Monday, September 3, 2007

Bayi Bule

Oleh Aidir Amin Daud


ADA masalah dalam urusan administrasi kependudukan kita. Padahal UU soal ini termasuk PP-nya sudah keluar sejak beberapa bulan lalu. Urusan ini sesungguhnya ditangani oleh satu direktorat-jenderal yang Dirjen-nya kebetulan juga orang Sulsel Dr Rasyid Saleh, MA.


Dia menjadi motor keluarnya aturan soal kependudukan ini dan bekerja keras agar beberapa tahun mendatang, setiap orang hanya punya satu nomor kependudukan termasuk kartu penduduk. Maka urusan yang selalu geger dalam pilkada maupun pemilu, daftar pemilih tidak ada lagi. Selama ini KPUD selalu jadi
kambing hitam. Ketika berada di Surabaya bersama Dr Rasyid pekan lalu, saya menyaksikan bagaimana ia "marah-marah" karena masih ada dinas kependudukan yang seenaknya bicara urusan ini dan bekerja tidak sesuai aturan undang-undang. ‘’Saya harap ini terakhir Anda bicara seperti itu,’’ katanya tegas.

Saya kebetulan -- punya satu kerja yang sama dengan Dr Rasyid Saleh -- untuk menyelesaikan "pemukim" warga yang kebetulan punya darah Tionghoa, India dan Arab. Mereka bukan WN-asing tetapi juga tak diberi status WNI. Jumlahnya mencapai puluhan ribu. Mereka sudah hidup bertahun-tahun tanpa status WNI. Di Tangerang mereka termasuk bukan kelompok berada dan popular dengan nama "Cina Benteng".

Atas perintah Mendagri dan Menteri Hukum dan HAM, kami bertekad menyelesaikan masalah itu dalam dua-tiga bulan ke depan. Bagaimana mungkin, orang yang sudah hidup bertahun-tahun di Indonesia tidak jelas status
ke-WNI-annya. Padahal menurut Undang-Undang No 12/2006
tentang Kewarhanegaraan Indonesia, jika ada anak asing yang tidak jelas orang tuanya dan diyakini lahir di Indonesia, maka dia adalah orang Indonesia asli. Jadi kalau di suatu subuh, kita melihat sebuah keranjang di bawah pohon dan di dalamnya ada seorang bayi yang baru lahir, bermata ‘biru’ dan berambut "pirang" dan kita amat yakini sebagai anak orang bule, jika tak
diketahui orang tuanya, maka ia menurut Undang-undang adalah anak Indonesia asli.

Maka logika bahwa anak bayi saja (yang jelas-jelas bule) diakui sebagai anak Indonesia, lalu mengapa pula kelompok pemukim yang sudah hidup turun-temurun, masih sulit atau dipersulit status kewarganegaraannya?

Inilah yang harus diselesaikan. Masih terlalu banyak persoalan yang harus diselesaikan dan mengapa pula urusan ini belum-belum juga beres selama berpuluh-puluh tahun.

Perjalanan bangsa setelah 62 tahun menikmati kemerdekaan ini harus kita direnungi. Di samping berbagai kemajuan pembangunan yang telah tercapai
masih kita lihat di depan mata beratnya tugas kita menyejahterakan rakyat. Masih tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Selain faktor klasik mental manusia yang menyebabkan banyak permasalahan sosial ini, salah satu faktor penyebab yang cenderung diabaikan adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang terlalu cepat dan kurang terkendali.

Masyarakat yang tidak beruntung dan tak memiliki ekonomi yang cukup kuat, menjadi lebih merana lagi karena tak punya status kewarganegaraan. Mereka tak
bias memperoleh KTI-sebagai WNI. Mereka dalam situasi ekonomi yang begini sulit juga tak bias mendapatkan atau menikmati subsidi apapun yang diberikan pemerintah.

****

Maka sudah selayaknya, program dua departemen untuk mengakhiri masalah kelompok pemukim harus direspons dengan baik oleh para aparat RT/RW hingga tingkat Camat di setiap daerah. Kerumitan kerja gaya birokrasi harus diakhiri. Dalam beberapa pertemuan dengan aparat pemda baik di Jakarta, Tangerang maupun Jawa Timur, ada kesan kalau masalah bisa susah lalu kenapa harus dimudahkan. Saatnya aparat pemerintah di semua lini mengambil langkah pregresif menyelesaikan urusan ini.

Mengubah pola pikir: kalau bisa mudah kenapa harus disulit-sulitkan. Apalagi, jalan menuju ke Surga memang tidak hanya satu. ****

Sumber: Harian Fajar Makassar, 3 September 2007

Bangsawan Pikiran

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

DOKTER Abdul Rivai yang juga wartawan pada awal abad ke-20 memperkenalkan istilah "bangsawan pikiran". Istilah ini dibedakannya dengan "bangsawan usul".

Pada edisi perdana (1902) majalah Bintang Hindia, Abdul Rivai menulis "Tak ada gunanya lagi membicarakan "bangsawan usul", sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek moyang kita keturunan bangsawan, maka kita pun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaian kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan "bangsawan pikiran".

Sudah lama saya tak mendengar istilah "bangsawan pikiran". Karena itu saya tersentak senang ketika Dr. Yudi Latif dari Universitas Paramadina menyebutkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta di Taman Ismail Marzuki Jakarta 24 Agustus 2007. Yudi Latif berbicara tentang: Mencipta tanda, memuliakan kembali pikiran.

Setiap studen modernisasi niscaya mengetahui betapa pentingnya mewujudkan perubahan dari yang serba tradisional dan feodal ke tahapan modern dan demokratis. Dalam proses itu orang-orang yang mewakili dan membawakan "bangsawan pikiran" memegang peran utama. Merekalah yang memimpin perjuangan membebaskan anak bangsa dari penjajahan asing.

Waktu memberikan ceramah mengenai kebangsaan (nasionalisme) di depan dua ratusan mahasiswa baru Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia 21 Agustus 2007, saya bercerita tentang para siswa Sekolah Dokter Djawa yang kemudian berubah jadi STOVIA, tentang Budi Utomo yang didirikan 20 Mei 1908, Sarekat Islam tahun 1911, Muhammadiyah tahun 1912. Dr. Wahidin, Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Soetomo bergerak di Budi Utomo, H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim di Sarekat Islam, mereka boleh dibilang adalah penating "bangsawan pikiran".

Perlawanan terhadap tradisionalisme dan feodalisme dilukiskan oleh cerita berikut. Tahun 1914 SI (Sarekat Islam) Semarang menggelar demo. Waktu itu para demonstran mengusung sebuah semboyan yang menyatakan bahwa orang Jawa tidak sudi lagi duduk jongkok seperti seekor kodok. Di rumah bola (societait) SI di Surabaya orang tidak boleh lagi duduk di lantai dan semua anggota harus memakai pantalon.

Memakai pakaian Barat mengakhiri busana tradisionil yang dengan motif dan kombinasi warnanya menunjukkan status pemakainya. Putra mahkota Mataram Yogyakarta mengunjungi ketua SI Malang ketika meletus wabah penyakit sampar dan ningrat keraton itu berbicara dalam bahasa Jawa-kromo, bukan Jawa-ngoko. Jelas suatu perubahan sedang menjelma.

Bila Budi Utomo tidak mempunyai banyak jumlah anggota, Sarekat Islam mengkalim punya dua juta anggota. Bila disimak pers Sarekat Islam pada tahun 1916, maka di situ disebutkan bahwa Islam adalah semen yang memadukan jutaan orang Indonesia, juga bahwa Islamlah yang memajukan nasionalisme dan cinta tanah air. SI tidak hanya memiliki sifat Islam, tapi juga sikap antikapitalis.

Kaum kapitalis asing membikin rakyat Indonesia tetap miskin. Kaum penjajah memperoleh banyak keuntungan dari industri minyak bumi dan gula, tapi orang Indonesia sama sekali tidak memperoleh manfaatnya. Para SI terutama menyorot penanaman gula tebu. "Pabrik-pabrik gula adalah racun bagi orang Jawa" kata koran-koran SI.

Hal paling menarik dari sejarah nasionalisme pada masa awal abad ke-20 ialah terdapatnya golongan Islam dan golongan Marxisme dalam satu organisasi SI. Tidak ada masalah. Baru kemudian setelah orang-orang merah disingkirkan dari SI, kedua golongan itu mengambil posisi berseberangan.

Hal lain yang menarik ialah bahwa Hatta dan Sjahrir yang menjadi mahasiswa di negeri Belanda pada dasawarsa 1920-an tertarik oleh Marxisme, sedangkan Soekarno yang belajar di Bandung lewat bacaan perpustakaan juga sampai pada sikap sama menjadi sosialis. Soekarno - Hatta - Sjahrir adalah antikapitalis, antiekonomi kolonial, antiekonomi eksploitasi, dan mereka menjadi nasionalis untuk membebaskan bangsa Indonesia dari genggaman kolonialisme, sekaligus berideologi sosialis dalam mengurus kehidupan bangsa Indonesia.

Para "bangsawan pikiran" telah mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, memimpin perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan memperoleh pengakuan internasional atas keberadaan RI dan selanjutnya selalu ada di tengah perkembangan negeri ini. Kini Indonesia telah merayakan HUT ke-62 kemerdekaannya. Gambaran apakah yang tampak?

Dr. Yudi Latif mengatakan di seminar Akademi Jakarta "Terdapat tanda-tanda bahwa "pikiran" tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh "kebangsawanan baru" (kroni dan kekayaan"). Ditambahkannya "penaklukan daya pikiran oleh "kebangsawanan baru" membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya?

Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki dan memperbaharui dirinya. Tanpa kapasitas pembelajarannya, bangsa Indonesia (secara keseluruhan) bergerak seperti zombie. Kian hari penduduk kota-kota (metropolitan) di Indonesia kian terperangkap dalam jejaring keluhan.

Bersama eskalasi pertumbuhan supermal yang dibangun di sembarang tempat, rongga-rongga ruang publik sebagai arena belajar kolektif, pertukaran pikiran dan kreativitas budaya kian menyempit. Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati negerinya atau temanya: "yang muda malas, yang tua gatal; kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan".

Tinggallah saya bertanya: di mana engkau "bangsawan pikiran"?***

Penulis, wartawan senior Indonesia.

Sumber: Pikiran Rakyat, 3 September 2007

Jangan Lagi Mengemis Kata "Maaf"!

Oleh Herry Tjahjono

Beberapa tahun lalu, TKI ilegal di Malaysia ramai diberitakan akan dipulangkan (baca: diusir). Waktu itu ada yang sebagian dikejar-kejar karena ngotot menuntut gajinya. Kasus TKI ilegal itu cermin bahwa bangsa dan rakyat Indonesia adalah manusia-manusia yang kalah "di luar". Namun, sejatinya, kita semua juga adalah manusia-manusia yang kalah "di dalam (negeri)" sendiri.

Hari-hari ini kita dikejutkan oleh pemukulan semena-mena polisi Malaysia terhadap wasit dari Indonesia karena "dianggap" TKI ilegal. Kasus ini merupakan simbol telak manusia Indonesia tanpa martabat di mata orang luar. Ekstremnya, di mata (orang) Malaysia, kita hanyalah "sekumpulan" bangsa TKI ilegal. Maka, siapa pun kita orang Indonesia ketika berada di negeri jiran itu, jika penampilan fisikal kita cenderung mirip TKI ilegal, sangat mungkin kita mendapatkan perlakuan yang sama.

Dalam kasus yang lain, kita tentu masih ingat Sutiyoso juga diperlakukan kurang sedap di Australia. Telah tercipta stigmatisasi negatif dari negara-negara luar terhadap bangsa Indonesia.

Martabat bangsa luluh lantak! Secara psikologis, gejala luluh lantaknya martabat bangsa itu ditandai oleh merebaknya prasangka orang luar terhadap kita. Prasangka (prejudice) lebih intens dan jahat dari ketidakpercayaan (distrust). Bangsa kita bukan hanya tidak dipercaya orang luar, tetapi sudah diprasangkai.

Dan prasangka itulah yang terjadi pada wasit kita di Malaysia. Dia bukan TKI ilegal, dia tak berbuat apa pun, tetapi karena diprasangkai sebagai TKI ilegal sebagai cermin "serba buruk dan menyebalkan" orang Indonesia, dia diperlakukan semena-mena.

Prasangka sendiri secara bebas bisa diartikan sebagai sebuah sikap (mental) yang tak kondusif, merugikan (kedua pihak), negatif, yang mengarah pada anggota kelompok atau kelompok tertentu. Prasangka ini sungguh jahat dan sering tidak manusiawi. Orang- orang yang kepribadiannya dipenuhi prasangka ini sendiri tentu saja tidak sehat (patologis), irasional, dan subyektif. Dan jelas, negara-negara tetangga (baik oknum maupun sebagai kelompok bangsa) yang dipenuhi prasangka terhadap kita juga patologis secara kejiwaan.

Kondisi kita sebagai "obyek" prasangka ini juga tak kalah sakitnya secara kejiwaan sebab hal ini merupakan simtom dari martabat bangsa yang tergerus. Itu sebabnya sebagai obyek prasangka kita juga cenderung berperilaku patologis juga. Tandanya, kita juga cenderung reaktif-emosional, irasional, dan subyektif: mau membalas dengan prinsip an eye for an eye, melakukan sweeping orang Malaysia, dan mengusir atletnya, dan banyak lainnya.

Namun, bukan itu esensi masalahnya! Ini problem kepemimpinan bangsa. Salah satu tugas utama pemimpin adalah menegakkan martabat organisasi (Indonesia) dan segenap anggotanya (rakyat). Jika rakyat kehilangan martabat dan dijadikan obyek prasangka, bukan mereka yang salah, tetapi para pemimpinnya.

Kita tidak bisa melawan mereka dengan sikap-perilaku patologis juga (serba reaktif, irasional, subyektif). Maka kepemimpinan para pemimpin haruslah "sehat", tidak patologis: semua sikap dan perilaku kepemimpinan harus dilandasi oleh proses kerja dan tujuan yang "rasional-obyektif". Rasional-obyektif berhubungan dengan data dan fakta, tidak hanya opini atau sikap reaktif. Maka proses dan tujuan kepemimpinan adalah bagaimana mengubah "data dan fakta" kondisi rakyat: dari status para TKI ilegal, yang liar mengendap-endap mencari sesuap nasi di negara-negara tetangga, disiksa, diperkosa, dibunuh, berubah menjadi tuan di negeri sendiri (yang tidak kelaparan, tak lagi kelayapan karena tak punya rumah, dan aman bekerja di negeri sendiri).

Para penguasa atau petinggi negeri ini adalah orang-orang hebat dan sukses, tetapi belum tentu mereka layak disebut pemimpin sukses—pendapat John Maxwell—jika mereka belum mampu menemukan "tempat" yang tepat bagi pengikutnya (rakyat).

Banyaknya rakyat yang jadi TKI ilegal merupakan refleksi bahwa mereka belum punya tempat yang tepat, bahkan di negerinya sendiri. Maka para saudaraku, jangan lagi menuntut (baca: mengemis) kata "maaf" dari Malaysia. Itu justru refleksi dari tergerusnya martabat kita sampai ke titik nadir. Kita tak perlu maaf, kita perlu rasa hormat mereka. Dan itu tugas para pemimpin untuk bekerja lebih "sehat"!

Herry Tjahjono Corporate Culture Therapist dan Penulis Buku The XO Way

Sumber: Kompas, 3 September 2007

Wednesday, August 22, 2007

Setelah Dua Tahun Perdamaian

Oleh Teuku Kemal Fasya


Tanggal 15 Agustus lalu tepat dua tahun usia perdamaian Aceh, masa yang melelahkan sekaligus membanggakan.

Melelahkan karena menghadapi banyak rintangan. Kasus penurunan bendera dan polisi yang menganiaya warga sipil karena dituduh menurunkan bendera menjadi cacat yang harus dihilangkan pada masa datang.

Membanggakan karena perdamaian telah melewati batas psikologis post-conflict, apalagi bila dibandingkan kesepakatan damai sebelumnya (Jeda Kemanusiaan I-II, Moratorium Kekerasan, dan COHA/Kesepakatan Penghentian Permusuhan) yang berumur kurang dari enam bulan.

Masyarakat gembira merayakan dua momentum, 15 dan 17 Agustus.

Desain global

Dari perspektif global, tak ada yang unik dari penyelesaian konflik Aceh, seperti desain resolusi konflik di tempat lain pada 1990-an (Filipina, Thailand, Yugoslavia, Rwanda, Liberia, atau Timor Timur), yaitu mempromosikan demokratisasi dan marketisasi (marketization) sebagai hipotesis penyehatan perdamaian domestik. Namun, jika dilihat tidak semua desain berhasil, proyek Aceh adalah contoh baik yang bisa dipelajari oleh daerah lain.

Demokratisasi diintroduksi melalui pemilu, pembentukan undang-undang baru, pengujian kewenangan pemerintah, serta penghormatan kepada hak-hak kebebasan sipil dalam berbicara, berserikat, dan berpartai. Adapun marketisasi dijalankan dengan gerakan yang mengarah pada ekonomi yang berorientasi pasar, termasuk meminimalkan intervensi pemerintah di bidang ekonomi, memaksimalkan kebebasan investor dan produsen, serta mempertemukan keinginan masyarakat lokal dalam mengelola ekonomi yang disukai (Roland Paris, At War’s End, 2004).

Untuk konteks Aceh, demokratisasi melalui pilkada telah menghasilkan stabilitas politik karena "elite pemberontak" yang dulu terbuang kini ada di pusar kekuasaan. Harapan publik atas pemerintahan Irwandi-Nazar hingga bulan ke-8 masih positif karena kebijakan populisnya, seperti moratorium penebangan hutan, pemberantasan korupsi, dan wacana secepatnya mengambil alih Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).

Juga marketisasi yang dilakukan pascaperdamaian. Slogan "tak ada rekonstruksi tanpa perdamaian dan tak ada perdamaian tanpa rekonstruksi" menjadi mantra ampuh. Hampir tak ada konflik berarti antara TNI dan eks GAM. Narasi bahwa Aceh membutuhkan pembangunan dan bukan perang telah melumerkan dendam hingga tidak tereskalasi.

Faktor eksternal dan internal

Suka atau tidak, bibit-bibit "konflik baru" mulai tersemai oleh kebijakan marketisasi. Program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh semula tidak menyentuh korban konflik. Hingga 2006 hampir semua LSM (terutama internasional) tidak berani menyentuh pembangunan di "wilayah hitam" karena takut diinterpretasikan politis. Akibatnya, muncul kecemburuan antara korban konflik dan tsunami. Padahal bantuan tsunami seharusnya menjadi "berkah tersembunyi" yang menyelesaikan seluruh derita (konflik, tsunami, miskin).

Reorientasi kebijakan baru terlihat saat pemerintah membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk mengimbangi BRR yang menangani korban tsunami. Namun, lemahnya peran BRA dan kacaunya format bantuan yang disupervisi Bank Dunia bagi 3.000 korban konflik membuat konflik merebak di tingkat internal. Hasil verifikasi BRA memastikan ada 31.189 rumah hancur dan dibakar semasa konflik (Serambi Indonesia, 24/7) mengindikasikan ada belasan kali lipat korban penerima program diyat (restitusi) yang tak tertampung.

Hal lain yang juga merugikan perdamaian adalah mengempisnya wacana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pascapembatalan UU KKR Nomor 27 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap lemah membela hak-hak korban. Namun, legalitas KKR Aceh dapat merujuk UU No 11/2006.

Sayang, wacana KKR menjadi horor vacuui. TNI mencurigai gagasan ini sebagai upaya menjerumuskannya menjadi aktor tunggal (perpetrator). Padahal praktik wacana KKR berfungsi mengklarifikasi kekaburan sejarah konflik dan menegaskan, korban bisa siapa saja—TNI, GAM, keluarganya, atau orang biasa—yang memiliki hak untuk menuntut apa yang telah dirampas dari kehidupannya pada masa lalu. KKR dapat menghalangi korban dikurbankan kembali oleh politik kekuasaan yang salah. Para korban layak mendapat buku putih atas sejarahnya.

Terakhir, konteks damai Aceh harus mampu menegosiasikan kepentingan internal GAM, antara "kelompok pragmatis" yang kini di pucuk kekuasaan dan "kelompok idealis" yang masih ingin merdeka. Serial teror bom yang menimpa para bupati dan wali kota eks GAM serta hilangnya bendera Merah Putih menjelang 17 Agustus menandakan ada ketidakpuasaan internal atas strategi memartabatkan Aceh ke depan. Reunifikasi layak pula diberlakukan di internal GAM-SIRA.

Dua tahun belum cukup! Rakyat Aceh masih menuntut perdamaian yang lebih panjang pada tahun-tahun mendatang.

Teuku Kemal Fasya Ketua Jurusan Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe


Kompas, 22 Agustus 2007

Hilangnya Dua Ilmu di Era Kemerdekaan

Dedy Purwanto
Aktivis PPI se-Malaysia, Mahasiswa S2 Universiti Teknologi Petronas Malaysia

Bulan Agustus datang kembali. Mungkin banyak yang belum mengetahui bahwa ternyata bulan ini tidak hanya spesial bagi rakyat Indonesia, tapi juga bagi Malaysia. Indonesia memperingati hari kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus, sedangkan Malaysia pada tanggal 31 Agustus. Sungguh suatu kebetulan yang menarik: dua negara yang bersahabat dan sangat dekat baik secara geografis maupun budaya masyarakatnya ternyata merdeka dalam bulan yang sama. Dalam segi usia, Indonesia memang lebih senior dibandingkan Malaysia. Tahun ini merupakan ulang tahun emas (50 tahun) mereka dan ulang tahun kita yang ke-62.

Kita yang lebih senior ini malah jauh tertinggal dalam ekonomi, teknologi, dan bidang lainnnya dari Malaysia. Data UNDP 2003 menunjukkan, dalam World Economic Forum (103 negara), Indonesia berada pada peringkat 72 sementara Malaysia pada peringkat 29. Sungguh menggelisahkan, rakyat yang serupa (perawakan fisik, bahasa, dan budaya), namun bernasib berbeda. Padahal kemerdekaan yang berhasil kita raih jauh lebih terhormat dan heroik. Berapa Berbeda dengan Malaysia yang merdeka hanya dengan melalui diplomasi dan perjanjian.

Sudah saatnya kita berpikir objektif . Apa sebenarnya penyebab dari semua ini. Tun Dr Mahathir Muhammad dalam ceramah Hari Kemerdekaan Malaysia (13/08/07) di Universiti Teknologi Petronas, Malaysia, menyampaikan bahwa korupsi telah menjadi budaya dan hal yang biasa di 'negara-negara tertentu'. Walaupun dengan kata jamak, peserta yang hadir pada acara tersebut termasuk saya dapat langsung menginterpretasikan bahwa yang dimaksud adalah Indonesia. Beliau mengingatkan bahwa negara tidak akan maju jika dipimpin oleh para koruptor. Perbaikan moral merupakan solusi yang dia sajikan untuk menghadapi isu korupsi.

Ada benarnya memang solusi yang yang dia sampaikan. Namun seperti apa detilnya, tampaknya menjadi bias dan setiap orang akan mempunyai tafsir yang berdeda-beda. Untuk bangkit menjadi negara maju, saya mengambil referensi dari ajaran Islam. Di dalam Islam, ada dua kategori ilmu yang bersumber dari Tuhan dan harus dikuasai oleh manusia agar selamat dan bahagia dunia-akhirat. Ilmu ini juga yang akan menjelaskan bagaimana negara-negara Barat dapat maju dari segi tertentu dan terbelakang dari segi yang lain, juga bagaimana Malaysia dapat lebih maju dari Indonesia.

Kemungkinan jawaban Pertama adalah ilmu kauliyah, adalah ilmu tertulis yang langsung bersumber dari Tuhan yaitu Alquran dan Hadis Nabi. Malaysia yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam masih memegang kuat ilmu ini dan rata-rata masyarakatnya pun lebih mematuhi perintah-Nya dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Di sekolah-sekolah serta instansi publik dan pemerintah, bisa dilihat bagaimana cara mereka berpakaian. Mereka masih sangat mencintai budaya melayu yang sangat dekat dengan budaya Islam. Sehingga kesantunan dan moral pun lebih berwarna dinegeri ini. Tampaknya rahmat Allah pun lebih melimpah di Malaysia seiiring dengan tetap dipegangnya kecintaan negara dan masyarkatnya terhadap Islam.

Sementara di Tanah Air kita, simbol-simbol Jawa ala Majapahit lebih disukai menjadi keunikan yang tidak terlalu berarti. Lihat saja, saat pertama kali seorang asing menginjakkan kaki di bandara Soekarno-Hatta Jakarta, patung khas Majapahit akan menyambut tamu yang datang ke pusat negara. Sehingga seakan-akan kebudayaan lain bukan bagian dari Indonesia. Saya tidak bermaksud tidak mengizinkanhal itu, tapi mengingatkan bahwa aneka kekayaan budaya lain jangan dibiarkan mati.

Kedua, ayat kauniyah. Yakni ilmu yang bersumber dari Allah dan 'tertulis' di alam semesta: tubuh manusia, laut, daratan, hingga luar angkasa. Umat Muslim seharusnya juga menyadari bahwa ilmu ini juga menjadi kewajiban untuk dipelajari dan diamalkan. Maka wajarlah negara Barat lebih maju dalam teknologi dan ekonomi di mana ilmu ini benar-benar mereka kuasai. Nilai-nilai positif seperti disiplin, good governance yang bersumber dari akal ciptaan Tuhan pun mereka kuasai. Namun masyarkat Barat mundur dalam hal sosial dan spiritual. Sehingga mereka tidak mempunyai pegangan dan tujuan hidup yang jelas, akhirnya kehampaan hidup pun mendera.

Sungguh indah sebenarnya Islam yang mencakup keseluruhan dalam segenap segi kehidupan. Sehingga mereka yang mengamalkannya dengan benar mempunyai pedoman yang sempurna. Sementara kita di Indonesia telah meninggalkan kedua ilmu tersebut. Di negara kita bisa dilihat jika ada pemimpin yang mencoba memperbaiki moral masyarakat dengan kebijakan pelarangan pelacuran, minuman keras, hiburan malam bermasalah yang dekat dengan narkoba dan AIDS, maka penentangan terhadap kebijakan tersebut akan muncul. Dengan dibantu media, kalangan ekstremis liberal yang sangat tidak demokratis mereka berperan besar dalam penghancuran tatanan masyarakat yang ingin kembali pada nilai-nilai moral yang universal. Tampaknya umat Muslim Indonesia benar-benar telah mengalami tirani mayoritas sehingga tidak dapat mengamalkan ajaran agamanya dengan tenang dan sempurna.

Ilmu kauliyah tidak di tangan, ilmu kauniyah pun melayang. Dalam hal Human Developemnt Index (HDI)) misalnya, data UNDP 2003 juga menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 110 dari 175 negara. Lalu, melihat kondisi seperti ini, dapatkah kita mengambil pelajaran? Mahathir Muhammad masih dalam kesempatan yang sama, dalam menjawab sebuah permintaan peserta untuk memberikan pesan terhadap Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan tidak hanya satu, tapi ratusan pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Tentunya pemimpin ini adalah pemimpin devotis (mengabdi) yang mengerti makna penciptaan dirinya untuk menjadi khalifah dan mengabdi pada Allah SWT dengan komprehensif menjaga keseimbangan pengamalan ilmu kauliyah dan kauniyah. Sehingga Allah pun cinta kita dan kita menjadi maju karena mengambil sudut maju positif Barat dan Timur bukan sebaliknya malah mengambil sudut terbelakang Barat belaka.

Republika, 22 Agustus 2007