengan pemberitaan tersebut. Menurut berita tersebut, yang “diserang” adalah mereka yang mengibarkan bendera salafiyah. Sedangkan “penyerang”-nya adalah komunitas yang menamakan diri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Komunitas MMI tidak terima ketika anak-anak muda salafiyah menggelar kajian untuk menjawab pemberitaan di majalah Risalah Mujahidin terbitan MMI. Pemberitaan di majalah tersebut berisi gosip yang riwayatnya bersumber dari seorang Yahudi sebagai rawi majhul (narasumber tak dikenal). Rawi majhul dari kalangan Yahudi tersebut sangat dipercaya beritanya oleh MMI, sehingga diberitakan dalam majalah mereka.

Dalam Risalah Mujahidin disebutkan, “Orang-orang salafi telah dapat diperalat oleh Yahudi.” Sementara itu, anak-anak muda salafiyah itu terbakar kecemburuannya dan merasa berhak menjawab gosip yang menggiring pada opini bahwa orang-orang salafi diperalat oleh Yahudi.

Komunitas MMI dengan enteng memberitakan bahwa orang-orang salafi telah diperalat oleh Yahudi, yang notabene adalah vonis sepihak tanpa pengadilan in absentia sekalipun. Namun, ketika berita itu dibantah dalam majelis yang khusus diadakan untuk menolak vonis tersebut, serta-merta komunitas ini beraksi (di depan liputan media) dan menuduh majelis anak-anak muda salafiyah yang mendiskreditkan majalah Risalah Mujahidin.

Atas kejadian itu, tampaknya syariat MMI mengajarkan: menuduh dan memvonis orang lain itu boleh-boleh saja asal dalam rangka perjuangan menegakkan syariat. Tapi, kalau ada orang lain yang membantahnya, itu berarti mendiskreditkan perjuangan Mujahidin Indonesia.

Sikap demikianlah yang menyeret mereka terus berbenturan dengan umat Islam yang ada di kalangan pemerintahan, bahkan dengan umat Islam lainnya yang dinilai akan menghalangi perjuangan mereka. Dan benturan itu akan lebih mudah tersulut bila mereka dibakar api hizbiyah (fanatisme kelompok berdasar hawa nafsu) yang menitahkan: pejuang penegakan syariat Islamiyah itu hanyalah Abu Bakar Ba’asyir dan pengikutnya. Maka, yang menentang orang ini dan pengikutnya berarti menentang perjuangan menegakkan syariat Islamiyah. Siapa yang menentang perjuangan ini harus dianggap musuh Islam, minimal dianggap sebagai kaki tangan musuh, atau sebagai orang yang diperalat oleh musuh Islam.

Bila kita memahami firman hizbiyah yang sangat bombastis tersebut, dengan mudah dipahami mengapa majalah dan sikap mereka sangat agitatif terhadap siapa pun yang berada di luar komunitasnya. Pertanyaannya, mengapa mereka hanya berkutat di sirkuit politik praktis? Isu yang selalu disuarakan dalam retorika politik mereka, “berjuang menegakkan syariat”, ternyata hampir sepenuhnya dilagakan di sirkuit ini.

Padahal, bukankah bersikap adil terhadap lawan dan kawan adalah inti penegakan syariat Islamiyah (lihat: Q.S. Al-Maidah: 8)? Bukankah berkata benar adalah inti akhlak yang menjadi landasan bagi penegakan syariat Islamiyah (lihat: Q.S. An-Nisa’: 58)? Bukankah mengikhlaskan segala pengamalan agama itu semata-mata untuk Allah Ta’ala, tanpa pretensi politik apa pun atau kepentingan dunia yang mana pun (Q.S. Al-Bayyinah: 5)? Mengapa kepentingan mendidik umat Islam untuk bersikap ikhlas bagi Allah Ta’ala sulit dimengerti dalam kiprah mereka yang selalu tabrak lari dalam berbagai kasus berdarah?

Mengapa kepentingan mendidik umat Islam untuk jujur dan berkata benar sulit dipahami dalam aksi tebar gosip yang selalu mereka kiprahkan? Mengapa kepentingan mendidik umat untuk bersikap adil terhadap lawan dan kawan amat sulit dipahami dalam tampilan mereka sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa?

Adapun anak-anak muda salafiyah mestinya berani di jalan Allah Ta’ala. Sebab Salafus Shaleh (yaitu Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam dan para sahabatnya), yang menjadi panutan kita, adalah imamnya para pemberani. Mereka adalah macan yang mengaum, bukan ayam yang mengaum. Jika ayam mencoba untuk mengaum, baru didatangi ayam-ayam yang lainnya sudah keder dan ganti berkotek. Ia tak bisa mengaum lagi. Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam dan para sahabatnya adalah contoh para pemberani di jalan Allah dan tidak takut cercaan si pencerca di mana pun dan kapan pun.

Semua orang selain Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam pantas untuk dikritik. Karena itu, janganlah takut mengkritik Ja’far Umar Thalib atau Abu Bakar Ba’asyir, ataupun diri-diri kalian sendiri, di mana dan kapan pun. Jangan takut mengkritik bila kritik itu diperlukan dalam mendidik umat agar bisa mengontrol semua perbuatannya dengan Al-Quran dan as-sunnah. Dan bila kritik itu dalam rangka mendidik keikhlasan ber-Islam untuk Allah semata. Karena itu, jadi salafi mesti berani.

Ja’far Umar Thalib
Pengasuh Pondok Pesantren Ihya’ as-Sunnah, Yogyakarta

[Kolom, Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 14 Juni 2007]

SUMBER: Gatra, No 31, 14 Juni 2007

______________________________________

Dibawah ini kami sertakan juga fatwa pensesatan terhadap Jakfar Umar Thalib yang dimuat di salafy.or.id

Kamis, 29 April 2004 - 04:47:50 :: kategori Fatwa-Fatwa

Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ،

Amma ba’d:
Adapun sekarang betapa jauh keadaannya dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red), jangankan majlis seperti yang engkau tidak mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu hadiri, majlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam majalah Sabili dan banyak lagi yang lain yang sejenisnya.

Duhai sayang sekali, dimana kekokohan manhajmu yang dulu kau miliki. Apakah gurumu yang sampai saat ini kamu suka menebeng di belakangnya yaitu syekh Muqbil, semoga Allah merahmatinya, akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini ??

Lebih dari itu tentunya Allah Ta’ala apakah akan ridha dengan perbuatanmu ini? Pantaslah kalau suatu saat Al-Ustadz Usamah Mahri menelepon Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, beliau bertanya tentang kebenaran kedatanganmu ke majelis Dzikirnya Arifin Ilham yang saat itu Asy-Syaikh Rabi’ menyangka majelis Maulud Nabi atau sejenisnya. Al-Ustadz Usamah pun menerangkan bahwa acara itu adalah majelis dzikir untuk memperingati kemerdekaan RI sekaligus peringatan HUT BNI yang diadakan majelis Adz Dzikra pimpinan Muhammad Arifin Ilham dgn sponsor bank ribawi BNI.

Al-Ustadz Usamah bertanya: “Apa pendapat anda (wahai Syaikh) tentang (perbuatan) saudara Ja’far ini? Kita sudah berusaha banyak menasehatinya.”
Asy-Syaikh Rabi’ pun menjawab dengan nada ta’jub: “Bagaimana kalian ini…? Kalian tidak punya pendapat tentang dia?”
Al-Ustadz Usamah menjawab: “Teman-teman mengatakan: Kita menunggu ucapan Asy-Syaikh Rabi’.”
Asy-Syaikh Rabi’ menjawab: “Di depan kita…dia mendatangi (peringatan) Maulud (maksudnya adalah acara HUT RI dan bank BNI dengan Majelis Dzikirnya Arifin Ilham). Ia berkumpul dengan para politikus dan bersama…. Jika ucapan kalian benar, jika ucapan kalian benar maka dialah yang meninggalkan kalian (Ahlus Sunnah/Salafiyyun), bukan kalian yang meninggalkan dia.”
Al-Ustadz Usamah berkata: “Kita punya kaset/CD tentang kedatangan Ja’far Umar Thalib di majelis tersebut. (yakni ada 3 CD, 2 CD acara tgl 17 Agustus 2003 dan 1 CD acara tgl 15 Agustus 2004, nampak jelas tertera acara tersebut disponsori oleh bank ribawi BNI, red)”
Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “Ya, berikan kepada kami kaset tersebut - barakallahu fiik - dan saya katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini (manhaj Ahlus Sunnah) dan kita memohon keselamatan kepada Allah serta berlindung kepada-Nya dari fitnah-fitnah.

“Yakni satu hal yang sangat jelas menurut syaikh, kebatilan apa yang ada padanya Ja’far dari perbuatan-perbuatan semacam itu ?”, ujar ustadz Qomar.

(Ditulis oleh ustadz Qomar ZA, Lc, saat menterjemahkan pertanyaan kepada Syaikh Yahya al Hajuri, dengan diedit dan ada tambahan oleh tim Salafy.or.id)

SUMBER: salafy.or.id

Sunday, July 8, 2007

Jurnal Bumipoetra, Liberalisme dan Ode Kampung

Firman Venayaksa
Presiden Rumah Dunia Banten

Membaca tulisan Viddy AD Daery berjudul Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme di koran ini, saya sungguh tergelitik. Dengan cemerlang, ia mengupas latar belakang persoalan-persoalan ideologi sastra (komunitas dan media) yang kerap tumpang tindih: di satu sisi menyerang, di sisi lain malah bermesraan.

Dimulai dengan pernyataan Wowok Hesti Prabowo di Media Indonesia yang langsung menyerang Komunitas Teater Utan Kayu (Komunitas Utan Kayu -- KUK) sebagai agen sastra imperialis, agaknya pergumulan ini bakal panjang dan melelahkan. Akan hadir keberpihakan dan pertentangan yang bermunculan, dan hal tersebut adalah pilihan.

Namun, ekses ini jelas akan menimbulkan gejolak, karena kasus ini bukan hanya "pertikaian" antar-sastrawan yang bisa didamaikan dengan berjabat tangan; tapi juga melibatkan (ideologi) komunitas. Dan, ketika berbicara tentang komunitas yang notabene memiliki jejaring, tak pelak lagi perdebatan ini akan menyulut sumbu-sumbu kecurigaan di mana-mana.

Istilah yang disodorkan oleh Wowok Hesti Prabowo seperti "sastra imperialis" atau "sastra neoliberalisme" memang sangat rentan untuk diperdebatkan. Dalam kasus ini, selayaknya kita melihat itu dalam konteks perlawanan, istilah-istilah tersebut terlahir berdasarkan respon dari gejolak yang ada. TUK yang dipandang oleh kalangan sastrawan di luar lingkaran TUK sebagai sebuah komunitas yang arogan pastilah mengundang kekesalan tersendiri -- mereka telah membuat sastrawan lain merasa diremehkan sekaligus dilecehkan.

Selain Wowok, saya kira masih banyak sejumlah nama yang secara terang-terangan di sejumlah pertemuan atau media memprovokasi agar anti TUK. Bahkan, Sabtu lalu (7/7), di Universitas Negeri Tirtayasa Banten, telah diluncurkan sebuah jurnal sastra bernama Bumipoetra: bukan milik pusat antek imperialis.

Isi jurnal itu (esai, cerpen dan puisi) mengolok-olok, menyindir TUK, beserta orang-orang di dalamnya dengan gaya yang sangat nyinyir dan teramat pedas. Tengok saja judul esainya "DKJ Cabangnya TUK!" atau "Sastra tanpa Pusat Sastra" yang ditulis oleh Babat Hutan Kayu. Bahkan singkatan TUK dipelesetkan menjadi Tempat Umbar Kelamin. Kehadiran jurnal yang aneh dan nyeleneh ini adalah sebentuk perlawanan lain yang bisa jadi efektif untuk melawan arogansi KUK kendati dalam balutan canda.

Seyogyanya, sebagai sebuah komunitas, KUK tak usah jumawa dengan apa yang telah dilakukan dengan merendahkan komunitas lain. Estetika kelamin yang diusung oleh komunitas ini hanyalah akal-akalan agar bisa bercentil-ria, supaya terus dipuji oleh orang-orang Barat. Dengan demikian, dukungan dana pun akan terus melimpah kendati menggadaikan harga diri.

Sepakat dengan apa yang diungkap oleh Viddy, Forum Lingkar Pena (FLP) dengan dakwah bil qolam-nya lebih bermartabat dan memiliki konsistensi yang kokoh. Walau banyak sastrawan yang menganggap remeh Forum Lingkar Pena, tapi waktu telah membuktikan bahwa komunitas ini memiliki kekhasan dan kekuatan tersendiri.

KUK sepertinya harus berkaca kepada mereka. Tak usah terlalu bersombong dengan apa yang telah dicapai, karena jika memakai parameter berapa jumlah buku yang diterbitkan dan berapa orang yang membaca karya-karya mereka, agaknya TUK akan malu dengan pencapaian dari FLP.

Jika Komunitas Utan Kayu (KUK) dengan pongah mengatakan bahwa yang tidak diundang oleh TUK bukanlah sastrawan, maka di dalam pertemuan Komunitas Sastra dalam Ode Kampung 2 di Banten pada tanggal 20-22 Juli 2007 nanti justru sebaliknya: siapapun yang mengaku sastrawan, silahkan datang. Panitia mengundang seluruh sastrawan yang tertarik pada pertemuan ini, karena pada dasarnya semua sastrawan memiliki hak yang sama. Kami ingin memperlakukan sastrawan sederajat.

Berbeda dengan TUK ataupun KUK yang memiliki dana berlimpah, pada kegiatan ini kami memang tak bisa memberikan akomodasi yang mewah. Dana kegiatan ini adalah sumbangan dari kawan-kawan yang peduli dan kas dari komunitas sastra di Banten. Setiap perwakilan komunitas (dua orang) hanya diberi jatah akomodasi menginap di rumah warga dan makan bersama. Sementara untuk para sastrawan lainnya harus rela mengeluarkan Rp 20.000 per malam untuk menyewa kamar warga di kampung Ciloang. Untuk makan, para warga yang dimotori Pak RT menyediakan jajanan khas kampung.

Kendati demikian kami cukup berbahagia karena hingga akhir pendaftaran peserta yang telah ditutup pada 1 Juli 2007, sudah tercatat 227 sastrawan dari 47 komunitas yang tersebar di Nusantara siap untuk hadir, padahal kami tahu bahwa mereka juga harus berjibaku untuk membiayai diri sendiri. Inilah yang kami namakan sebagai kehadiran atas kesadaran yang tulus.

Ode Kampung adalah sebuah pertemuan sastrawan yang menggali persoalan-persoalan kampung, kelokalan, karena hegemoni liberalisasi lambat laun telah mengubah cara pandang orang-orang Indonesia menuju arah yang "destruktif" sehingga kehilangan identitasnya sebagai manusia timur, termasuk sastrawan.

Melirik kembali "ideologi kampung" bukan hanya sekadar teori romantisisme belaka. Di sinilah sastrawan menjalankan kembali fungsinya sebagai kontrol sosial, tak hanya melulu menggapai keluhuran estetik. Jika Ode Kampung 1 pada tahun lalu lebih mengedepankan silaturahmi para sastrawan, dalam Ode Kampung 2 akan dititikberatkan pada diskursus komunitas.

Perkembangan komunitas sastra di Indonesia sangat beragam. Kemunculan sastrawan pun banyak dibidani oleh komunitas tempat ia belajar menulis. Pada akhirnya, disadari atau tidak, ideologi dan estetika yang diterapkan di dalam komunitas tersebut muncul di dalam karya-karya sang sastrawan. Inilah salah satu tema yang akan dibahas dalam Ode Kampung 2 dengan pembicara Helvy Tiana Rosa, Maman S Mahayana, Kurnia Efendi dan Saut Situmorang.

Tema lain yang tak kalah pentingnya adalah tentang hegemoni pusat (Jakarta) terhadap daerah. Tema ini akan dibahas oleh Kusprihanto Namma, Cahvchay Saifullah dan Ahmad S Alwy. Selain itu ada juga sesi Pesta Komunitas yang akan mendiskusikan tentang gerakan-gerakan komunitas sastra di pelbagai wilayah.

Pada akhir dari kegiatan ini akan dibuat semacam deklarasi dari hasil pemikiran bersama. Isi dari deklarasi itu bisa saja menekan pemerintah supaya segera menyelesaikan kasus lumpur Lapindo, menentang estetika kelamin atau mungkin menentang sastra imperialis? Kita lihat saja nanti.

( )

Republika, 08 Juli 2007

Sunday, July 1, 2007

Gerakan Sastra Anti Neo-Liberalisme

Viddy AD Daery
Penyair, budayawan

Pekan lalu, dua media massa nasional memuat tulisan yang menghajar peradaban termasuk sastra neo-liberalisme dan porno-praxisme yang kini sedang mendapat angin di Indonesia sejak reformasi ditafsirkan keliru dengan memperbolehkan apa saja sebagai kemerdekaan "hak asasi manusia" dan menafikan "hak asasi masyarakat".

Harian Media Indonesia (MI) mewawancarai aktifis sastra buruh dan tokoh Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Wowok Hesti Prabowo, yang kini memproklamasikan gerakan anti sastra imperialis, anti neo-liberalis dan anti porno-praxis. Sedang di Jawa Pos (JP), Taufik Ismail menjawab Hudan Hidayat agar tidak terlalu bangga dengan gaya sastra porno-praxisnya.

Beberapa minggu sebelumnya, Hudan Hidayat memang memulai "membuka front" di JP dengan mengeritik Taufiq Ismail dan menganggapnya sebagai sastrawan yang sok moralis dengan pidato kebudayaan Taufiq yang pernah dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) dalam rangka memberangus gerakan sastra "syahwat merdeka".

Dua tulisan tersebut sebenarnya sasarannya berbeda tetapi pada dasarnya sama. Wowok langsung menyebut Komunitas Teater Utan Kayu (TUK), sebagai penyebar aliran neo-liberalisme yang cenderung memperbolehkan pengikutnya berbuat apa saja sebagai perayaan "hak asasi manusia". Sedang Taufik Ismail menanggapi Hudan yang cenderung mempraktekkan kebebasan kreatif secara berlebihan, sehingga terkesan mendukung peradaban porno-praksis yang memuja tubuh dan seks.

Bentuk-bentuk sastra yang sudah kita kenal lahir dari lingkungan TUK umumnya memang berciri nonsens (tidak penting), porno-praxis (mendewakan tubuh dan seks), dan cenderung anti peran agama (sekuler). Sastra-sastra nonsense merayakan hal-hal sepele, seperti odol, sikat gigi, sepatu biru, celana dalam, sarung, dan sesekali agar keren juga mengeksplorasi daun mapel, pohon willow dan rumput azalea yang jarang bahkan sukar ditemukan di Indonesia.

Beberapa media sastra Jakarta pun telah bertahun-tahun ikut merayakan kata-kata semacam rembulan tumbuh di dengkulku, kapal berlabuh di meja makan, puting susumu patah di altar, atau malam biru menggoreng onde-onde yang cukup membingungkan bahkan bagi penyair dan budayawan senior sekelas Abdul Hadi WM waktu membedah puisi-puisi semacam itu di Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggaraan DKJ.

Majalah sastra Horison, yang dipimpin oleh Taufiq Ismail, juga kebanjiran puisi-puisi semacam itu, karena memang sebagian anak buahnya adalah penganut estetika sastra aliran TUK. Buku-buku Ayu Utami juga ikut dibicarakan di berbagai acara yang disponsori Horison. Bahkan, Ayu Utami juga pernah ditampilkan dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang diselenggarakan Horison. Jadi, sebenarnya Taufiq juga kebobolan di kandang sendiri.

Kita juga tidak dapat melupakan bahwa novel seksual Saman juga lahir dari Sayembara Menulis Novel DKJ pada sebagian anggota komita sastra DKJ adalah orang-orang Horison. Jika melihat bentuk-bentuk karya sastra yang dimuat selama bertahun-tahun oleh MI sebenarnya juga termasuk aliran TUK, namun anehnya beberapa artikelnya bersemangat anti-TUK.

Dan, untuk redaktur sastra surat kabar lain kiranya juga harus berhati-hati terhadap masuknya esei-esei dan puisi-puisi yang secara samar juga mengusung perayaan terhadap aliran neo-liberalisme dalam bentuknya yang paling canggih sekalipun, meski ditulis oleh tokoh-tokoh yang dikenal baik.

Liberalisasi sastra yang dilakukan TUK berjalan seiring dengan liberalisasi pemikiran agama yang dilakukan melalui Jaringan Islam Liberal (JIL). Dengan jelas, para aktifis JIL terus berupaya untuk mendekonstruksi prinsip-prinsip ajaran Islam, melalui berbagai diskusi, siaran radio, internet dan penerbitan buku.

Di wilayah sastra kini TUK juga mendirikan sanggar-sanggar sastra di berbagai tempat dan daerah, sebagai bagian dari "gerakan politik sastra" untuk liberalisasi. Dalam kaitan ini TUK juga berupaya merebut kursi-kursi strategis di bidang sastra. Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), misalnya, kini telah berhasil dikuasai oleh orang-orang TUK. Komte Sastra DKJ-lah (diketuai Nur Zen Hae) yang belum lama ini menggelar pertunjukan sastra erotis, yang sempat membuat Taufiq dan banyak sastrawan lain merasa prihatin.

Karya-karya "anti manfaat" dari penulis TUK akhirnya memang tidak banyak -- bahkan tidak ada -- manfaatnya, selain untuk mendorong liberalisasi. Tetapi, karya-karya sastra dengan estetika bergaya TUK kini seakan-akan mendominasi pasar "persuratan" Indonesia dengan cara ditayangkan di koran-koran dan majalah mereka selama bertahun-tahun tanpa kenal lelah. Dibuat pula oleh jaringan TUK berbagai anugerah seni dan sastra, dan karya-karya bersemangat liberal hampir selalu mendominasi kejuaraan, sehingga seakan karya-karya sastra semacam itulah yang kini menjadi "warna dominan" sastra Indonesia.

Panitia-panitia pesta puisi internasional di luar negeri yang umumnya merupakan "jaringan TUK" juga "dikendalikan" agar memilih nama-nama dari lingkungan dan jaringan TUK saja. Maka, tidak heran jika pada festival-festival sastra di Belanda, Jerman, Prancis, Bahama, Amerika, dan Australia, yang tampil lebih banyak para sastrawan dan penyair yang telah mendapat semacam legitimasi dari TUK atau direkomendasikan oleh orang-orang TUK.

Barangkali karena terdorong oleh berbagai persoalan di atas, kini banyak sastrawan dan aktifis komunitas sastra yang terpanggil untuk "melawan" dominasi TUK. Pertemuan-pertemuan sastra tingkat nasional yang kini diselenggarakan di Serang, Banten dan Yogjakarta, misalnya, mengagendakan diskusi-diskusi yang mengkritisi hegemoni TUK yang menyepelekan para sastrawan bukan "konco TUK".

Sebetulnya, perlawanan di tingkat karya dan wacana, secara tidak frontal, telah dilakukan oleh para sastrawan Forum Lingkar Pena (FLP). Organisasi penulis Islami mengusung visi sastra sebagai dakwah dan sebagai pencerahan masyarakat ini jelas-jelas bertolak belakang dengan TUK yang bervisi sastra sebagai suatu perayaan terhadap hal-hal yang tidak bermanfaat.

Gerakan untuk menghambat dominasi TUK juga telah digalakkan oleh beberapa tokoh komunitas dari Yogya, Medan, Depok, Pekanbaru, dan Banten. Namun, masih perlu dicermati, apakah yang dilawan hanya dominasi TUK, ataukah ideologi TUK yang sekuler dan liberal serta mendukung globalisasi kebudayaan bergaya Barat.

Pemikir Islam, Yusuf Qardhawi, pernah mengatakan, bahwa globalisasi kebudayaan adalah jalan untuk menghancurkan kearifan-kearifan lokal agar suatu bangsa hanya mengekor kepada satu kebudayaan global, yakni kebudayaan Yahudi-Free Mason. Filsuf-filsuf dunia yang mendukung "penghancuran kearifan lokal" seperti Roland Barthes, Michael Foucoult, dan Raman Shelden, telah lama dipuja-puja sejak awal kelahiran dan pendirian TUK.

Kini TUK telah telah tumbuh besar dan menjadi semacam pusat kebudayaan yang hendak mencengkeramkan pengaruhnya secara lebih kuat. Maka, komunitas-komunitas kecil yang kini hendak menandingi TUK harus disadarkan benar, bahwa mereka kini berposisi sebagai David dan TUK adalah Goliath. Dalam sejarah, dan dicatat oleh kitab-kitab suci, David bisa menang melawan Goliath, tetapi dengan taktik dan kecerdasan, bukan dengan emosi yang tidak terkendali!

( )

Republika, 1 Juli 2007