Wednesday, January 10, 2007

Siapa Bilang Indonesia Miskin!

Oleh: Imam Cahyono

Kemiskinan seolah menjadi fakta tak terbantah. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara berpenduduk termiskin di dunia, sekitar 39,05 juta jiwa versi Badan Pusat Statistik atau lebih dari 100 juta jiwa versi Bank Dunia. Jika ambang batas kemiskinan (poverty threshold) diukur dari kegagalan pemenuhan hak-hak dasar (basic rights) atau dengan skala pendapatan di bawah 1-2 dollar AS per hari, kita sulit mengelak.

Kegagalan menangani bencana, rentetan wabah penyakit, dan tragedi busung lapar melengkapi potret buram itu. Kemasyhuran zamrud khatulistiwa dan lautan kolam susu kian diragukan. Bagaimana mungkin negeri yang kaya sumber alam dan bertanah subur justru menjadi ladang persemaian tragedi kemiskinan?

Sebuah paradoks

Namun, mari kita gunakan logika terbalik. Selama ini, diagnosis problem kemiskinan cenderung mengabaikan kekayaan bangsa —yang kasatmata— dan orang-orang kaya di republik sebagai faktor determinan. Di tengah kemiskinan yang menjerat, ada manusia-manusia superkaya kelas dunia. Majalah Forbes Asia (18/9/2006) merilis daftar 40 orang superkaya Indonesia, dengan total kekayaan 22,27 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 200 triliun. Celakanya, di antara daftar taipan superkaya itu bercokol pemain lama, termasuk pembobol uang negara yang mengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Hasil survei Merrill Lynch dan Capgemini tahun lalu juga tidak kalah heboh. Menurut kedua perusahaan jasa keuangan internasional itu, sepertiga jumlah miliarder di Singapura adalah warga Indonesia. Sepertiga dari total aset 55.000 orang terkaya di Singapura, sebesar 260 miliar dollar AS, adalah milik warga Indonesia (WNI) yang punya izin tinggal tetap di sana. Dari 55.000 orang terkaya itu, 18.000 orang adalah WNI yang berdomisili di Singapura dengan kekayaan 87 miliar dollar AS (sekitar Rp 800 triliun). Belum lagi jika ditambah kekayaan WNI yang disimpan dan diinvestasikan di negara lain. Padahal, RAPBN 2007 saja hanya berkisar Rp 713,44 triliun.

Pada masa kolonial, darah dan keringat rakyat serta kekayaan alam Nusantara dikuras Belanda. Kini, kekayaan Indonesia menjadi tulang punggung negara lain. Bukan rahasia lagi, Singapura merupakan negara yang tergantung uang gelap dari Indonesia dan China. Ironisnya, para miliarder yang bermukim di sana tetap memiliki perusahaan yang beroperasi di Indonesia dengan mengandalkan pasar Indonesia. Kendati para miliarder tinggal di Singapura, mereka masih mencari untung dengan mengeruk kekayaan Indonesia.

Dominasi pemodal asing

Lantas, seberapa besar kekayaan bangsa yang dapat dinikmati rakyatnya? Globalisasi ditandai pergerakan modal secara bebas, melampaui batas-batas negara- bangsa. Indonesia ternyata menjadi surga bagi pemodal asing yang bergiat menguasai sumber daya yang vital. Investor asing melihat Indonesia sebagai penyedia bahan baku yang murah dan melimpah serta penduduknya sebagai pangsa pasar yang potensial. Kita pun cenderung salah kaprah memaknai investasi asing sebagai suntikan dana segar dari pemodal. Padahal, aliran modal asing itu sejatinya menjadi parasit yang mengisap. Mereka beternak uang dengan menumpang mencari makan di republik ini.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah selalu menjadi incaran. Nama-nama besar Freeport, ExxonMobile, Newmon, dan Inco yang menguasai sumber-sumber kekayaan alam potensial seperti emas, nikel, gas, dan minyak bumi jelas bukan hal baru. Untuk air minum berlabel Aqua, berasal dari mata air dan dikemas di republik ini, harus kita beli dari Danone dengan harga yang tidak murah. Yang diuntungkan pun para pemodal.

Sektor finansial, terutama perbankan, juga tak lepas dari cengkeraman pemodal asing. Jangankan bank-bank papan atas seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Niaga, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Lippo, Bank Bumiputera, NISP, Permatabank, bank-bank kecil pun dilirik investor asing. Belakangan, penjualan bank swasta kepada investor asing kian gencar. Celakanya, kebanyakan bank swasta yang dimiliki asing itu lebih menggantungkan perolehan keuntungan dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang tak lain adalah uang negara. Laba triliunan rupiah yang didapat dari uang rakyat itu kembali ke kantong para investornya.

Dominasi pemodal asing di bidang perbankan tak lepas dari aturan yang membolehkan batas kepemilikan saham asing hingga 99 persen. Batas kepemilikan bank oleh pihak asing di Indonesia jauh lebih liberal dibanding negara lain. Amerika Serikat, negara dedengkot kapitalisme, hanya memberi kepemilikan asing 30 persen. Filipina membatasi kepemilikan asing 51 persen. Thailand dan India sebesar 49 persen. Malaysia, China, dan Vietnam membatasi hingga 30 persen.

Sektor-sektor vital lain pun tak lepas dari serbuan investor asing. Industri telekomunikasi pelan tapi pasti juga dikuasai modal asing. Sektor ritel dan sektor lainnya pun terus digempur pemain asing, sementara para pemain lokal kelabakan. Kibaran bendera modal asing menggerogoti ruang gerak sektor usaha putra-putra bangsa. Ironis, saat kekayaan republik ini bisa menghidupi orang asing, anak-anak negeri sendiri justru telantar.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar sejatinya merupakan sumber tenaga kerja yang berlimpah. China dan India menjadi raksasa ekonomi dengan memanfaatkan penduduknya sebagai tenaga kerja yang produktif. Jika republik ini dikelola dengan tegas dan saksama, dikawal penegakan hukum, penciptaan lapangan kerja, redistribusi keadilan sosial dengan mengutamakan kepentingan rakyat, Indonesia tidak pantas menjadi negara miskin.

Sebaliknya, Indonesia bak raksasa yang sedang tidur. Jika bangun, ia bisa menggegerkan dunia!

Imam Cahyono, Peneliti, Tinggal di Jakarta

Sumber: Kompas, Rabu, 10 Januari 2007

Eksekusi Saddam dan Eskalasi Kekerasan

Oleh: Muhammad Ja'far
# PENELITI PUSTAKA LP3ES INDONESIA SERTA LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT

Sejauh mana pelaksanaan eksekusi mati terhadap mantan Presiden Irak Saddam Hussein (31 Desember 2006) akan lebih memperburuk stabilitas keamanan negeri itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menghitung signifikansi dan urgensi pelaksanaan eksekusi tersebut dalam perspektif kepentingan politik beberapa faksi di Irak. Dari sini, dapat diketahui apakah eksekusi tersebut dapat diperhitungkan sebagai sebuah faktor yang akan berdampak.

Aksi teror dan konflik bersenjata yang belakangan semakin intensif di Irak merupakan salah satu ekspresi rivalitas antarfaksi dalam memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Berdasarkan penguasaan kursi parlemen, secara berurutan, ada tiga faksi dalam percaturan politik Irak, yaitu faksi politik Syiah, Kurdi, dan Sunni.

Masing-masing faksi tersebut masih terfragmentasi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, dengan kekhasan pandangan serta corak gerakan politiknya, dari yang moderat, radikal, hingga oportunis-pragmatis. Di kelompok Syiah, ada kubu Muqtada As-Sadr yang dikenal radikal dan kubu ulama Al-Sistani yang relatif lebih moderat. Demikian juga dengan kubu Sunni, pandangan serta gerakan politik yang berkembang di dalamnya tidak monolitis.

Selain ketiga faksi tersebut, masih bercokol kekuatan-kekuatan politik lama peninggalan rezim Saddam, yang tidak mau kehilangan kiprah. Kelompok ini di antaranya meliputi para politikus sisa kekuatan Partai Baath dan juga eks militer. Orientasi kelompok ini relatif pragmatis dan oportunis. Ada kemungkinan kelompok ini juga menggunakan aksi teror bom untuk meretas tujuan politisnya.

Politik Irak tampaknya juga disusupi "pihak-pihak ketiga", kelompok yang menginginkan hengkangnya pasukan koalisi asing pimpinan Amerika Serikat dari Irak. Mereka--yang sering diidentifikasi dengan jaringan kelompok Al-Qaidah--sebagian juga menggunakan teror bom dalam beraksi. Berdasarkan visi politiknya, kedua kelompok yang disebut terakhir ini tampaknya lebih dekat pada faksi Sunni sebagai afiliasinya.

Dari semua faksi di atas, ada yang menolak dan menyetujui proses peradilan serta vonis terhadap Saddam. Kurdi dan Syiah, sebagai kelompok yang pada masa rezim Saddam mengalami represi, cenderung menyetujui vonis tersebut. Sebaliknya dengan Sunni, sebagai pendukung rezim Saddam dulu, kelompok ini cenderung menentang.

Jadi tuntutan faksi tersebut terpecah dan berbeda. Tapi satu hal yang hendaknya dipahami bahwa dari semua faksi itu, tidak ada satu pun yang menjadikan isu eksekusi Saddam sebagai skala prioritas dalam agenda politiknya. Kalaupun menjadi bagian dari aspirasi atau tuntutan politis salah satunya, urgensinya sangat rendah.

Eksekusi terhadap Saddam dinilai bukan agenda politik yang mendesak. Dengan alasan menjaga stabilitas keamanan, kelompok Syiah moderat dan Kurdi jelas cenderung tidak menyetujui keputusan eksekusi tersebut. Adapun kubu Muqtada, meski dikenal sebagai Syiah radikal, ada kemungkinan tidak melihat adanya signifikansi serta keuntungan politis yang besar bagi mereka dari proses eksekusi terhadap Saddam. Jadi eksekusi tersebut juga ada kemungkinan bukan bagian agenda yang mendesak dan signifikan.

Meski faksi Sunni jelas tidak berkenan dengan eksekusi tersebut, figur Saddam kini pada dasarnya tidak lagi memiliki pengaruh politis yang kuat terhadap kelompok ini. Sisa kekuatan Partai Baath, misalnya, tidak lagi memiliki kekuatan untuk merespons isu eksekusi tersebut secara signifikan dalam bentuk aksi teror dan bersenjata.

Berbeda dengan kelompok yang disebut "pihak ketiga", yang juga Sunni, ada kemungkinan memang akan memanfaatkan isu eksekusi ini untuk meningkatkan aksi teror bomnya. Meski demikian, kalaupun terjadi peningkatan eskalasi aksi teror bom pascaeksekusi Saddam, hal itu tidak sepenuhnya memiliki keterkaitan secara diametral dengan keputusan eksekusi tersebut. Mengacu pada motif dan visi politik kelompok ini, Saddam tampaknya tidak lagi dilihat sebagai isu yang strategis untuk dipolitisasi.

Jadi, menurut saya, di percaturan politik Irak saat ini, Saddam sebenarnya bukanlah faktor. Dengan demikian, proses eksekusi terhadap dirinya juga tidak memiliki signifikansi politis yang berarti, baik terhadap lawan politiknya maupun pendukung dan sisa kekuatan rezimnya. Urgensi pelaksanaan eksekusi tersebut sebenarnya juga sangat rendah. Bukan tuntutan politik dengan skala prioritas yang tinggi.

Melihat fakta ini, muncul spekulasi tentang motif tersembunyi di balik keputusan tersebut. Sebab, jika mengacu pada kompleksitas kasus Saddam, proses peradilannya terhitung masih sangat dini. Ada kesan ketergesa-gesaan dalam proses eksekusi tersebut. Demikian cepat, pesat, dan terkesan diam-diam. Beberapa motif yang mungkin melatarbelakangi fakta cepatnya proses eksekusi terhadap Saddam ini di antaranya sebagai berikut ini.

Pertama, percepatan eksekusi merupakan hasil tekanan pemerintah George W. Bush, yang dimaksudkan sebagai upaya memulihkan citra politiknya terkait dengan kondisi Irak. Kedua, eksekusi dimaksudkan untuk menarik simpati dan mengendurkan resistensi politik kalangan Syiah radikal. Ketiga, eksekusi ada kemungkinan juga dimaksudkan sebagai langkah politik menekan kelompok-kelompok Sunni yang intensif melancarkan aksi teror.

Jika benar ini tujuannya, hasil yang akan dituai tidak akan terlalu signifikan. Sebagai mekanisme pemulihan citra Bush, eksekusi Saddam justru bisa berbalik arah menimbulkan reaksi negatif. Terbukti dengan munculnya tentangan keras dari sebagian pihak atas keputusan eksekusi tersebut. Eksekusi terhadap Saddam juga tidak akan berpengaruh signifikan dalam mengubah persepsi politik kalangan Syiah radikal terhadap pemerintah Amerika Serikat, terutama kubu Muqtada Sadr, yang dikenal keras menentang keberadaan pasukan Amerika.

Terakhir, karena figur Saddam bukan lagi faktor, eksekusi tersebut juga tidak akan menempatkan kalangan Sunni dalam posisi tertekan secara politis. Jadi, jika sebagian kalangan mengkhawatirkan dampak proses eksekusi Saddam pada semakin tingginya aksi teror di Irak, hal itu sepertinya tidak sepenuhnya benar. Reaksi yang muncul ada kemungkinan temporer semata. Selebihnya, aksi teror tidak memiliki keterkaitan diametral dengan keputusan eksekusi Saddam.

Sumber: Koran Tempo, Rabu, 10 Januari 2007

Monday, January 8, 2007

Eksekusi Saddam Fitnah Al-Kubra III

Oleh Azhari Akmal Tarigan

Di saat umat Islam sedunia merayakan Hari 'Id Al-Adha dan pada saat yang bersamaan sebagian besar lainnya sedang menjalani ritual haji di Tanah Suci, Saddam Hussein harus merenggang nyawa di tiang gantungan. Tubuh yang dahulu begitu kekar dan penuh wibawa seakan tak berdaya lagi. Kepala Saddam terkulai ke kiri dengan leher yang sudah patah terjerat tali tambang. Dengan kalimat la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah, Saddam musuh besar Amerika tersebut menghebuskan nafasnya yang terakhir Waspada.

Berakhirkah cerita Saddam di Irak pasca eksekusi tersebut? Selesaikah persoalan Irak yang selalu diwarnai aksi kekerasan antar berbagai faksi setelah Saddam wafat?. Akankah Amerika mengakhiri "penjajahan" dan "eksploitasinya" di Irak ? Akankah Sunni dan Syi'ah memasuki babak baru yang lebih baik setelah eksekusi tersebut?. Terhadap pertanyaan besar ini, banyak pengamat memprediksi, masa depan Irak tidak akan semakin baik pasca eksekusi tersebut. Terlebih lagi menyangkut hubungan Sunni dan Syi'ah. Eksekusi Saddam di tiang gantungan malah menciptakan dendam kusumat baru antara Sunni dan Syi'ah. Tulisan sederhana ini akan mencoba memprediksi masa depan hubungan Sunni dan Syi'ah pasca eksekusi Saddam dengan menggunakan sejarah politik Islam sebagai pisau analisisnya.

Sketsa Historis Sunni-Syi'ah
Konflik antara Sunni dan Syi'ah bukankah cerita baru. Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa tidak ada pertumpahan darah yang paling besar dilakukan oleh umat Islam sepanjang sejarahnya kecuali pertumpahan darah yang terjadi antara Sunni dan Syi'ah. Bahkan Imam Syahrastani di dalam Al-Milal wa Al-Nihal menuliskan, tidak pernah darah ditumpahkan dan pedang dihunus dalam Islam kecuali karena pertikaian masalah imamah (kepemimpinan). Jadi seperti apa yang dikatakan Jalaluddin Rakhmat, skisma (perpecahan) dalam Kristen maupun skisma dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian kepentingan politik dari pada karena pertikaian akidah.

Sejarah mencatat, setidaknya banyak terjadi fitnah dalam sejarah Islam. Dua di antaranya adalah fitnah yang besar (al-fitnah al-kubra). Sebelumnya. perlu dijelaskan di sini makna fitnah bukanlah dalam arti perkataan yang bermaksud menjelekkan orang seperti terdapat di dalam kamus. Fitnah di dalam bahasa Arab dan di dalam Alqur'an adalah ujian, cobaan dan siksa (Shihab: 2006, 14). Kata fitnah di dalam tulisan ini bermakna ujian.

Fitnah yang pertama adalah peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang merupakan awal dari munculnya skisme dalam Islam. Peristiwa ini terjadi duapuluh empat tahun setelah wafat Nabi.

Usman bin Affan r.a dibunuh oleh sekelompok tentara (Arab Islam) yang berasal dari Mesir. Sebelumnya diceritakan bahwa sekelompok tentara datang kepada Usman untuk menuntut apa yang menjadi hak-hak mereka. Tetapi mereka segera kembali pulang karena diberitahu (secara palsu) bahwa masalah mereka telah diselesaikan oleh Khalifah Usman dengan cara yang baik dan damai melalui meja perundingan dengan ketua mereka. Ternyata berita itu palsu dan malah pimpinan mereka telah terbunuh. Hal ini tentu menyulut kemarahan tentara tersebut dan akhirnya menuntut Usman untuk bertanggung jawab. Sejarah mencatat, dengan cukup mudah tentara ini menyerbu rumah Khalifah Usman dan berhasil membunuhnya. Darah pun bercucuran di sekujur tubuh Usman.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan, kaum Umawi yang merupakan bagian dari keluarga Usman menuntut tanggung jawab dari khalifah yang terpilih berikutnya yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Tidak itu saja mereka malah menaruh kecurigaan bahwa Ali terlibat dalam pembunuhan Usman bin Affan. Muncullah sikap-sikap yang tidak senang kepada pengangkatan Ali yang berujung pada meletusnya perang Shiffin. Pasukan Ali secara terbuka berhadapan dengan pasukan Mu'awwiyah. Singkat cerita, perang tersebut di belakang hari melahirkan skisma baru dalam Islam yaitu Khawarij, Syi'ah dan Sunnah. (Madjid: 1994; 677).

Kendati tidak terlalu tepat, peperangan yang terjadi antara pasukan Ali (disebut saat itu Syi'ah Ali) dan Mu'awwiyah yang dipicu oleh terbunuhnya Usman bin Affan adalah konflik terbuka pertama yang terjadi antara Sunni dan Syi'ah. Konflik ini terus berlanjut bahkan sampai hari ini sebagaimana yang kita saksikan di Irak. Peristiwa ini disebut para pengkaji Islam sebagai al-fitnah al-kubra I.

Selanjutnya al-fitnah al-kubra yang kedua terjadi ketika terbunuhnya Husayn (putra Ali Ibn Abi Tahlib) oleh Yazid (putranya Mu'awwiyah yang diangkatnya sendiri menjadi khalifah). Konflik ini bermula dari penolakan pendukung Ali Ibn Thalib terhadap kepemimpinan Yazid yang sangat jauh dari ciri-ciri keislaman. Mereka pun meminta Hussen untuk memimpin pemberontakan di Kufah, Irak. Sayangnya sebelum tentara Syiria datang menyerbu, penduduk Kufah menarik dukungannya kepada Husayn. Akhirnya Hussen maju dengan jumlah pasukan yang kecil. Mereka menolak untuk menyerah kepada Yazid. Akhirnya di Padang Pasir Karbala dekat Kufah Husyan cucu Rasulullah tewas dengan amat kejam dan tragis. Peristiwa ini oleh Madjid disebut sebagai fitnah yang kedua.

Secara matematis konflik Sunni dan Syi'ah telah berlangsung secara seimbang. Pada fitnah yang pertama, Usman bin Affan sebagai khalifah terbunuh dianggap mewakili Sunni. Pada fitnah yang kedua Husayn terbunuh dan dipandang sebagai pemimpin (imamah) Syi'ah. Keadaan menjadi sama. Ternyata masalahnya tidak selesai sampai di sini. Dendam kusumat berlangsung antara dua sekte ini bahkan sampai hari ini walaupun tetap saja bukan gejala yang bersifat umum di semua negara muslim atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim.

Bukti konflik terus berlangsung dapat dilihat pada pemerintahan Irak di bawah pimpinan Saddam Hussein. Beberapa informasi yang tersedia menunjukkan betapa Saddam melakukan pembunuhan terhadap warga Syi'ah sepanjang pemerintahannya. Maka wajar saja ketika Amerika datang menginvasi Irak, warga Syi'ah merasa diuntungkan. Buktinya mereka tidak mampu menahan luapan kegembiraannya ketika menyaksikan patung Saddam dihancurkan dan terkulai lemas di tiang gantungan. Rekaman video menunjukkan bahwa yang paling bergembira dengan eksekusi itu adalah kelompok Syi'ah.

Dengan menggunakan perspektif historis, penulis ingin menyebut bahwa kematian Saddam adalah fitnah yang ketiga. Saddam kendati ia merupakan Presiden Irak yang warganya terdiri dari Sunni dan Syi'ah, namun sebenarnya Syi'ah tidak pernah mengakui kepemimpinan Saddam, karena mereka memiliki konsep imamah tersendiri. Jadi secara defacto, Saddam adalah tokoh dan pemimpin Sunni.

Disebut ujian ketiga karena setelah kematian Saddam, pertanyaan besarnya adalah apakah akan terjadi perdamaian antara Sunni dan Syi'ah. Penulis harus mengatakan, eksekusi Saddam akan mempertajam konflik Sunni dan Syi'ah. Lebih dari itu, di dalam dada warga Sunni saat ini bersemayam dendam kusumat. Beberapa hari setelah kematian Saddam saja mereka telah menunjukkan protesnya terhadap keputusan eksekusi yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Jadi adalah sulit untuk mengatakan eksekusi Saddam akan menyelesaikan masalah di Irak terlebih lagi menyangkut hubungan Sunni dan Syi'ah. Malah bisa jadi ketika orang Syi'ah menjadi pimpinan tertinggi di Irak maka ia akan siap-siap untuk mati terbunuh oleh Sunni baik secara langsung atau tidak.

Yang agaknya tidak disadari oleh Sunni dan Syi'ah di Irak adalah konflik ini sengaja dipelihara oleh Amerika. Hanya dengan cara memecah belah antara Sunni dan Syi'ah, Amerika dapat menancapkan hegemoninya di Irak. Wajar saja, Amerika berada di belakang Syi'ah dan sebaliknya mereka merasa aman dengan perlindungan Amerika. Pendek kata, Amerika sebenarnya sangat diuntungkan dengan adanya konflik permanen antara Sunni dan Syi'ah.

Hal ini akan berbeda, ketika Sunni dan Syi'ah berhasil menghapus luka lama dan dendam kesumatnya. Ketika mereka bersatu dalam visi untuk masa depan bersama di Irak kendati tetap berbeda dalam ideologi, maka pada saat itu tidak ada sejengkal pun tanah di Irak yang dapat diinjak Amerika. Mungkinkah Syi'ah dan Sunni bersatu di Irak ? Penulis menjawabnya dengan kalimat, Wallahu A'lam

* Penulis adalah Mahasiswa S3 IAIN. SU Medan dan Direktur Shafia Institut Medan
(am)


Sumber: WASPADA Online

Saturday, January 6, 2007

Malapetaka

Oleh Jakob Sumardjo

Menjadi rakyat di Indonesia adalah menjadi obyek bulan-bulanan kekuasaan di segala lini. Mereka yang memiliki otoritas untuk memutuskan suatu tindakan yang akan menimpa banyak orang, itulah kekuasaan itu. Otoritas semacam itu ada di semua tingkat dan semua tempat hajat orang banyak, baik yang tetap maupun aksidental.

Sejarawan Australia, MC Ricklefs, menyatakan, "Di sebuah negeri yang menunjukkan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi-tradisi otoriter, banyak yang bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpinan Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia sejak 1950 sebagian merupakan kisah kegagalan berbagai kelompok pimpinan secara berturut-turut."

Rakyat sebagai obyek

Menjadi pemimpin di Indonesia, di bidang apa pun dan di tingkat mana pun, adalah pengemban tugas berat, justru karena rakyatnya yang miskin, kurang pendidikan, dan tradisi berpikir "bapak selalu benar". Mereka yang menduduki jabatan kepala negara sampai kepala bagian di kantor adalah bapak yang selalu benar. Mereka adalah panutan dan teladan dalam aktualisasi kepemimpinan.

Rakyat dan orang banyak memercayai para pemimpin dan ketuanya karena prinsip kebenaran, kesungguhan, keahlian, keberanian, pengorbanan, dan mendahulukan kepentingan orang banyak daripada diri sendiri. Mereka pantang selamat sebelum yang dipimpinnya selamat, pantang kaya sebelum rakyatnya kaya.

Lihatlah para pemimpin kita di zaman kolonial yang ingin membebaskan rakyatnya dari penjajahan. Mereka rela dipenjara sebelum rakyatnya merdeka dari penjajahan, kemiskinan, dan kebodohan. Sampai tua pun, setelah Indonesia merdeka, mereka pantang kaya, seperti diperlihatkan Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim, dan Ki Hajar Dewantoro. Mereka berpikir untuk rakyat, tidak memikirkan diri dan keluarganya.

Sejak 1950, setelah kemerdekaan, kisah kegagalan demi kegagalan dipertontonkan para pemimpin Indonesia. Dengan kedok "atas nama rakyat" mereka rakus mengurus diri sendiri. Rakyat menjadi mainan. Hajat orang banyak hanya berhenti pada kata-kata. Kekuasaan hanya dilihat sebagai kue raksasa yang nikmat untuk dibagi dan diperebutkan. Rakyat hanya pelengkap, bukan subyek kalimat lagi. Rakyat hanya bulan-bulanan para pemimpinnya.

Pemimpin idaman Indonesia adalah manunggaling kawula-Gusti, menyatunya yang dipimpin dan pemimpin. Pemimpin menjadikan diri sebagai yang dipimpin. Bagaimana wali kota mampu menertibkan pedagang kaki lima jika tidak pernah menjadikan dirinya pedagang kaki lima. Di sini subyek menjadi subyek rakyat. Wali kota menjadi rakyat untuk dapat memimpin rakyatnya. Derita dan tangis rakyatnya adalah derita dan tangisnya sendiri, tangis keluarganya.

Harus mati-matian

Malapetaka demi malapetaka, bencana demi bencana, akhir-akhir ini yang menimpa banyak rakyat, hanya dipandang sebagai "yang lain", bukan bagian dari aku. Karena sebagai "lain", maka hanya obyek belaka. Tangis mereka bukan tangis keluarga saya. Saya tahu mereka menderita, tetapi tidak cukup merasakan penderitaan mereka. Itu sebabnya penyelesaiannya cukup dengan menghitung statistika. Berapa yang mati, berapa yang luka, berapa banyak rupiah harus dikeluarkan. Jika hitungannya telah ditetapkan, lenyaplah penderitaan rakyat itu.

Memimpin Indonesia tidak dapat dibaca dari buku-buku. Memimpin Indonesia adalah memimpin manusia-manusia Indonesia seperti digambarkan Profesor Ricklefs di atas. Rakyat adalah manusia, bukan gerombolan makhluk hidup yang bisa dinaikkan ke atas truk lalu dipindah ke sana kemari. Rakyat yang miskin, kurang pendidikan, adalah rakyat dengan penderitaannya sendiri, memercayai mereka yang ditunjuk sebagai pemimpin.

Jika anak adalah titipan Tuhan kepada orangtuanya, maka rakyat adalah titipan Tuhan bagi para pemimpinnya. Jika Anda dapat menderita saat anak-anak Anda menderita, mengapa Anda tidak mampu menderita ketika rakyat Anda menderita?

Memimpin Indonesia yang plural dan besar mungkin lebih berat dan lebih rumit dari negara dan bangsa mana pun. Memimpin di Indonesia tidak dapat sembrono, sambil lalu, amatiran. Kerja keras saja tidak cukup, harus mati-matian. Bangsa sebesar ini dan tanah seluas ini harus dikenal sebagai mengenal telapak tangan sendiri. Indonesia adalah Anda. Rakyat adalah Anda. Menduduki jabatan pemimpin di mana pun di Indonesia adalah amanah yang nyata, bukan sekadar jargon politik. Bagaimana Anda akan mengangkat kemiskinan mereka? Bagaimana memberi pekerjaan kepada mereka? Bagaimana menyelamatkan mereka dari bencana?

Jika penanganan bencana dan malapetaka kian buruk, jika jumlah pengangguran kian besar, jika busung lapar tak kunjung lenyap, jika kejahatan kian meningkat, jika rasa aman semakin tipis, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Siapa yang berani bertanggung jawab atas malapetaka nasional ini?

Tidak pernah seorang pemimpin yang pernah berkuasa mengakui ketidakberhasilannya dan meminta maaf kepada rakyatnya. Semua pemimpin, dari kepala negara hingga kepala desa, mengaku dirinya telah berbuat benar untuk rakyat meski hasilnya statistik yang kian menurun. Harga rupiah jatuh dari tahun ke tahun. Itukah kesalahan rakyat? Harga beras tiga tahun lalu sekitar Rp 2.500, kini sekitar Rp 6.000. Inikah keberhasilan?

Krisis Indonesia adalah krisis para pemimpinnya. Berbagai jabatan mahaberat hanya dilihat segi flamboyannya, seolah tak kalah dengan para pemimpin negara super power. Mereka bukan Agus Salim yang masih mengontrak rumah meski berkali-kali jadi menteri.

Jakob Sumardjo, Esais

Sumber: Kompas

AS Pelanggar Berat HAM

Oleh Muhammad Fatih

Eksekusi mantan Presiden Irak Saddam Husein telah dijalankan pada hari Sabtu tanggal 31 Desember 2006. Eksekusi dilakukan dengan cara digantung, setelah sebelumnya diputuskan oleh pengadilan nasional Irak bahwa mantan orang nomor satu di Irak itu harus dihukum mati karena kesalahannya melanggar HAM terhadap warga suku Kurdi. Kini, Saddam Hussein hanya menjadi kenangan bagi orang yang pro maupun kontra terhadapnya setelah kemudian ia dikuburkan di kampung halamannya. Pemimpin yang disebut-sebut George W Bush sebagai diktator itu pun harus meninggalkan dunia ini dengan cara yang cukup mengenaskan.

Kematian orang yang pernah menjadi "anak kandung" AS tersebut kemudian menjadi pembicaraan meluas di tengah-tengah masyarakat. Yang pro mengatakan bahwa walau bagaimanapun Saddam Hussein adalah Muslim dan kematian Saddam menyinggung perasaan kaum Muslim di seluruh dunia. Sedangkan yang kontra mengatakan Saddam adalah pemimpin diktator di masa kejayaannya yang telah banyak membunuh banyak rakyat Irak yang tak berdosa sama sekali.

Terlepas dari pembicaraan pro dan kontra di seputar kematian Saddam Hussein, yang perlu kita pertanyakan dalam hal ini adalah, apakah HAM yang selama ini didengang-dengungkan AS dan negara-negara Barat lainnya adalah sesuatu yang keluar tanpa pertimbangan politik tertentu? Jika tidak, mengapa eksekusi Saddam Hussein dilakukan, karena menurut HAM sendiri hukuman gantung tersebut sangat bertentangan dengan HAM. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa HAM sesungguhnya hanya slogan politik yang digunakan Barat bila sejalan dengan kepentingan politiknya. Namun, bila HAM tidak sejalan dengan kepentingan politiknya, HAM seolah hilang ditelan bumi.

Ilusi sang-HAM
Bila kita menelaah realita dengan jeli terhadap HAM, kita akan menemukan bahwa konstitusi dan dokumen atau piagam HAM tidak pernah memuat hak-hak dengan bentuk perundang-undangan yang jelas. Yang ada tidak lain adalah pernyataan yang mengakui kebebasan dan persamaan dengan cara reaksioner dan pemanis bibir saja. Hal itu merupakan pasal-pasal karet yang dimanfaatkan AS dan negara Barat lainnya untuk mengakui atas sebahagian hak, atau tidak adanya pengakuan atas hak-hak itu di tengah-tengah masyarakat.

Fenomena seperti itu misalnya dapat kita jumpai di berbagai negara Barat yang menyatakan dirinya sebagai pendukung HAM. AS misalnya pernah menerapkan kebijakan yang berbeda antara kulit hitam dengan kulit putih. Atau Perancis yang telah melarang Muslimah untuk memakai pakaian Muslimah di ranah publik, namun tidak melarang perempuan yang hanya mengenakan "cd" dan "bra" yang dikenakan di tempat-tempat umum. Atau AS dan negara-negara Barat yang lain tidak pernah melarang Israel dalam menjajah dan membunuh rakyat Palestina dan sebagainya.

Lebih dari itu, seluruh dokumen piagam (perjanjian) internasional, seperti deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948, dan perjanjian internasional mengenai hak-hak sipil dan politik yang dikeluarkan PBB tahun 1966; kedua macam deklarasi ini tidak menyebutkan secara jelas cara-cara yang mencukupi untuk menjamin hak-hak azasi manusia. Keduanya hanya menyatakan pentingnya penjagaan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, namun realisasi dari pentingnya penjagaan dan perlindungan serta cara-cara yang praktis dalam penyelesaiannya jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, banyak kita temukan masih terlalu subyektif.

Walaupun deklarasi internasional dan perjanjian internasional tentang hak-hak asasi manusia itu mengakui hak yang berhubungan dengan pribadi, tubuh, kebebasan berpikir, tidak adanya penahanan secara sewenang-wenang, tidak boleh disiksa atau dipenjarakan tanpa ketetapan hukum dan undang-undang, namun deklarasi internasional mengenai hak asasi manusia itu tidak menentukan sarana internasional yang memadai, yang bisa digunakan manusia untuk melindungi hak-hak dan kebebasannya yang telah diakui itu.

Sebagai tambahan, bahwa perlindungan yang dijamin oleh konstitusi-konstitusi AS dan negara Barat lainnya, termasuk berbagai konstitusi negara berkembang yang notabene mengekor kepada mereka, telah dibatasi dengan teks-teks perundang-undangan positif yang biasanya menyatakan tidak bolehnya penangkapan, pemenjaraan, atau spionase, kecuali berdasarkan keputusan undang-undang atau hukum. Karena pada dasarnya undang-undang berasal dari rancangan (ketetapan) para penguasa, maka dalam banyak hal terjadi pelenyapan hak-hak kemanusiaan, dan terjadi pelanggaran terhadap kehormatan individu atas nama undang-undang. Legislasi berbagai pelanggaran itu terjadi dengan ditetapkannya berbagai teks di dalam undang-undang. Seperti "Undang-undang darurat", "Hukum-hukum perang", "Mahkamah Darurat" dan sebagainya, yang termasuk pengecualian dari undang-undang.

Pada akhirnya, hal itu menjadi dasar pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal itu membawa akibat: "sejumlah manfaat praktis dalam realitas perkara dari bentuk redaksional yang selama ini diagung-agungkan dan dijamin berbagai teks perjanjian itu telah menyusut. Tolok ukurnya tergantung kepada sejumlah kecil orang yang memegang kekuasaan. Mereka menjalankan pemerintahan secara diktator dan otoriter. Mereka menekan mayoritas rakyat. Mereka mengeliminir partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, sejak dari awalnya. Itu dilakukan untuk menimbun hak-hak sejumlah kecil individu-individu masyarakat (lihat Dr. Muhammad Fathi Usman, Min Ushul al-Fikr as-Siyasi al-Islami, hal. 107).

HAM Basis Politik AS
Untuk mengokohkan posisi HAM sebagai peraturan internasional dan universal, AS menjadikan HAM sebagai salah satu basis strategi politik luar negerinya. Ini terjadi pada akhir 1970-an pada masa Presiden Jimmy Carter. Sejak itu, Departemen Luar Neg.eri AS selalu mengeluarkan evaluasi tahunan mengenai komitmen negara-negara di dunia untuk menerapkan HAM. Evaluasi tersebut juga menilai sejauh mana negara-negara itu menjalankan HAM.

Akan tetapi, daftar hitam negara-negara yang buruk pelaksanaan HAM-nya itu tidak pernah mencantumkan Israel. Seperti lazimnya kebijakan AS, dalam perkara ini pun Washington memiliki standar ganda, dan karena itu HAM menjadi diskriminatif dan tidak obyektif. Negara yang banyak melangggar HAM tidak berarti otomatis diserang AS. Sebaliknya, negara yang sedikit melanggar HAM malah bisa menjadi target operasi militer AS.

Ada negara-negara yang melanggar HAM, tetapi AS menutup mata dan tidak menggugatnya, karena garis kebijakan negara-negara itu dipandang masih sejalan dengan kepentingan AS. Terhadap mereka, juga demi menunjukkan komitmen sebagai penegak dan pelindung HAM, AS hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan keras secara lisan. Ini misalnya, dilakukan AS terhadap Israel dan Rusia, atau terhadap kasus pelanggaran HAM di Bosnia, Chechnya, dan Palestina.

Sebaliknya, AS dapat bersifat ganas terhadap negara-negara pelanggar HAM yang lain. Terhadap negara-negara yang melakukan 'dosa HAM' kecil tetapi berseberangan dengan kepentingan AS, maka AS tidak segan-segan mengambil tindakan militer, seperti yang dilakukannya terhadap Haiti, Afghanistan, atau Irak. AS juga sering mengambil tindakan ekonomi dan perdagangan, seperti yang dilakukannya terhadap China. AS juga acapkali mengambil langkah politik dan diplomatik, sebagaimna yang dilakukannya terhadap banyak negara, termasuk Indonesia dalam kasus Timor Timur. Langkah yang terakhir inilah yang paling banyak dilakukan AS demi tuntutan berbagai kepentingan dan atau tuntutan hegemoninya; sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan HAM di masing-masing negara.

Dengan demikian, kasus yang terjadi di Irak sebenarnya bukan kebijakan AS untuk menegakkan HAM di negara itu. Namun, tidak lebih dari agenda kepentingan AS untuk menjajah Negeri Seribu Satu Malam tersebut secara langsung karena 'anak kandung' yang bernama Saddam Hussein yang selama ini selalu patuh pada semua kebijakan AS, kini sudah menjadi 'anak nakal' yang tidak mau patuh terhadap segala kebijakan AS. Karena AS menganggap kenakalannya tidak bisa ditolerir lagi, maka ia pun menggantungnya. Walhasil, AS-lah yang selama ini sebagai pelanggar terberat HAM di dunia. Setuju?

* Penulis adalah Pengamat Politik dan Peradaban Dunia
(am)


Sumber: WASPADA Online

Melawan Sanksi PBB

Javad Zarif
Dubes Iran untuk PBB

Pada 23 Desember 2006, di hadapan Dewan Keamanan (DK) PBB kami menyatakan bahwa saat ini merupakan hari yang menyedihkan bagi rezim perjanjian antipenyebaran senjata nuklir atau NPT. Hanya beberapa hari lalu perdana menteri (PM) Israel memamerkan senjata nuklirnya kepada warga dunia, sementara DK PBB tidak melakukan tindakan apa pun atas ancaman itu. Sebaliknya, DK PBB justru menjatuhkan sanksi kepada Iran, salah satu anggota NPT, yang kebijakannya, di antaranya, tidak pernah menggunakan kekerasan terhadap negara lain serta telah meletakkan semua fasilitas nuklirnya di bawah pengawasan IAEA.

Pada 20 Desember 2006, dalam surat kepada DK PBB, kami juga mengatakan bahwa kepemilikan senjata nuklir oleh rezim Israel tak pernah memenuhi ketentuan resolusi DK PBB. Perjalanan sejarah Israel juga penuh dengan catatan gelap dan panjang atas kejahatan dan kekejaman terhadap kemanusiaan seperti pendudukan, agresi, militerisme, terorisme negara, dan rasialisme. Reaksi DK PBB terhadap kepemilikan senjata nuklir yang tidak sah oleh rezim Israel akan menunjukkan apakah Dewan mempertimbangkan untuk melaksanakan kewajibannya sesuai Pasal 24 dari NPT atau Dewan hanya menjadi alat. Sebagian kecil anggota tetapnya, hanya menyalahgunakannya untuk memecahkan masalah kebijakan luar negeri mereka sendiri dan untuk melayani kepentingan sesaat mereka.

Dengan situasi semacam ini, tidaklah mengejutkan jika suatu bangsa dihukum karena hak-haknya yang sah. Hukuman ini tak lebih hanya untuk membantu kepentingan rezim Israel yang sangat senang dengan agresi dan kejahatan perang. Menurut kami, resolusi yang sekarang ini hanya menunjukkan ketidakadilan historis DK PBB terhadap hak-hak Iran selama enam dekade terakhir.

Hal ini mengingatkan upaya di DK PBB untuk menghukum rakyat Iran karena menasionalisasi minyak mereka di tahun 1950-an, yang diklaim sebagai ancaman bagi perdamaian. Juga mengingatkan pada pengabaian Dewan terhadap kudeta militer yang diorganisir oleh dua anggota tetap Dewan yang mengembalikan kediktatoran di Iran. Ini menyegarkan ingatan kita saat Dewan tidak menganggap invasi terhadap Iran oleh bekas rezim Irak sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional, dan Dewan tidak menyerukan pasukan agresor untuk mundur dari wilayah Iran. Juga mengingatkan kembali peristiwa yang mengerikan ketika Dewan menutup mata terhadap penggunaan senjata kimia terhadap warga sipil dan tentara Iran. Dengan begitu, Dewan menanggung beban tanggung jawab puluhan ribu warga Iran yang terus menderita dan tewas karena dampak senjata kimia yang komponennya berasal dari negara tertentu yang duduk sebagai anggota tetap DK PBB.

Motif penjatuhan sanksi
Membawa isu program nuklir Iran ke DK PBB oleh beberapa anggota DK PBB, khususnya AS, tidak bertujuan untuk menemukan jalan yang membuat Iran kembali bernegosiasi dan tidak membantu terlaksananya negosiasi. Satu-satunya tujuan mereka hanyalah menggunakan Dewan sebagai alat penekanan dan intimidasi untuk memaksa Iran meninggalkan hak-haknya. Sebagaimana diketahui, ketiga negara Eropa yang bersekutu dengan AS tidak pernah berusaha mempelajari proposal yang ditawarkan Iran. Mereka sejak awal sudah bertekad untuk memanfaatkan Dewan, dan ancaman untuk menyerah serta penjatuhan sanksi digunakan sebagai instrumen dalam menekan dan memaksa Iran untuk tidak melaksanakan hak yang dijamin oleh NPT dalam memiliki teknologi nuklir yang bertujuan damai.

Bukan rahasia lagi bahwa tujuan utama mereka dalam negosiasi dengan Iran bukan untuk mencari solusi, tetapi memaksakan, mengulur-ulur waktu dan memperpanjang penangguhan hak Iran dengan kebijakan mereka yang sewenang-wenang. Penangguhan bukanlah suatu solusi, melainkan langkah sementara untuk menyiapkan peluang dalam mencari solusi yang sebenarnya. Penangguhan selama 2 tahun yang telah kami lakukan --dan berlawanan dengan alasan yang diajukan oleh para pendukung resolusi tersebut-- secara terus-menerus diklarifikasi oleh IAEA. Klarifikasi itu dilakukan untuk memastikan bahwa Iran telah menangguhkan apa yang telah disepakati dan merefleksikan hal tersebut dalam laporan-laporannya sejak November 2003 hingga Februari 2006.

Jadi, kami telah berunding hampir selama 3 tahun dan menundanya selama 2 tahun. Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan selama 3 tahun ini dalam mencari solusi? Apakah tiga negara Eropa sekutu AS pernah memberikan usulan tentang langkah yang diperlukan dalam menghilangkan kekhawatiran mereka terhadap Iran? Karena mereka tidak melakukannya, maka apakah mereka sudah mempelajari usulan yang diajukan oleh Iran di mana negosiator dari tiga negara Eropa pada awalnya menyatakan bahwa usulan Iran tersebut sebagai langkah yang positif? Apakah mereka pernah mengusulkan agar langkah positf itu dapat ditingkatkan? Atau bagaimana caranya mengurangi perbedaan? Mengapa setelah melakukan konsultasi dengan ketidakhadiran salah satu pihak, mereka dapat mengatakan bahwa usulan-usulan kami itu tidak bagus?

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Namun, jawaban dari semua pertanyaan itu adalah sama. Sebab apa yang diinginkan AS dan tiga negara Eropa hanyalah bahwa Iran harus membuat komitmen terikat untuk tidak meneruskan aktivitas daur ulang bahan bakar. Iran tidak menerima permintaan yang tidak sah itu, yang bukan merupakan permintaan terakhir mereka. Pada waktu yang sama, Iran selalu berusaha dengan berbagai cara untuk menghilangkan kekhawatiran palsu mereka terhadap penyebaran nuklir, walaupun faktanya Iran tahu mereka tidak lebih hanya memenuhi keinginan tak berdasarnya.

Para sponsor mengatakan bahwa mereka tidak percaya kepada 'niat' Iran. Terkait dengan masalah niat dan minat, kami tegaskan lagi bahwa para pro resolusi ini dengan sangat tidak jujur mengklaim bahwa mereka tidak percaya kepada niat Iran. Namun sebaliknya, tak seorangpun di Iran maupun di seluruh dunia yang ragu terhadap niat jahat mereka.

Pada akhirnya, kami menegaskan, Republik Islam Iran sangat meyakini bahwa zaman senjata pembunuh massal sudah lama berakhir. Senjata pembunuh massal yang tidak manusiawi ini tidak bisa dan tidak akan mampu membawa stabilitas dalam negeri maupun keamanan bagi semua negara. Kami juga percaya bahwa masa menggunakan kekuatan sudah lenyap. Yang sering dibicarakan adalah membangun kepercayaan. Toh kita butuh saling percaya di dunia yang kacau ini. Tetapi kepercayaan hanya dapat dibangun melalui penerapan hukum secara adil tanpa diskriminasi serta menghormati dan menaati hukum. Inilah satu-satunya jalan yang objektif.

Menerima tolak ukur lain hanyalah berarti menerima keinginan para penguasa. Hukum dan perjanjian internasional tidak dapat dan tidak boleh ditafsirkan, diubah, atau ditentukan garis merahnya setiap hari sesuai kepentingan dan keinginan mereka. Jika hal ini terjadi secara paksa dalam bentuk resolusi, maka bisa menimbulkan kebiasaan yang sangat berbahaya bagi kita semua.

Ikhtisar
- Penjatuhan sanksi terhadap Iran menunjukkan ketidakadilan historis DK PBB terhadap hak-hak Iran.
- DK PBB telah dijadikan alat penekan dan intimidasi untuk memaksa Iran meninggalkan hak-haknya.
- Hal ini menjadi sangat menguntungkan bagi Israel yang terbiasa menjajah dan meneror untuk menjalankan kepentingannya. - Iran meyakini bahwa rezim penggunaan senjata pemusnah massal saat ini sudah berakhir.

( )

Sumber: Republika

Friday, January 5, 2007

Menyoal Pembaruan Islam

Ismail F Alatas
Research Scholar History Department National University of Singapore

Artikel Hamid Fahmi Zarkasyi berjudul Menyoal 'Pembaruan Islam' (Republika, 28/12/06) menawarkan sebuah kritik terhadap proyek modernisasi dan liberalisasi Islam yang terdengar cukup segar. Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang haus akan kritik dewasa semacam ini.

Sering kita dengar hujatan, pengafiran, dan penyesatan dilancarkan beberapa kelompok Muslim terhadap mereka yang memperjuangkan 'pembaruan Islam'. Oleh karenanya, kritik, dalam arti kata sebenarnya sangat diperlukan guna menciptakan iklim intelektual dialogis. Artikel ini mencoba mengomentari beberapa poin penting yang telah disorot saudara Hamid.

Hegemoni konsep Barat
Dalam artikel tersebut, Hamid menekankan bahwa tantangan terberat yang dihadapi umat Islam adalah hegemoni konsep-konsep Barat yang kemudian diinternalisasi oleh kaum Muslimin sendiri. Jika kita tarik permasalahan ini lebih jauh ke belakang, maka tampak jelas bahwa akarnya terletak pada penemuan Islam sebagai objek studi oleh para ilmuwan Barat. Pada masa kolonial, baik di Indonesia maupun di negara Muslim lainnya, pemerintahan kolonial mengalami ketakutan mendalam terhadap Islam karena potensi subversif yang dimilikinya.

Dihadapkan dengan sebuah fenomena asing semacam ini, pemerintahan kolonial, beserta hulubalang intelektualnya mulai mencari tahu, membedah, dan merekonstruksi ulang Islam. Dengan begitu, Islam dapat direpresentasikan kepada dunia Barat dengan lensa yang dapat dikenali masyarakat Barat, walau tidak lagi dikenali kaum Muslimin sendiri.

Menurut antropolog Bernard Cohn, melalui proses 'determinasi, kodifikasi, kontrol, dan representasi' untuk mengenal tanah jajahan lebih dekat, sehingga lebih mudah mengontrolnya, ilmu kolonial lahir. Oleh karenanya, proses produksi ilmu kolonial merupakan penaklukan ranah epistemologi lokal. Dengan kata lain, sumber-sumber lokal dikumpulkan, diklasifikasi, dan ditafsirkan sebagai investigative modalities yang lama kelamaan diterima sebagai ilmu pengetahuan positif.

Para ilmuwan yang mengkaji Islam dan sejarah perkembangannya, kemudian mulai mengklasifikasi, mendefinisikan, dan menafsirkan Islam serta mengimposisikan konsep-konsep asing. Bahayanya, konsep-konsep serta klasifikasi yang disematkan para intelektual Barat seperti Islam tradisional, modern, liberal, Islam rasional, Islam skripturalis, dan sebagainya, banyak tidak berakar pada tradisi dan pengalaman historis Islam itu sendiri.

Karena maksud dari sistematisasi ini adalah merepresentasikan Islam kepada khalayak Eropa, maka konsep-konsep yang digunakan adalah konsep-konsep yang lebih akrab dengan pemikiran Eropa, yakni yang berdasar pada pengalaman historis Barat. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam pandangan hidup Islam, tiba-tiba menjadi ada. Dengan kata lain, masuklah konsep-konsep asing yang tidak sedikit bersifat kontradiktif dengan ajaran fundamental agama, ke dalam diskursus Islam.

Setelah konsep-konsep asing yang disematkan pada Islam terkonsolidasi di dunia Barat, barulah ia diadopsi kaum Muslim. Para pelajar Muslim yang belajar di universitas-universitas Barat kemudian mulai melihat Islam melalui kacamata para intelektual Barat. Proses ini, yang oleh saudara Hamid dicontohkan dalam kasus 'pembaruan Islam', disebut dengan internalisasi pemikiran asing dalam melihat diri sendiri. Dengan demikian, konsep-konsep yang berakar pada ketakutan kolonial serta ambisi dominasinya, dinaturalisasi dalam pembacaan kita akan Islam.

Kajian meta-analisis
Salah satu kelemahan fundamental yang dialami cendekiawan Indonesia dewasa ini muncul dalam mendefiniskan suatu masalah. Kelemahan dalam tingkat logika ini kemudian melahirkan kerancuan dalam pemilihan masalah serta penanggulangan dan penyikapannya. Artikel saudara Hamid telah menyoroti salah satu problem fundamental yang selama ini tidak dilihat sebagai problem, yaitu hegemoni konsep, pemahaman, nilai, ide, pendekatan bahkan terminologi Barat. Amnesia terhadap sejarah konsep-konsep tersebut turut menyemarakkan fenomena tersebut. Oleh karenanya, di Indonesia diperlukan kajian-kajian meta-analisis yang berfungsi membantu para intelektual dalam mendefiniskan masalah.

George Ritzer, dalam artikel berjudul Sociological Metatheory mendefinisikan meta-analisis sebagai studi refleksif terhadap struktur yang mendasari sebuah disiplin ilmu, tidak hanya dengan studi terhadap teori dan konsep-konsepnya tetapi juga metodologi, data, dan ranah substantifnya. Syed Farid Alatas telah mengklasifikasikan kajian meta-analisis menjadi empat varian.

Pertama, pendekatan internal-cognitive yang lebih memfokuskan pada kritik ide-ide internal dalam sebuah diskursus seperti ide tentang 'kemajuan', superioritas peradaban Barat dan paternalisme tradisi intelektual Barat. Contoh literatur yang menggunakan pendekatan ini adalah studi-studi orientalisme, eurosentrisme, dan studi teori retorika ilmu sosial.

Pendekatan kedua adalah external-cognitive yang mempelajari bagaimana ide, nilai, dan mentalitas dari luar disiplin ilmu turut mempengaruhi sebuah disiplin. Contoh dari studi-studi semacam ini adalah theory of mental captivity, pedagogical theories of modernization, dan modern colonial critique.

Varian ketiga adalah internal-institutional yang mengkaji pengaruh komponen-komponen struktural dalam sebuah disiplin ilmu terhadap aktivitas intelektualnya. Varian ini diwakili oleh literatur-literatur seperti theory of intellectual imperialism dan academic dependency theory. Yang terakhir, external-institutional, terfokus pada pengaruh komponen-komponen struktural dari luar disiplin ilmu terhadap aktivitas intelektualnya. Varian ini juga diwakili academic dependency theory.

Pentingnya kajian-kajian meta-analisis dapat dilihat dari tiga kegunaannya yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam konteks intelektualitas Indonesia. Pertama, kajian-kajian meta-analisis memperjelas relevansi maupun irelevansi ilmu-ilmu yang diproduksi di Barat, khususnya paradigma yang digunakan oleh ilmuwan Barat dan diinternalisasi oleh intelektual Muslim tentang Islam. Dengan semakin banyaknya kajian meta-analisis, akan tampak jelas problematika yang memang harus dan yang tidak harus ditanggapi oleh intelektual Muslim. Relevansi/irelevansi konsep-konsep seperti 'Pembaruan Islam' juga akan terlihat. Dengan kata lain, kajian meta-analisis dapat memposisikan kita pada jalan tengah antara dua ekstrem: penolakan total dan penerimaan total.

Kedua, kajian-kajian tersebut menekankan pentingnya mengembangkan teori, sistem nilai, konsep, metodologi, dan terminologi yang berdasar pada pengalaman historis kita sendiri, dan bukan yang diimposisikan oleh pihak asing kepada tradisi dan sejarah kita. Terakhir, dengan mengenal lebih dalam struktur-struktur yang mendasari disiplin ilmu, kita akan dapat menyisihkan yang tidak berguna dan irelevan serta menerima yang relevan dan berguna. Pada akhirnya kita dapat mengembangkan filsafat ilmu, sosiologi ilmu pengetahuan dan sejarah ide yang lebih universal dan tidak bersifat eurosentris.

Ikhtisar
- Kolonialisme memberi sumbangan besar bagi terjadinya internalisasi pemikiran Barat dalam khazanah Islam.
- Konsep-konsep Barat yang kemudian masuk dalam wacana pemikiran Islam itu banyak yang tidak berakar pada tradisi Islam.
- Perlu kajian meta-analisis yang bersifat reflektif untuk membantu para cendekiawan dalam mendefinisikan suatu masalah.

Sumber: Republika

Thursday, January 4, 2007

Agen Perusak

Hadi S Alikodra
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

Dalam dua tahun terakhir, Sumatera yang dulu jarang dilanda banjir, kini telah jadi langganan banjir --bahkan lebih parah ketimbang banjir di Pulau Jawa. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), misalnya, banjir yang muncul di akhir Desember ini telah menyebabkan 70 orang tewas dan 200 ribu orang mengungsi.

Kita masih ingat, jika 26 Desember 2004 lalu banjir raksasa muncul akibat gempa tektonik 8,9 skla richter di bawah laut, maka 26 Desember 2006 banjir raksasa itu muncul akibat gundulnya hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Meski banjir Desember 2006 hanya menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan 200 ribu warga Aceh mengungsi --tak sedahsyat tsunami Desember 2004-- tapi jika dilihat sebab musabab banjir 2006, maka potensi destruktifnya jauh lebih besar dan lama dibanding tsunami.

Bahaya deforestrasi
Mengapa deforestasi lebih berbahaya ketimbang banjir karena tsunami? Pertama, karena banjir Aceh 2006 penyebabnya adalah manusia, sedangkan banjir Aceh 2004 (tsunami) penyebabnya adalah alam. Tidak seperti manusia yang punya kehendak bebas, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukumnya yang teratur dan mengikuti pakem-pakem tertentu. Ini berbeda dengan manusia. Kehendak bebasnya bisa menjadikan manusia sebagai 'agen perusak' sekaligus 'agen penyelamat' lingkungan.

Manusia bisa 'bekerja' untuk merusak atau membangun kapan saja di mana saja. Dalam kasus banjir Aceh 2006, manusia telah menjadi 'agen perusak' sehingga muncul banjir raksasa yang amat merugikan manusia dan lingkungannya. Pikiran yang konstruktif dari manusia ternyata tak mampu menahan ambisi pikiran yang destruktif sehingga alam pun turut hancur bersama pikiran manusia yang destruktif tadi.

Kedua, banjir Aceh 2006 sebetulnya sudah lama diprediksi sejak TNGL mulai dijarah kayunya. Peristiwa banjir bandang di kawasan wisata Kali Bohorok, Bukit Lawang, Langkat, Sumut (2/11/03) yang menewaskan 200 orang lebih, semestinya menjadi peringatan untuk para pemangku kepentingan guna mencegah illegal logging secara serius, khususnya yang terjadi di TNGL. Tapi apa yang terjadi sejak tragedi Bohorok tersebut, nyaris tak ada kebijakan berarti untuk mencegah penggundulan di TNGL.

Proyek jalan tembus Ladia Galaska yang membujur dari Lautan Hindia, Gayo Alas, sampai ke Selat Malaka yang dikritik para ahli dan aktivis konservasi serta lingkungan terus berjalan. Padahal, proyek Ladia Galaska yang menembus rimba raya TNGL tersebut dikhawatirkan bakal menjadi sarana transportasi illegal logging. Kekhawatiran itu ternyata benar adanya. Sejak dibangunnya jalan tembus Ladia Galaska, aktivitas illegal logging makin seru dan sulit ditangani. Menurut sejumlah aktivis konservasi dan lingkungan di NAD, kecepatan penggundulan sejak adanya jalan tembus tersebut makin besar dan bertambah besar lagi setelah adanya proyek rekonstruksi Aceh pascatsunami.

Ketiga, tidak seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi, banjir di Aceh sebetulnya bisa dicegah asal semua pihak berupaya keras untuk mencegahnya. Gerakan penanaman pohon yang dicanangkan pemerintah pusat ternyata gaungnya tak sampai ke daerah. Pemerintah tampaknya terlalu irit dana untuk mensosialisasikan gerakan penanaman pohon dan reboisasi hutan yang gundul. Musibah banjir dan longsor yang tiap tahun terjadi di mana-mana tampaknya belum menjadi pemicu untuk mensosialisasikan kepada publik secara luas dan besar-besaran betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan dan reboisasi hutan-hutan yang gundul tersebut.

Berdasar data Yayasan Leuser Indonesia (YLI) perambahan hutan di kawasan ekosistem Leuser meningkat hingga 463 persen dalam setahun terakhir. YLI juga menemukan banyak tempat penggergajian kayu untuk rekonstruksi Aceh. Dari mana kayu itu, jika bukan berasal dari illegal logging? Banyak pihak ikut bermain di bisnis kayu ilegal dan para pemangku kepentingan terkesan membiarkannya karena alasan rekonstruksi Aceh pascatsunami tadi.

Rudi Hardiyansyah Putra, monitoring officer YLI, misalnya, mengemukakan pengamatannya: hingga tahun 2003 kerusakan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) mencapai 30 persen atau 0,78 juta hektare dari 2,6 juta hektare areal hutan. Selama ini, kerusakan tersebut berkisar 10 ribu hektare per tahun. Setelah tsunami dan masa rekonstruksi Aceh, laju kerusakan itu mencapai 20 ribu hektare per tahun --dua kali lipat dari sebelumnya.

Selama Maret-Juni 2006, ungkap Rudi, ditemukan 190 titik perambahan hutan ilegal di KEL. Yang terluas di Kabupaten Aceh Tamiang dan Langkat. Kita tahu kemudian, banjir bandang terbesar 2006, terjadi di dua kabupaten tersebut. Sebagian besar wilayah Kabupaten Langkat terendam air dan seluruh Kabupaten Aceh Tamiang tergilas banjir bandang.

Pada 'titik rekonstruksi Aceh' ini memang terjadi ironi. Di satu sisi, berbagai pihak, dari dalam dan luar negeri, membantu rekonstruksi Aceh pascatsunami. Tapi di sisi lain, bagaimana agar bantuan itu tidak merusak Aceh, mungkin belum terpikirkan lebih jauh. Seperti kita ketahui semua, yang namanya membangun rumah pasti membutuhkan kayu. Bayangkan berapa jumlah kayu yang dibutuhkan untuk membangun 130 ribu unit rumah.

Saat ini saja, ketika rumah yang dibangun baru mencapai 57 ribu unit, banjir bandang pun kembali menggilas Aceh. Kayu-kayu untuk pembangunan rumah tersebut, siapa pun tahu, sebagian besar berasal dari illegal logging di TNGL. Seperti diungkapkan dalam dialog Metro TV Senin malam (25/12/06) tentang banjir Aceh, pemerintah seakan membiarkan illegal logging di TNGL karena kayunya dibutuhkan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Fenomena ini jelas sangat ironis. Di satu sisi pemerintah peduli dengan pembangunan perumahan di Aceh, sementara di sisi lain, pemerintah tak peduli dengan kerusakan TNGL yang dijarah kayunya untuk pembangunan perumahan di Aceh. Peristiwa ini, persis seperti sindiran Tuhan dalam Alquran (Surat Al-Baqarah 11 dan 12) yang menyatakan bahwa mereka itu sepertinya sedang membangun, tapi sebetulnya sedang membuat kerusakan.

Saatnya bertindak
Banjir serta longsor di Aceh dan Langkat Desember 2006 hendaknya menjadi perhatian semua stake holder bahwa kini sudah saatnya semua pihak berjuang untuk memperbaiki lingkungan dan menyelamatkan hutan di TNGL. Tak ada waktu untuk menunggu dan berpikir dengan segala macam dalih guna menunda reboisasi dan menyelamatkan hutan di TNGL.

Tragedi banjir bandang Bohorok tiga tahun lalu yang menewaskan dua ratus orang lebih adalah sebuah 'peringatan alam' yang ternyata diabaikan oleh semua stake holder. Saat itu, Departemen Kehutanan menolak tudingan bahwa musibah Bohorok adalah akibat penggundulan TNGL. Kini terbukti, bahwa tragedi Bohorok dalam skala yang lebih luas, terjadi di Aceh dan Langkat. YLI telah membuktikan adanya korelasi antara tingkat penggundulan TNGL dan besaran banjir per wilayah di NAD dan Sumut.

Kini, saatnya pemerintah harus menindak keras para pelaku illegal logging. Bila perlu, pemerintah menyiapkan UU yang lebih keras terhadap pelaku illegal logging --sama kerasnya terhadap pelaku terorisme. Jika kerasnya UU terorisme karena dorongan pihak luar, terutama AS, maka kerasnya UU illegal logging muncul karena dorongan dari dalam diri kita sendiri.

Bangsa Indonesia telah merasakan betapa beratnya menanggung beban musibah banjir dan longsor tiap tahun. Ribuan jiwa melayang dan triliunan harta benda lenyap tak berbekas. Supaya efektif, undang-undang tersebut harus mampu menghukum pihak-pihak yang terkait dengan illegal logging baik langsung maupun tak langsung --termasuk penadah-penadahnya. Dalam hal terakhir ini, tak terkecuali jika penadah itu merupakan lembaga pemerintah, baik lokal, nasional, maupun internasional. Dalam hal ini, seperti pada lembaga yang menangani rekonstruksi Aceh --jika mereka menggunakan kayu illegal logging, mereka pun harus diganjar dengan keras. Tanpa itu semua, hutan Indonesia akan hancur.

Ikhtisar
- Banjir di Pulau Sumatera merupakan pertanda alam telah terjadinya perusakan lingkungan yang sangat parah.
- Bahaya akibat rusaknya daya dukung lingkungan, jauh lebih berbahaya dibanding tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004.
- Rekonsutruksi Aceh pascatsunami dan pembangunan jalur Ladia Galaska, ikut mempercepat terjadinya perusakan hutan yang kini menimbulkan banjir.
- Pemerintah harus memperlakukan para perusak lingkungan sebagai teroris.

( )
Sumber: Republika

2007 Tahun Bersih bagi Depag

Oleh Margono

KALAU tidak ada aral merintang, hari ini 4 Januari 2007 Menteri Agama, H Muhammad Mahtuh Basyuni mencanangkan 2007 sebagai tahun bersih dan bebas KKN di Departemen Agama (Depag). Pencanangan tersebut mengingat beberapa waktu lalu Depag termasuk departemen yang sarat dengan KKN.

Hal ini diperkuat dengan masuknya mantan Menteri Agama (pada era Presiden Megawati) sebagai orang yang terlibat dalam penyelewengan dana abadi umat. Mantan Kanwil Depag Jawa Tengah juga terlibat kasus korupsi.

Kemarin, seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap 3 Januari seluruh aparat dan jajaran Depag memperingati Hari Amal Bakti (HAB) Depag. Segala prestasi dan kekurangan selalu mengiringi departemen itu selama perjalanan panjang sejak 1947.

Perjuangan selama 61 tahun terasa masih selalu kurang, mengingat masih banyak agenda yang harus dibangun dan diperbaiki oleh aparatnya.

Tampaknya pemerintah mulai serius untuk membersihkan segala praktik KKN. Ibaratnya kalau ingin membersihkan lantai yang kotor haruslah dengan sapu yang bersih.

Salah satunya adalah mengganti para pejabatnya. Memang untuk mengembalikan nama baik Depag diperlukan kerja keras semua pihak. Tekad untuk menjadikan Depag sebagai departemen yang bersih dan bebas KKN janganlah hanya bersifat seremonial saja.

Depag sebagai tangan panjang pemerintah dalam pembangunan umat beragama masih sangat diperlukan, walaupun departemen ini sempat akan diotonomikan bahkan akan dihapus. Negara lain tidak punya departemen agama.

Eksistensi Depag masih diperlukan oleh bangsa Indonesia mengingat bangsa kita yang multiagama, multibudaya, dan multisuku.

Kemungkinan munculnya konflik antarumat beragama sangat mungkin terjadi dan bisa saja merupakan bom waktu bila pembangunan umat beragama terabaikan. Mampukah Depag mengeliminasi konflik umat untuk masa saat ini dan masa yang akan datang?

Sebagai bahan renungan, konflik umat selama tahun 2006 sering terjadi. Banyak aliran sesat, sempalan agama serta beberapa masalah yang berkaitan umat menunjukkan belum efektifnya pembangunan spiritual bangsa. Justru banyak kejadian yang berkaitan dengan masalah umat, Depag selalu ketinggalan berperan.

Memang semua permasalahan tidak harus ditangani oleh Depag, akan tetapi sebagai tangan panjang pemerintah hendaknya berperan secara aktif dalam mengidentifikasi dan meng-analisa masalah yang terjadi di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan umat.

Di antara departemen yang lain mungkin Depag merupakan departemen yang sangat sensitif. Dikatakan sensitif karena disamping terisi orang-orang yang notabene "bermoral" juga membawa nama "agama", sehingga orang memandang sebagai departemen yang suci dan tanpa dosa.

Tidak disangsikan jika ada kasus korupsi sekecil apa pun di departemen ini akan terekspos secara besar-besaran di media massa. Sebaliknya sebesar apa pun prestasi departemen ini justru tidak akan terdengar oleh masyarakat.

Sebenarnya banyak prestasi yang patut kita banggakan. Pelaksanaan ibadah haji misalnya, dari tahun ke tahun sudah mengalami banyak peningkatan-peningkatan walaupun terkadang tidak sedikit kekurangan. Yang tidak kalah menarik lagi adalah pengelolaan pendidikan di madrasah dan pondok pesantren yang semakin berkembang.

Pengelolaan pendidikan di madrasah misalnya, akan memberi gambaran yang jelas bahwa pendidikan di tempat itu (mulai tingkat MI/MTs sampai MA) sebagian besar dikelola oleh yayasan dengan pembinaan Depag, serta dengan dana yang relatif kurang memadai. Fakta ini jauh berbeda dengan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan yang dananya lebih besar dibanding dengan dana yang dikelola oleh Depag. Jika kita mau jujur justru Depag dengan segala kekurangannya mampu dan mau mengelola pendidikan dengan cukup baik. Perkembangan madrasah baik dari segi kuantitas maupun kualitas tidak terlepas dari peranan Depag dalam memegang Quality Control lembaga tersebut.

Agaknya ada tiga parameter yang dapat dijadikan oleh departemen ini untuk menunjukkan eksistensinya di masyarakat. Pertama profesionalisme aparat Depag sendiri. Paradigma aparat Depag yang kurang kompeten, kurang profesional, selalu ketinggalan teknologi serta kondisi kantor yang kumuh hendaknya direspon dengan positif oleh aparat Depag sendiri dengan selalu meningkatkan etos kerja, performan yang baik, jujur, profesional dalam pelayanan serta bekerja atas dasar kemampuan yang tinggi.

Sikap mental aparat Depag sangat menentukan kinerja lembaga ini. Demikian juga dalam penempatan maupun mutasi jabatan hendaknya didasari pada prestasi dan kemampuan. Sebab entah benar atau tidak penempatan jabatan pada departemen ini masih didasari oleh kepentingan kelompok (maaf, antara kelompok NU atau Muhammadiyah). Jika ke depan Depag mau eksis, maka pertentangan antarkelompok ini hendaknya ditinggalkan. Jadikan prestasi dan kemampuan sebagai tolok ukur dalam penempatan suatu jabatan.

Kepala Madrasah

Sisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah penempatan kepala madrasah. Masih adanya kepala madrasah yang tidak berkualitas dapat dijadikan tolok ukur bahwa departemen ini masih memerlukan pembenahan. Tidak mustahil pengangkatan dan penempatan kepala madrasah masih diwarnai dengan pemberian upeti dari calon kepala dibanding berdasarkan kemampuan.

Parameter kedua adalah penyelenggaraan haji dan sekitar biaya nikah. Penyelenggaraan ibadah haji sangat menentukan sejauh mana kemampuan manajerial departemen ini. Karena dalam penyelenggaraan haji melibatkan berbagai komponen masyarakat, antardepartemen serta lintas sektoral. Adanya penolakan kuota haji yang pernah terjadi pada kabinet Megawati memberi pelajaran yang sangat berharga, sehingga kasus serupa tidak akan terjadi jika adanya koordinasi yang baik. Demikian juga dari segi pelayanan selama melaksanakan ibadah haji, hendaknya selalu ditingkatkan.

Peningkatan pelayanan mulai dari pendaftaran, penginapan di asrama, sampai pada kegiatan ibadah haji merupakan hal yang prinsip untuk mengembalikan citra Depag. Adanya laporan tentang pungli dan perbedaan biaya nikah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, perlu segera ditertibkan. Jika keadaan ini dapat direalisasikan maka bisa jadi Depag akan mendapatkan apresiasi dari masyarakat luas.

Parameter ketiga adalah pendidikan. Untuk 2007 sektor pendidikan merupakan salah satu prioritas departemen ini, sehingga tidak menutup kemungkinan bila aliran dana pendidikan lebih besar jika dibandingkan dengan bidang yang lain. Meski begitu, peran serta masyarakat untuk membantu penyelenggaraan pendidikan di madrasah sangat diperlukan.

Masyarakat bawah yang berada di pelosok akan merasa mendapat perhatian terutama dalam pelayanan pendidikannya. Hasil nyata Depag dalam sektor pendidikan dapat dilihat dari banyaknya siswa yang sekolah di madrasah, walaupun dari segi mutu mungkin masih di bawah sekolah yang dikelola Departemen Pendidikan. Agaknya penambahan mata pelajaran yang berciri khas keagamaan dan moral sangat strategis bagi generasi mendatang. Oleh sebab itu, tinggal bagaimana mengefektifkan pembelajaran moral ini kepada anak didik. Tidak berlebihan jika pendidikan moral merupakan prioritas dan trade mark bagi madrasah.

Akhirnya kita semua berharap bahwa Departemen Agama masih sangat diperlukan di negeri yang multikultur seperti negara Indonesia ini. Kehadiran departemen ini dalam membangun moral bangsa sangat diperlukan di masa mendatang. Oleh karena itu pembangunan moral bagi aparat Depag sendiri dapat dijadikan barometer bagi departemen yang lain.

Bisa jadi rusaknya oknum Depag akan merusak semua komponen departemen itu sendiri, sehingga pembinaan mental, pola pikir dan profesionalisme aparat sangat mutlak pada lembaga ini. Untuk sampai pada tataran di atas, memerlukan suri teladan dan kerja keras dari seluruh jajaran mulai dari tingkat pusat maupun daerah.

Dengan memperingati Hari Amal Bakti (HAB) Depag yang ke-61, kita berharap departemen ini akan makin profesional dan kompeten serta kehadirannya sangat diperlukan masyarakat. (11)

--- Margono, guru MAN di Purwodadi, Grobogan.

Sumber: Suara Merdeka, 4 Januari 2006

Usul; Hakim Dilarang Poligami

Oleh Moh Mahfud M.D.

Kusfandi, teman sekolah saya ketika SMTA, resah. Belakangan ini Irma, istrinya, selalu marah-marah, bahkan tak mau lagi melayaninya. "Laki-laki itu memang tak tahu berterima kasih. Setelah didampingi bertahun-tahun dengan hidup sengsara mulai dari menyelesaikan studi, mencari pekerjaan, sampai menjadi mapan, eh.. setelah jadi orang terkenal enak saja kawin lagi dan berselingkuh. Apa tak sakit hati ini," kata Irma sambil berteriak kepada suaminya.

"Lho, apa maksudmu Ir? Saya kan tak kawin lagi, tak berselingkuh," jawab Kusfandi.

"Saya bilang kaum laki-laki. Lihat tuh Aa Gum, Yayak Zainul, Jaynal Mualif. Enak saja berkhianat dan tak adil kepada istri setelah jadi orang terkenal. Kawin lagi lah, berselingkuh lah. Awas, saya tak mau dibegitukan," teriak istri Kusfandi.

"Kamulah yang tidak adil. Mosok, orang lain yang ’enak’ tapi saya yang dimarahi. Aa Gum yang menikmati kawin lagi, tapi saya yang kamu hardik. Yayak Zainul yang berselingkuh, tapi saya yang kamu bentak-bentak. Jaynul Mualif yang berpoligami, tapi saya yang kamu boikot. Apa itu adil?" jawab Kusfandi sambil tertawa pahit.

Sebenarnyalah persoalan poligami dan perselingkuhan telah menimbulkan heboh bukan hanya di televisi dan koran-koran, tetapi juga di rumah-rumah, di warung kopi, bahkan di majelis taklim.

***

Ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tanggal 27-28 Desember 2006 lalu melakukan kunjungan kerja ke Surabaya, masalah tersebut sempat muncul. Saat itu rombongan Baleg DPR RI datang ke Jawa Timur untuk meminta masukan atas tiga RUU, yaitu RUU tentang Mahkamah Agung (MA), RUU tentang Mahkamah Konstitusi (MK), dan RUU tentang Komisi Yudisial (KY) yang memang harus segera direvisi karena adanya serangkaian putusan MK. Baleg DPR RI datang ke Jatim untuk meminta masukan dari pemda, ormas, LSM, dan tiga universitas terkemuka di sana.

Saat acara makan siang, Chusnul Arifien (asisten tata praja) dari Pemda Jatim bertanya dengan nada bergurau, mengapa di dalam tiga RUU itu tidak dicantumkan ketentuan "hakim dilarang berpoligami." Di Universitas Tujuh Belas Agustus, masalah itu muncul kembali meski juga dengan nada canda. Tetapi, gurauan tentang itu disertai adu argumen yang masuk akal.

Mengapa? Sebab, pada umumnya poligami yang akan dilakukan seorang laki-laki itu dimulai dengan ketidakadilan, yakni menyakiti hati istri. Pada umumnya, sekali lagi pada umumnya, seorang istri yang akan dimadu tentu merasa dipandang tidak secantik atau semenarik calon istri baru suaminya, sesuatu yang sangat menyakitkan bagi wanita karena merasa dicampakkan sebagai barang yang tak berharga lagi.

Agak sulit memercayai bahwa seorang pria yang akan kawin lagi sungguh-sungguh mendasarkan pada niat baik agar wanita yang jumlahnya lebih banyak mempunyai kesempatan yang sama untuk bersuami. Selain tak sesuai dengan perimbangan statistik, dalam kenyataannya, seorang laki-laki yang akan kawin lagi biasanya mengambil yang masih muda dan lebih sintal; tak ada yang mau memilih yang lebih peot daripada istrinya sendiri. Ini menyakitkan hati wanita sekaligus melanggar prinsip kesetaraan karena wanita hanya dijadikan objek.

Bukan tidak mungkin pula seorang suami yang akan kawin lagi memulainya dengan slintutan dan melakukan kebohongan-kebohongan kepada istri dan keluarganya baik ketika mulai melakukan hubungan diam-diam dengan wanita lain maupun ketika mencari-cari alasan untuk kawin lagi.

Lebih dari itu, jika masyarakat meributkan atas poligami yang dilakukannya, sang suami bisa melakukan kebohongan-kebohongan baru. Yakni, melalui tekanan fisik maupun psikis, istrinya disuruh berpura-pura ikhlas di depan publik. Bisa juga sang suami mengemis dan mencium kaki istrinya agar berpura-pura ikhlas dimadu dan menjadi "istri teladan kagetan" demi menyelamatkan reputasi sang suami di tengah-tengah masyarakat.

Padahal, dari sorot mata, ekspresi, dan getar suaranya terkesan bahwa keikhlasan itu dibuat-buat. Menekan maupun mengemis kepada istri agar berpura-pura ikhlas merupakan ketidakadilan dan dosa. Maka, agar tak menambah dosa karena kebohongan, sebaiknya orang yang berpoligami tak usah meminta-minta istri terdahulunya untuk menyatakan ikhlas di depan publik.

Ada juga yang menyanggah itu dengan pertanyaan: Lebih baik mana antara orang yang tidak berpoligami tapi berselingkuh dan orang yang berpoligami tapi tak pernah berzina?

Pertanyaan perbandingan itu salah dan tidak adil. Pertanyaan yang lebih tepat adalah: Lebih baik mana antara orang yang berpoligami tapi tidak berselingkuh dan orang yang tidak berpoligami tapi juga tak berselingkuh? Jawabannya sudah pasti, yang lebih baik dari semuanya adalah yang tidak berpoligami, tapi juga tidak berselingkuh.

***

Diskusi tak resmi antara Baleg DPR dan masyarakat Jatim tentang poligami itu memang tak menghasilkan kesepakatan karena suasananya memang hanya bergurau. Tetapi, argumen-argumen yang dimunculkan diterima sebagai common sense.

Tetapi, saya menolak usul dimasukkannya larangan berpoligami itu di dalam UU karena pada dasarnya berpoligami itu menurut agama (Islam) adalah boleh. Yang dosa adalah tekanan fisik dan psikis terhadap istri secara tak adil serta kebohongan-kebohongan yang dilakukan seorang pria sebelum dan sesudah berpoligami.

Apalagi argumen kenyataan di atas dinisbahkan pada keadaan "pada umumnya" atau common sense saja. Padahal, di dalam masyarakat, ada saja situasi yang bersifat khusus. Dalam kenyataannya, ada pria yang berpoligami karena benar-benar ingin beribadah dan menolong orang; ada juga seorang istri yang memang ikhlas suaminya beristri lagi. Tapi, yang bersifat khusus seperti itu selalu jauh lebih sedikit daripada yang umum.


Moh. Mahfud M.D., anggota Baleg DPR RI dari PKB

Sumber: Jawa Pos

Wednesday, January 3, 2007

Inkonsistensi Hukuman Mati Saddam

Heru Susetyo
Visiting Researcher Chulalongkorn University Bangkok, Staf Pengajar Fakultas Hukum UI

Saddam Hussein akhirnya menjumpai ajal di tiang gantungan di Irak, persis pada perayaan Idul Adha. Berakhir sudah tiga tahun proses panjang pengadilannya. Bahwasanya Saddam pantas dihukum mati hampir semua orang sepakat. Rekor kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Saddam semasa menjadi penguasa Irak sungguh luar biasa. Namun, yang tak biasa adalah bahwa eksekusi mati ini akhirnya terlaksana begitu mudah.

Pengadilan terhadap Saddam adalah buah dari invasi AS dan sekutunya sejak Maret 2003, atas nama perang untuk menghancurkan senjata pemusnah massal. Alih-alih menghancurkan senjata yang tak pernah ditemukan, perang tersebut malah menyulut kekerasan dan konflik yang lebih luas. Ribuan rakyat sipil telah tewas. Objek-objek warisan sejarah dunia hancur lebur. Konflik internal antarfaksi di Irak semakin meruncing. Keamanan dan perdamaian semakin jauh.

Maka, ketika AS dan para sekutunya tak bisa, ataupun tak mau mengintervensi ataupun menghentikan eksekusi mati Saddam, hal ini sangat mengherankan. Hukuman mati telah dihapuskan oleh instrumen HAM PBB. Sebagian negara bagian AS pun telah pula menghapuskan hukuman mati. Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris (serta semua negara Eropa) telah menghapus hukuman mati. Mengapa terjadi inkonsistensi dan Saddam dibiarkan menjumpai ajal di tiang gantungan?

Ironi hukuman mati
Tak semua mantan tiran atau penjahat kemanusiaan dihukum mati. Sejak Perang Dunia II, penjahat kemanusiaan yang dihukum mati dapat dihitung dengan jari. Mahkamah Nuremberg (International Military Tribunal) di Jerman pada 1945 yang diselenggarakan sekutu untuk mengadili penjahat perang NAZI hanya menghukum mati beberapa petinggi NAZI. Itupun ada yang kemudian hukumannya diubah menjadi seumur hidup. Mahkamah Tokyo yang diselenggarakan 1945 untuk mengadili penjahat perang Jepang (Military Tribunal for the Far East), juga hanya menghukum mati beberapa petinggi. Anehnya, tentara AS dan sekutu yang juga terlibat kejahatan perang pada perang Eropa serta perang Asia Pasifik tak satupun diadili di kedua mahkamah perang tersebut.

Hukuman mati pun tak terjadi untuk penjahat kemanusiaan dalam konflik Bosnia pada 1992-1995. Juga untuk penjahat HAM dalam konflik Rwanda tahun 1994. Statuta International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang menjadi dasar mahkamah pidana untuk kedua kasus tersebut memang telah menghapuskan hukuman mati. Hukuman maksimum-nya adalah pidana penjara seumur hidup. Wajar jika penjahat kemanusiaan seperti Slobodan Milosevic, Radovan Karadzic, Ratko Mladic dan Dusko Tadic (dalam kasus Bosnia), serta Akayesu serta Rutaganda (dalam konflik Rwanda) tak satupun yang dijatuhi hukuman mati.

Hal yang sama berlaku untuk para mantan tiran seperti Augusto Pinochet, di Cile yang telah membunuh ribuan lawan politiknya, tak sekalipun dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Desember 2006 ini ia menjumpai ajal karena sakit. Pol Pot, mantan penguasa Kamboja, meninggal juga karena sakit di tengah pengasingannya di hutan bagian utara Kamboja pada 1998 (sebagian sumber menyebut bahwa ia dibunuh oleh mantan anak buahnya). Padahal, kejahatan pemerintah komunis Pol Pot sungguh dahsyat. Dalam kurun 1975-1979 jutaan orang dibunuh dan disiksa secara luar biasa sadis. Kitapun masih ingat dengan mantan diktator Philipina, Ferdinand Marcos, yang terguling karena people power pada 1986 pun akhrinya meninggal karena sakit. Tak satupun yang dijatuhi hukuman mati.

Kalangan yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi.

Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang, dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya.

Inkonsistensi kasus Saddam
Sejatinya amat mudah bagi AS dan sekutunya untuk mencegah hukuman mati terhadap Saddam. Sama mudahnya bagi mereka untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Apabila mereka menghendaki, sedari awal pengadilan terhadap Saddam dapat dengan mudah diintervensi.

Selama ini AS dan negara-negara Eropa Barat adalah promotor utama rezim HAM internasional. Deklarasi HAM Universal 1948 dan ratusan konvensi hukum internasional lainnya dilahirkan dan dipromosikan oleh AS dan negara-negara Eropa Barat, termasuk tentang penghapusan hukuman mati. Instrumen regional tentang HAM di Amerika maupun Eropa, telah menghapuskan hukuman mati. Mereka mempromosikan penghapusan hukuman mati karena berpotensi melanggar hak hidup, hak manusia yang paling asasi. Namun, di sisi lain, mereka membiarkan pengadilan Irak mengeksekusi mati Saddam Hussein.

Ironi yang lain adalah para prajurit AS sendiri yang melakukan kejahatan perang dan pelanggaran hukum humaniter di Irak hanya sedikit yang kemudian dihukum. Itupun dihukum di negeri sendiri (AS) melalui pengadilan militer dan tak satu pun dijatuhi hukuman mati. Tak satupun yang diadili di Irak ataupun di negera lain. Padahal, korban-korban tewas dari unsur rakyat sipil seperti kaum Ibu dan anak-anak, dan laki-laki non combatants yang tak berdosa begitu banyak. Belum lagi para tahanan perang Irak yang mengalami penyiksaan di luar batas kemanusiaan, seperti pada kasus penjara Abu Ghraib.

Di sisi lain, masyarakat AS dan masyarakat negara sekutunya juga sebagian besar telah menolak hukuman mati. Contoh menarik adalah kasus eksekusi terhadap terpidana mati Tim Mc Veigh, pelaku pemboman gedung FBI di Oklahoma City-USA pada 19 April 1995. Kendati ia telah terbukti bersalah selaku pelaku kejahatan yang menewaskan 168 jiwa, tak sedikit kalangan yang membelanya supaya dia tak dijatuhi hukuman mati, termasuk keluarga korban.

Inkonsistensi seperti ini mengingatkan kita pada kasus penyelundupan narkoba oleh warga Australia di Bali. Pemerintah dan sebagian publik Australia sangat berkeberatan dengan dakwaan pidana mati terhadap Schapelle Leigh Corby (tahun 2004) dan sembilan anggota the Bali Nine (tahun 2005) dalam kasus narkoba di Bali. Kedua kasus ini menyedot perhatian publik karena merupakan kasus penyelundupan narkoba dalam jumlah yang amat besar dan layak diganjar hukuman mati sesuai UU Narkoba dan Psikotropika Indonesia tahun 1997. Belakangan, hukuman Corby diubah menjadi hukuman penjara dan hanya dua dari sembilan anggota Bali Nine yang dihukum mati.

Di sisi lain, pemerintah dan publik Australia seperti 'tidak berkeberatan' terhadap vonis mati untuk Amrozi, Imam Samudra, maupun Ali Gufron selaku terpidana kasus bom Bali 2002. Menilik inkonsistensi itu, sepertinya AS dan sekutunya harus kembali belajar bahwa setiap orang adalah berkedudukan sama di hadapan hukum, setiap orang punya hak atas hidup, dan mempunyai akses yang sama terhadap keadilan.

Ikhtisar
- Eksekusi untuk Saddam berlangsung begitu mudah.
- Tiran dan para penjahat kemanusiaan yang akhirnya dihukum mati, bisa dihitung dengan jari.
- Barat yang selama ini menentang hukuman mati, ternyata 'mendukung' eksekusi Saddam.
- Inkonsistensi tersebut mengingatkan pada proses hukum untuk warga Australia yang jadi penyelundup narkoba dan tertangkap di Bali.



Sumber: Republika

Membaca Budaya Sunda

Oleh JAKOB SUMARDJO

SELAMA saya mencoba memahami artefak-artefak budaya Sunda sebagai simbol sosialnya, terutama artefak-artefak seninya, kesimpulan sementara yang dapat saya ambil adalah betapa kayanya kebudayaan ini dengan varian-variannya. Kita tidak dapat menyatakan bahwa budaya Sunda itu begini dan begitu akibat variannya yang banyak.

Kalau pernyataan seperti itu diungkapkan, mungkin cocok untuk beberapa varian, namun tentu ada melesetnya untuk varian-varian yang lain. Antropolog Amerika, Robert Wessing, dalam Konferensi Kebudayaan Sunda bertaraf internasional di Bandung, mengatakan bahwa Sunda sebagai kesatuan adalah sebuah abstraksi, kenyataannya Sunda itu beragam, namun Sunda juga adanya.

Realitas paradoks seperti ini segera terbaca ketika saya membaca transkripsi beberapa pertunjukan pantun Sunda dari berbagai daerah di Pasundan ini. Semua pantun Sunda adalah pantun Sunda, namun ada perbedaan antara pantun Cisolok dengan pantun Situraja, dengan pantun Kuningan, dengan pantun Bogor, dengan pantun Baduy. Begitu pula beberapa seni pertunjukan Sunda hanya ada di satu daerah, misalnya Garut, tetapi tidak ada di daerah Karawang, tidak di daerah Sumedang, dan lainnya. Topeng Betawi hanya ada di sekitar masyarakat Sunda di Jakarta dan Bekasi, Topeng Cisalak hanya ada di Bogor, Topeng Banjet hanya ada di Karawang, Topeng Cirebon hanya ada di Cirebon yang berbeda dengan Topeng Priangan.

Mereka yang ahli bahasa tentu akan menemui gejala varian yang serupa. Bahasa Sunda itu jelas bahasa Sunda, namun ada perbedaan antara bahasa di Priangan dengan di Bogor dan tempat lain. Benda yang sama oleh beberapa dialek Sunda disebut dengan nama yang berbeda-beda. Atau sebutan yang sama ternyata menunjuk pada kenyataan yang berbeda di beberapa daerah. Semua ini menunjukkan bahwa budaya Sunda itu amat kaya, amat beragam, amat bervarian, namun menunjukkan kesundaan yang sukar dirumuskan. Mungkin ini bukan hanya gejala budaya Sunda, namun realitas itu ada.

Inilah sebabnya orang harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam pers pro toto, yakni menyebut suatu varian Sunda sebagai milik seluruh budaya Sunda yang nomor dua besarnya setelah budaya Jawa itu. Tidak mengherankan apabila artikel M. Rosihan Anwar, Ph.D., "Negara Pasundan Versi Kartalegawa" ("PR" Selasa 12 Desember 2006) dapat menimbulkan salah baca karena "versi" tersebut tidak berarti "seluruh Sunda". Artikel itu dengan jelas menyebut bahwa masyarakat Sunda yang lain justru menentangnya. Menyebut bagian untuk keseluruhan tidak dapat diberlakukan begitu saja terhadap realitas budaya ini.

Dr. Nina N. Lubis menulis menulis dan mengedit buku berjudul Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (2000), yang menyadarkan kita bahwa sejarah Jawa Barat juga bervarian. Terbentuknya Banten, Cirebon, Galuh-Ciamis, Sumedang, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Bogor ternyata tidak merupakan suatu kesatuan peristiwa meskipun kadang ada hubungannya, tetap merupakan "cerita" tersendiri. Berbeda kalau orang mau menulis sejarah kota-kota lama di Jawa, misalnya, mau tak mau tentu mengacu pada pusat kekuasaan yang sama. Kota-kota itu berkembang sebagai bagian-bagian sejarah pusat yang sama meskipun mempunyai cerita yang berbeda pula.

Sekarang ini masyarakat Sunda Cianjur misalnya, dapat menyusun sejarah daerahnya sendiri yang tipis kaitannya dengan sejarah Banten atau sejarah Cirebon. Begitu pula artefak-artefak seni setiap daerah berbeda-beda. Bahasa Sunda juga bervarian. Namun semua perbedaan-perbedaan itu menuju satu kesepakatan bahwa itu semua Sunda. Genealogi Sunda itu kaya meskipun ada genealogi dasarnya yang sama, yakni budaya masyarakat peladang (huma).

Geografi Pasundan ini berbukit-bukit dan kaya hujan. Tantangan alam ini dijawab oleh masyarakat Sunda dengan mengembangkan teknologi pertanian ladang. Huma adalah ladang berpindah karena tanaman padi mengandalkan humus tanah dan hujan sehingga kesuburan tanah berusia terbatas sekitar 4-5 tahun. Sesudah itu harus dicari lahan baru dengan membuka hutan lagi.

Mobilitas ini tidak memungkinkan pembentukan kelompok besar, mungkin hanya sekitar 40-50 keluarga dalam satu kelompok. Kelompok kecil ini membentuk kesatuan dengan kelompok lain, yang biasanya pengembangan dari kelompok (kampung) aslinya. Masyarakat Sunda membentuk kesatuan kelompok itu dalam sistem tripartit. Di sini kebebasan dan keterikatan saling mengisi. Ke dalam, bebas dan otonom, tetapi ke luar, terikat oleh dua kelompok yang lain. Hubungan itu bersifat pembagian fungsi dan otoritas.

Silih asah, silih asih, silih asuh. Saling mengasuh berarti ada yang mengasuh dan diasuh. Pengasuh dipegang oleh kelompok asli tertua. Inilah penguasa adat yang amat dihormat. Kampung inilah pemilik mandat otoritas kekuasaan, namun ia tidak menjalankan mandat itu. Pelaku mandat adalah kampung Silih Asih, yakni eksekutif yang menyatukan ketiga kampung. Silih Asah dipegang oleh kampung ketiga. Asah berarti mengasah, menajamkan karena otoritas menjaga keamanan dan pertahanan ketiga kampung. Inilah kampung para ahli silat.

Kehidupan berladang ini merupakan embrio lahirnya konsep kebebasan dalam keterikatan. Plural tetapi tunggal. Tiga tetapi satu. Satu tetapi tiga. Pola ini masih hidup sampai hari ini di daerah perdesaan Sunda, dengan susunan kampung adat (buhun), kampung nagara (administrasi modern), dan kampung Islam di mana masjid besar berada. Varian-varian Sunda muncul dari sistem tripatit ini. Bebas tetapi menyatu. Sunda sini dan Sunda sana, namun satu Sunda. Secara eksistensi banyak Sunda, namun substansinya satu Sunda.

Dalam sistem Sunda semacam itu, pancakaki merupakan asas penting kekeluargaan atau kekerabatan. Hubungan darah lebih bermakna daripada kesatuan lokal. Inilah sebabnya lokal-lokal Sunda boleh banyak dan beragam, namun semua itu disatukan oleh darah Sundanya. Tidak heran apabila hitungan pituin tidaknya darah seseorang akan menentukan eratnya ikatan kekeluargaan. Sunda sejati adalah semua yang berdarah Sunda sejak awalnya.

Sistem ini juga menyulitkan untuk mencari satu tokoh Sunda yang mewakili seluruh kesundaan, justru karena kayanya varian. Satu-satunya tokoh yang mewakili seluruh Sunda ialah Prabu Siliwangi karena raja ini menyatukan seluruh Sunda dalam otoritas mandat sakralnya. Siliwangi adalah Sunda dan Sunda adalah Siliwangi. Ketika tokoh yang demikian itu tidak muncul lagi, kedudukannya digantikan lembaga agama Islam yang memang menyatukan seluruh kesundaan. Islam adalah Sunda dan Sunda adalah Islam.

Mungkinkah tokoh seperti Prabu Siliwangi akan muncul kembali sebagai simbol Sunda yang baru? Dalam hubungan ini jelaslah bahwa tokoh semacam Kartalegawa seperti ditulis Rosihan Anwar itu tentu tidak dibaca sebagai mewakili Sunda.

Sistem tripartit ini juga menyebabkan orang Sunda sangat ekologis. Gunung dan hutan dilestarikan. Pembukaan hutan selalu terbatas, bukan babad hutan. Kelestarian hutan menjamin tersedianya air dan hujan. Hutan-hutan sakral masih dapat disaksikan beberapa puluh tahun yang lalu di Pasundan ini. Orang dilarang menebangi hutan semacam itu, bahkan memasukinya pun dilarang.

Sebuah kesatuan tiga kampung atau enam atau sembilan, selalu dikaitkan dengan keberadaan hutan sakralnya. Kampung dan hutan (bukit) adalah pasangan kembar kehidupan. Keduanya saling mengisi dan memberi. Hutan memberi air, manusia melestarikan hutan. Tidak heran apabila gunung-gunung dan bukit-bukit (pasir) di tanah Pasundan terjaga keberadaannya sampai beberapa puluh tahun lalu. Hutan, dalam pikiran orang Sunda, dihuni oleh roh-roh raja. "Hati-hati kalau memasuki hutan Anu dan Anu karena bisa bertemu dengan Putri Anu dari Pajajaran", begitu bunyi pesan penduduk kampung dekat hutan. Berbeda dengan pandangan orang Jawa yang melihat hutan sebagai tempat bersemayamnya segala jin dan demit setan yang angker-angker. Hanya manusia sakti mampu memasuki hutan semacam itu.

Lestarinya hutan-hutan menyebabkan keterpisahan antarkelompok kampung juga semakin kuat. Hal ini menyebabkan varian Sunda semakin diperkuat. Varian bahasa berkembang. Kemandirian kesenian menyebabkan suatu daerah memiliki jenis seni tertentu, sedangkan daerah lain memiliki jenis seni yang lain. Peta varian budaya Sunda ibarat sebuah tapestry yang berisi jalinan varian-varian warna dan bentuk, yang muncul di sudut ruang kemudian menghilang dan muncul di sudut yang lain. Semua itu merupakan mozaik yang saling berkelindan, muncul, hilang bermetamorfosa di tempat lain. ***

Penulis, budayawan tinggal di Bandung.

Sumber: Pikiran Rakyat

Memperkuat Pemerintahan Presidensial

Oleh Anas Urbaningrum

Perjalanan lebih dari dua tahun pemerintahan hasil pemilihan presiden langsung 2004 semakin memperkuat pengertian pokok bahwa membangun demokrasi pada tingkat implementasi adalah demokratisasi. Apa yang harus dilakukan agar demokratisasi itu semakin kuat? Inilah analisis Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan juga merupakan (proses) ikhtiar yang terkait erat dengan (terutama) dinamika politik domestik. Produktivitas pemerintahan menjadi titik berikutnya yang lebih kompleks karena terkait langsung atau tidak langsung dengan banyak dimensi kehidupan kebangsaan yang lain.

Pertanyaan pokok yang selalu berkembang adalah tentang produktivitas pemerintahan demokratis. Apakah pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat dan mempunyai legitimasi tinggi, mampu menjaga stabilitas politik, dan bekerja lebih tenang akan sekaligus sanggup memproduksi langkah-langkah, kebijakan, dan kerja nyata bagi perbaikan nasib serta peningkatan martabat rakyat? Itulah tugas dan tantangan berikutnya yang justru menjadi fokus dari kehadiran pemerintahan demokratis hasil pemilu.

Berkaitan dengan hal tersebut, banyak pandangan yang sepakat bahwa sistem pemerintahan presidensial kita belum kukuh. Pilihan dan kesepakatan politik nasional untuk memperkuat dan menegaskan sistem pemerintahan presidensial, misalnya, dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, belum menemukan tempat yang benar-benar pas dalam dinamika politik nasional. Hal itu patut kita perhatikan dalam rangka pemantapan sistem ketatanegaraan dan pembangunan sistem pemerintahan presidensial yang stabil dan produktif.

Ada beberapa hal pokok yang layak kita lihat dalam ikhtiar politik tersebut. Pertama, apakah konstitusi kita, UUD 1945, yang sudah diamandemen 4 kali cukup memadai sebagai fondasi bagi sistem pemerintahan presidensial?

Pertanyaan itu layak kita ajukan. Sebab, terlepas dari berbagai perbaikan dan kemajuan penting pascaamandemen, UUD 1945 masih menyisakan berbagai lubang dan kelemahan.

Hal itu perlu disempurnakan oleh MPR dan tentu saja lewat amandemen kelima. Yang jelas, kita layak menolak pandangan dan keinginan sebagian tokoh yang meminta kembali ke UUD 1945 sebelum amandeman (atau yang asli).

Jelas, itu adalah kemunduran yang nyata. Wacana dan kesepahaman untuk melakukan amandemen lanjutan (penyempurnaan) layak kita mulai pada 2007 ini.

Kedua, apakah sistem kepartaian kita sudah cocok dan mendukung sistem pemerintahan presidensial? Jelas sekali bahwa sistem kepartaian yang majemuk ekstrem atau ultramajemuk tidak relevan dan tidak mendukung sistem pemerintahan presidensial. Yang lebih cocok adalah sistem dwipartai atau sistem multipartai sederhana.

Artinya, kita masih harus bekerja keras untuk menata sistem kepartaian yang lebih sederhana sehingga menjadi salah satu pilar bagi stabilitas dan produktivitas sistem pemerintahan presidensial. Itulah agenda yang seharusnya dimulai pada 2007.

Ketiga, apakah sistem pemilu kita sudah cocok dan mendukung penyederhanaan partai politik dan menopang sistem pemerintahan presidensial? Hemat saya, kita masih harus mencari dan menemukan sistem pemilu yang benar-benar mampu menampung dimensi representasi, akuntabilitas politik, dan sekaligus penyederhanaan sistem kepartaian.

Sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka masih harus kita sempurnakan, terutama tata cara-tata cara teknisnya, sehingga takarannya menjadi pas sebagai perkawinan dari dua cabang utama sistem pemilu, yakni sistem pemilu proporsional dan distrik.

Pernyataan SBY tentang pencalonan tanpa nomor urut adalah salah satu jalan perbaikan implementasi teknis atas open list system tersebut. Dengan cara itu, akan terjadi share yang adil dan bertanggung jawab antara otoritas partai, kualitas calon, dan daulat pemilih. Sebaiknya, agenda penyempurnaan sistem pemilu juga bisa diselesaikan pada 2007.

Keempat, apakah kantor kepresidenan kita sudah memadai untuk menopang tugas-tugas presiden yang dipilih langsung oleh rakyat? Mengapa pertanyaan itu diajukan? Sebab, kita bisa melihat secara kasatmata bahwa kantor kepresidenan belum mengalami perubahan yang berarti, kecuali hanya mempunyai staf khusus, termasuk juru bicara. Dapatkah kantor kepresidenan yang biasa bekerja dalam konteks presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR bekerja optimal untuk konteks yang baru tersebut ?

Menurut saya, sangat dibutuhkan kantor kepresidenan yang benar-benar kuat dan mempunyai daya dukung optimal bagi tugas-tugas presiden. Kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sistem pemerintahannya presidensial. Yang penting, hal itu tetap kita olah dan ramu untuk disesuaikan dengan konteks keindonesiaan.

Jadi, bukan dengan menjiplak atau mengimitasi begitu saja. UKP3R adalah salah satu contoh kecil tentang upaya memperkuat kantor kepresidenan. Itu harus dilanjutkan dengan upaya-upaya lain yang tepat dan terukur.

Kelima, apakah sikap dan perilaku partai-partai politik sudah sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial? Dengan mudah kita bisa menjawabnya: belum! Sikap dan perilaku partai politik, termasuk representasinya di DPR, masih seperti ketika presiden dan wakil presiden dipilih lewat MPR. Seakan-akan presiden dan wakil presiden tidak dipilih rakyat. Itulah yang harus kita perbaiki bersama. Kita harus belajar menempatkan diri secara tepat sehingga partai-partai politik memberikan kontribusi positif bagi penguatan sistem pemerintahan presidensial.

Berangkat dari beberapa hal pokok tersebut, saya memandang bahwa 2007 akan menjadi strategis dan produktif jika dimanfaatkan untuk menata lebih lanjut sistem demokrasi kita. Kita membutuhkan sistem demokrasi yang utuh, solid, dan komprehensif serta didukung berbagai aturan perundang-undangan yang lengkap.

Itulah agenda kita.


Sumber: Indo Pos