Wednesday, January 3, 2007

Proyek Indonesia

Oleh: B Herry Priyono

Tahun baru telah berangkat. Lalu lalang peristiwa dari tahun silam masih berceceran. Seperti dalam simpang siur, tak seorang pun tahu yang akan terjadi. Mungkin bencana baru, mungkin kebingungan baru, mungkin harapan baru. Itulah kisah kerumunan yang bernama Indonesia.

Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Indonesia tahun 2006 ditandai dengan seruan makin lantang tentang nasionalisme. Beberapa segera mengejeknya dengan menyebut nasionalisme adalah ideologi para bandit. Yang lain menganggap ejekan itu hanya celoteh para makelar. Tentu, yang satu menentang yang lain dengan mengutip para ahli meski itu tidak banyak berarti. Seperti biasa, masing-masing terburu membatu dalam kubu, hingga lupa mereka pernah mulai dari pertanyaan sama: bagaimana membentuk kembali Indonesia yang porak peranda?

Pilihannya bukan antara perlu atau tidak perlu membentuk Indonesia, tetapi bagaimana caranya. Mereka yang menyerukan nasionalisme rupanya melihat, Indonesia sebagai bangsa perlu dibentuk kembali dengan sengaja. Dan nasionalisme tidak lebih dari istilah bagi "kesengajaan" itu. Sedangkan mereka yang mengejek nasionalisme sebagai ideologi para bandit rupanya mengira Indonesia akan terbentuk dengan sendirinya tanpa perlu kesengajaan.

Efek sampingan

Siasat ketidaksengajaan ini diilhami spontanitas transaksi ekonomi pasar. Kita tidak perlu pusing dengan agenda membentuk bangsa Indonesia. Kita cukup menerima fakta, dulu Pemerintah Belanda pernah menguasai gugus wilayah yang diberi nama Indonesia. Ketika Belanda harus pergi, wilayah itu lalu punya pemerintahan baru.

Kesamaan administrasi itu sudah cukup sebagai kerangka. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk membentuk Indonesia sebagai suatu bangsa? Jawabnya, rutinisasi interaksi seluruh penduduk di wilayah itu dalam bingkai administrasi yang sama. Tetapi, bukankah suatu bangsa diikat oleh kerekatan tertentu? Benar, namun kerekatan itu bukan kerekatan afeksi ala keluarga atau kekasih, tetapi kerekatan karena ketergantungan fungsional satu sama lain. Maksudnya?

Andai saya guru sekolah, bisa mengajar, tetapi tidak dapat membuat baju atau rumah. Maka saya memerlukan jasa penjahit dan tukang batu, sedangkan penjahit serta tukang batu itu memerlukan jasa saya untuk mengajar anak-anaknya. Bila proses sederhana ini direntang dengan melibatkan jutaan orang, kebutuhan lebih beragam, lingkup lebih luas, teknologi lebih canggih, nama lebih gagah, dan kerumitan lebih besar. Jutaan orang itu direkatkan bukan oleh afeksi, tetapi oleh kesalingtergantungan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.

Apa kaitan semua itu dengan terbentuknya Indonesia? Jawabannya kira-kira begini. Asal sudah ada kesamaan bingkai administrasi, terbentuknya Indonesia sebagai bangsa tak perlu dikejar dengan sengaja sebab bangsa Indonesia akan muncul dengan sendirinya dan secara spontan dari berlaksa-laksa transaksi ketergantungan ekonomi. Bagaimana berlaksa-laksa transaksi ketergantungan itu membentuk Indonesia? Jawabnya tidak jelas, namun sekitar 230 tahun lalu seorang pemikir memakai istilah "tangan tak kelihatan" (invisible hand) untuk menyebut gejala itu.

Inilah paham tentang pembentukan Indonesia menurut spontanitas transaksi pasar. Tak perlu komitmen dan solidaritas sebab Indonesia akan muncul dengan sendirinya dari jaring raksasa kesalingtergantungan ekonomi pasar. Itulah mengapa model ini amat menarik untuk kita yang tidak suka tuntutan solidaritas bagi proyek bersama membentuk Indonesia. Namun ada dua kejanggalan.

Pertama, bukankah penentu transaksi pasar adalah tingkat daya beli? Maka, semakin punya uang, semakin kita lebih menentukan terbentuk-tidaknya Indonesia. Sebaliknya, semakin kita miskin, semakin kita tak punya hak atas pembentukan Indonesia. Akibatnya, terbentuknya Indonesia sebagai bangsa bukan ditentukan oleh kesamaan hak setiap orang sebagai warga negara, tetapi oleh pemilikan uang. Akhirnya, terbentuk-tidaknya Indonesia hanya efek samping dari tingkat pemilikan uang.

Kedua, apa yang terjadi bila lingkup transaksi pasar itu tidak sesempit wilayah suatu negeri, tetapi seluas dunia seperti dalam globalisasi ekonomi? Maka, terbentuk-tidaknya Indonesia sebagai bangsa juga sekadar menjadi efek samping dinamika pasar dan daya beli pada skala global. Andai saya manajer perusahaan transnasional, saya akan mengatakan, "Jika Indonesia terbentuk sebagai bangsa, syukurlah. Namun bila tidak, pembentukan Indonesia juga bukan tujuan bisnis transnasional kami."

Itulah mengapa kecemasan tentang pembentukan bangsa menjadi gejala kuat dalam kondisi globalisasi ekonomi. Karena kita gagap memberi nama, soalnya sering hanya ditunjuk dengan istilah nasionalisme. Kecemasan itu tidak berisi sikap antiglobalisasi, tidak pula lantaran kesempitan wawasan, tetapi kekhawatiran bila terbentuk-tidaknya Indonesia sekadar menjadi efek samping kinerja pasar global. Dengan kata lain, seruan nasionalisme yang kian lantang menunjuk tuntutan agar pembentukan Indonesia sebagai bangsa menjadi proyek yang dikejar dengan lebih sengaja.

Jalan kesengajaan

Tetapi, membentuk Indonesia dengan sengaja juga tidak lebih sederhana. Siapa yang harus menjadi penggerak kesengajaan itu? Jawabnya mudah menyulut kecemasan, dan sebabnya juga nyata di depan mata. Setelah otoritarianisme Orde Baru, kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".

Dalam banyak hal, ambisi sektarian ini merupakan sosok-kebalikan ambisi yang mau membentuk Indonesia dengan fisika ekonomi pasar. Siasat tata uang ditentang dengan siasat tata agama. Sebaliknya, pembentukan Indonesia dengan tata agama mau dijinakkan melalui tata uang. Jadilah ruang-ruang publik kita pekak dengan tegangan ganjil antara idiom teknokrasi pasar dan khotbah kesalehan-agamis. Dalam tegangan itu, banyak penentang fundamentalisme agama jatuh ke pelukan kelompok yang memakai teknokrasi pasar untuk membentuk Indonesia. Mereka mengira teknokrasi pasar dapat menjinakkan fundamentalisme agama karena mengira kebebasan-agama dan kebebasan-pasar adalah satu dan sama.

Dari dua ambisi itu, apa yang akan muncul bukanlah Indonesia, tetapi kerumunan fundamentalis satu yang diincar kaum fundamentalis lain. Keduanya bercampur aduk dalam simpang siur peristiwa. Sesekali mereka bertabrakan, kadang saling menggunakan. Sosok yang satu menawan dengan retorik kebebasan, yang lain menjebak dengan bahasa kesalehan.

Di mana pemerintah? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Dengan segala hormat, rupanya kita tidak yakin kedua fundamentalisme itu benar-benar dipahami sebagai masalah serius. Simptom dua fundamentalisme itu begitu nyata dalam peristiwa sehari-hari. Tetapi, bagaimana sosok fundamentalis yang satu menjadi cermin-kebalikan sosok yang lain, rupanya tetap merupakan masalah yang asing di radar pemerintah.

Tidak semua masalah dan urusan dapat ditimpakan ke pundak pemerintah. Namun, untuk urusan pembentukan Indonesia sebagai bangsa, kepemimpinan pemerintah tidak tergantikan. Tanpa itu, pemerintah kehilangan alasan adanya. Dalam kondisi sejarah kita saat ini, syarat pertama untuk mengemban tugas itu adalah mengenali kedua siasat itu. Sosok yang satu mau membiarkan Indonesia terbentuk sebagai efek sampingan kinerja pasar bebas. Sosok lainnya mau membentuk Indonesia berdasar dogma agama.

Pilih yang mana? Jawabannya bukan keduanya. Pemimpin sejati tidak membiarkan diri terjebak. Ia ada di sini untuk memimpin, bukan untuk menjadi pengikut desakan. Karena itu, kepemimpinan selalu berisi jalan sunyi menghidupi tegangan. Cuma, adakah isyarat yang bisa dijadikan pandu untuk menghidupi tegangan itu?

Meski sayup-sayup, tahun 2006 juga ditandai dengan seruan luas untuk becermin kembali pada Pancasila. Mula-mula seruan itu terdengar latah. Tetapi lambat laun kita belajar, bangsa yang ingin kita bentuk bukan Indonesia berdasar dogma agama, bukan pula Indonesia yang diharapkan terbentuk sebagai efek samping kinerja ekonomi pasar. Itulah mengapa dalam berbagai kajian tentang Pancasila selama tahun 2006, persoalan yang disebabkan oleh dua sosok fundamentalisme itu selalu muncul.

Sebagai simpul, panduan kita mungkin dapat ditegaskan dalam trilogi berikut. Pertama, kita hendak membentuk Indonesia sebagai bangsa dengan dasar civic, bukan atas dasar dogma agama. Kedua, kita hendak membentuk Indonesia secara sengaja, bukan sebagai kerumunan efek samping kinerja ekonomi pasar. Ekonomi pasar perlu dipakai untuk mengabdi pembentukan Indonesia, dan bukan sebaliknya. Ketiga, kita menghendaki agar kesengajaan membentuk Indonesia menurut dua arah itu tercermin dalam semua kebijakan publik.

Pada akhirnya, seruan nasionalis bukan gerakan antimodal asing atau tribalisme sweeping, tetapi gerakan kesengajaan kita membentuk Indonesia sebagai bangsa. "Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia untuk melintasi tahun yang belum bernama.

Selamat Tahun Baru 2007.

B Herry Priyono Dosen di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

No comments: