Wednesday, January 10, 2007

Eksekusi Saddam dan Eskalasi Kekerasan

Oleh: Muhammad Ja'far
# PENELITI PUSTAKA LP3ES INDONESIA SERTA LEMBAGA STUDI AGAMA DAN FILSAFAT

Sejauh mana pelaksanaan eksekusi mati terhadap mantan Presiden Irak Saddam Hussein (31 Desember 2006) akan lebih memperburuk stabilitas keamanan negeri itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menghitung signifikansi dan urgensi pelaksanaan eksekusi tersebut dalam perspektif kepentingan politik beberapa faksi di Irak. Dari sini, dapat diketahui apakah eksekusi tersebut dapat diperhitungkan sebagai sebuah faktor yang akan berdampak.

Aksi teror dan konflik bersenjata yang belakangan semakin intensif di Irak merupakan salah satu ekspresi rivalitas antarfaksi dalam memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Berdasarkan penguasaan kursi parlemen, secara berurutan, ada tiga faksi dalam percaturan politik Irak, yaitu faksi politik Syiah, Kurdi, dan Sunni.

Masing-masing faksi tersebut masih terfragmentasi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, dengan kekhasan pandangan serta corak gerakan politiknya, dari yang moderat, radikal, hingga oportunis-pragmatis. Di kelompok Syiah, ada kubu Muqtada As-Sadr yang dikenal radikal dan kubu ulama Al-Sistani yang relatif lebih moderat. Demikian juga dengan kubu Sunni, pandangan serta gerakan politik yang berkembang di dalamnya tidak monolitis.

Selain ketiga faksi tersebut, masih bercokol kekuatan-kekuatan politik lama peninggalan rezim Saddam, yang tidak mau kehilangan kiprah. Kelompok ini di antaranya meliputi para politikus sisa kekuatan Partai Baath dan juga eks militer. Orientasi kelompok ini relatif pragmatis dan oportunis. Ada kemungkinan kelompok ini juga menggunakan aksi teror bom untuk meretas tujuan politisnya.

Politik Irak tampaknya juga disusupi "pihak-pihak ketiga", kelompok yang menginginkan hengkangnya pasukan koalisi asing pimpinan Amerika Serikat dari Irak. Mereka--yang sering diidentifikasi dengan jaringan kelompok Al-Qaidah--sebagian juga menggunakan teror bom dalam beraksi. Berdasarkan visi politiknya, kedua kelompok yang disebut terakhir ini tampaknya lebih dekat pada faksi Sunni sebagai afiliasinya.

Dari semua faksi di atas, ada yang menolak dan menyetujui proses peradilan serta vonis terhadap Saddam. Kurdi dan Syiah, sebagai kelompok yang pada masa rezim Saddam mengalami represi, cenderung menyetujui vonis tersebut. Sebaliknya dengan Sunni, sebagai pendukung rezim Saddam dulu, kelompok ini cenderung menentang.

Jadi tuntutan faksi tersebut terpecah dan berbeda. Tapi satu hal yang hendaknya dipahami bahwa dari semua faksi itu, tidak ada satu pun yang menjadikan isu eksekusi Saddam sebagai skala prioritas dalam agenda politiknya. Kalaupun menjadi bagian dari aspirasi atau tuntutan politis salah satunya, urgensinya sangat rendah.

Eksekusi terhadap Saddam dinilai bukan agenda politik yang mendesak. Dengan alasan menjaga stabilitas keamanan, kelompok Syiah moderat dan Kurdi jelas cenderung tidak menyetujui keputusan eksekusi tersebut. Adapun kubu Muqtada, meski dikenal sebagai Syiah radikal, ada kemungkinan tidak melihat adanya signifikansi serta keuntungan politis yang besar bagi mereka dari proses eksekusi terhadap Saddam. Jadi eksekusi tersebut juga ada kemungkinan bukan bagian agenda yang mendesak dan signifikan.

Meski faksi Sunni jelas tidak berkenan dengan eksekusi tersebut, figur Saddam kini pada dasarnya tidak lagi memiliki pengaruh politis yang kuat terhadap kelompok ini. Sisa kekuatan Partai Baath, misalnya, tidak lagi memiliki kekuatan untuk merespons isu eksekusi tersebut secara signifikan dalam bentuk aksi teror dan bersenjata.

Berbeda dengan kelompok yang disebut "pihak ketiga", yang juga Sunni, ada kemungkinan memang akan memanfaatkan isu eksekusi ini untuk meningkatkan aksi teror bomnya. Meski demikian, kalaupun terjadi peningkatan eskalasi aksi teror bom pascaeksekusi Saddam, hal itu tidak sepenuhnya memiliki keterkaitan secara diametral dengan keputusan eksekusi tersebut. Mengacu pada motif dan visi politik kelompok ini, Saddam tampaknya tidak lagi dilihat sebagai isu yang strategis untuk dipolitisasi.

Jadi, menurut saya, di percaturan politik Irak saat ini, Saddam sebenarnya bukanlah faktor. Dengan demikian, proses eksekusi terhadap dirinya juga tidak memiliki signifikansi politis yang berarti, baik terhadap lawan politiknya maupun pendukung dan sisa kekuatan rezimnya. Urgensi pelaksanaan eksekusi tersebut sebenarnya juga sangat rendah. Bukan tuntutan politik dengan skala prioritas yang tinggi.

Melihat fakta ini, muncul spekulasi tentang motif tersembunyi di balik keputusan tersebut. Sebab, jika mengacu pada kompleksitas kasus Saddam, proses peradilannya terhitung masih sangat dini. Ada kesan ketergesa-gesaan dalam proses eksekusi tersebut. Demikian cepat, pesat, dan terkesan diam-diam. Beberapa motif yang mungkin melatarbelakangi fakta cepatnya proses eksekusi terhadap Saddam ini di antaranya sebagai berikut ini.

Pertama, percepatan eksekusi merupakan hasil tekanan pemerintah George W. Bush, yang dimaksudkan sebagai upaya memulihkan citra politiknya terkait dengan kondisi Irak. Kedua, eksekusi dimaksudkan untuk menarik simpati dan mengendurkan resistensi politik kalangan Syiah radikal. Ketiga, eksekusi ada kemungkinan juga dimaksudkan sebagai langkah politik menekan kelompok-kelompok Sunni yang intensif melancarkan aksi teror.

Jika benar ini tujuannya, hasil yang akan dituai tidak akan terlalu signifikan. Sebagai mekanisme pemulihan citra Bush, eksekusi Saddam justru bisa berbalik arah menimbulkan reaksi negatif. Terbukti dengan munculnya tentangan keras dari sebagian pihak atas keputusan eksekusi tersebut. Eksekusi terhadap Saddam juga tidak akan berpengaruh signifikan dalam mengubah persepsi politik kalangan Syiah radikal terhadap pemerintah Amerika Serikat, terutama kubu Muqtada Sadr, yang dikenal keras menentang keberadaan pasukan Amerika.

Terakhir, karena figur Saddam bukan lagi faktor, eksekusi tersebut juga tidak akan menempatkan kalangan Sunni dalam posisi tertekan secara politis. Jadi, jika sebagian kalangan mengkhawatirkan dampak proses eksekusi Saddam pada semakin tingginya aksi teror di Irak, hal itu sepertinya tidak sepenuhnya benar. Reaksi yang muncul ada kemungkinan temporer semata. Selebihnya, aksi teror tidak memiliki keterkaitan diametral dengan keputusan eksekusi Saddam.

Sumber: Koran Tempo, Rabu, 10 Januari 2007

No comments: