Friday, January 5, 2007

Menyoal Pembaruan Islam

Ismail F Alatas
Research Scholar History Department National University of Singapore

Artikel Hamid Fahmi Zarkasyi berjudul Menyoal 'Pembaruan Islam' (Republika, 28/12/06) menawarkan sebuah kritik terhadap proyek modernisasi dan liberalisasi Islam yang terdengar cukup segar. Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang haus akan kritik dewasa semacam ini.

Sering kita dengar hujatan, pengafiran, dan penyesatan dilancarkan beberapa kelompok Muslim terhadap mereka yang memperjuangkan 'pembaruan Islam'. Oleh karenanya, kritik, dalam arti kata sebenarnya sangat diperlukan guna menciptakan iklim intelektual dialogis. Artikel ini mencoba mengomentari beberapa poin penting yang telah disorot saudara Hamid.

Hegemoni konsep Barat
Dalam artikel tersebut, Hamid menekankan bahwa tantangan terberat yang dihadapi umat Islam adalah hegemoni konsep-konsep Barat yang kemudian diinternalisasi oleh kaum Muslimin sendiri. Jika kita tarik permasalahan ini lebih jauh ke belakang, maka tampak jelas bahwa akarnya terletak pada penemuan Islam sebagai objek studi oleh para ilmuwan Barat. Pada masa kolonial, baik di Indonesia maupun di negara Muslim lainnya, pemerintahan kolonial mengalami ketakutan mendalam terhadap Islam karena potensi subversif yang dimilikinya.

Dihadapkan dengan sebuah fenomena asing semacam ini, pemerintahan kolonial, beserta hulubalang intelektualnya mulai mencari tahu, membedah, dan merekonstruksi ulang Islam. Dengan begitu, Islam dapat direpresentasikan kepada dunia Barat dengan lensa yang dapat dikenali masyarakat Barat, walau tidak lagi dikenali kaum Muslimin sendiri.

Menurut antropolog Bernard Cohn, melalui proses 'determinasi, kodifikasi, kontrol, dan representasi' untuk mengenal tanah jajahan lebih dekat, sehingga lebih mudah mengontrolnya, ilmu kolonial lahir. Oleh karenanya, proses produksi ilmu kolonial merupakan penaklukan ranah epistemologi lokal. Dengan kata lain, sumber-sumber lokal dikumpulkan, diklasifikasi, dan ditafsirkan sebagai investigative modalities yang lama kelamaan diterima sebagai ilmu pengetahuan positif.

Para ilmuwan yang mengkaji Islam dan sejarah perkembangannya, kemudian mulai mengklasifikasi, mendefinisikan, dan menafsirkan Islam serta mengimposisikan konsep-konsep asing. Bahayanya, konsep-konsep serta klasifikasi yang disematkan para intelektual Barat seperti Islam tradisional, modern, liberal, Islam rasional, Islam skripturalis, dan sebagainya, banyak tidak berakar pada tradisi dan pengalaman historis Islam itu sendiri.

Karena maksud dari sistematisasi ini adalah merepresentasikan Islam kepada khalayak Eropa, maka konsep-konsep yang digunakan adalah konsep-konsep yang lebih akrab dengan pemikiran Eropa, yakni yang berdasar pada pengalaman historis Barat. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam pandangan hidup Islam, tiba-tiba menjadi ada. Dengan kata lain, masuklah konsep-konsep asing yang tidak sedikit bersifat kontradiktif dengan ajaran fundamental agama, ke dalam diskursus Islam.

Setelah konsep-konsep asing yang disematkan pada Islam terkonsolidasi di dunia Barat, barulah ia diadopsi kaum Muslim. Para pelajar Muslim yang belajar di universitas-universitas Barat kemudian mulai melihat Islam melalui kacamata para intelektual Barat. Proses ini, yang oleh saudara Hamid dicontohkan dalam kasus 'pembaruan Islam', disebut dengan internalisasi pemikiran asing dalam melihat diri sendiri. Dengan demikian, konsep-konsep yang berakar pada ketakutan kolonial serta ambisi dominasinya, dinaturalisasi dalam pembacaan kita akan Islam.

Kajian meta-analisis
Salah satu kelemahan fundamental yang dialami cendekiawan Indonesia dewasa ini muncul dalam mendefiniskan suatu masalah. Kelemahan dalam tingkat logika ini kemudian melahirkan kerancuan dalam pemilihan masalah serta penanggulangan dan penyikapannya. Artikel saudara Hamid telah menyoroti salah satu problem fundamental yang selama ini tidak dilihat sebagai problem, yaitu hegemoni konsep, pemahaman, nilai, ide, pendekatan bahkan terminologi Barat. Amnesia terhadap sejarah konsep-konsep tersebut turut menyemarakkan fenomena tersebut. Oleh karenanya, di Indonesia diperlukan kajian-kajian meta-analisis yang berfungsi membantu para intelektual dalam mendefiniskan masalah.

George Ritzer, dalam artikel berjudul Sociological Metatheory mendefinisikan meta-analisis sebagai studi refleksif terhadap struktur yang mendasari sebuah disiplin ilmu, tidak hanya dengan studi terhadap teori dan konsep-konsepnya tetapi juga metodologi, data, dan ranah substantifnya. Syed Farid Alatas telah mengklasifikasikan kajian meta-analisis menjadi empat varian.

Pertama, pendekatan internal-cognitive yang lebih memfokuskan pada kritik ide-ide internal dalam sebuah diskursus seperti ide tentang 'kemajuan', superioritas peradaban Barat dan paternalisme tradisi intelektual Barat. Contoh literatur yang menggunakan pendekatan ini adalah studi-studi orientalisme, eurosentrisme, dan studi teori retorika ilmu sosial.

Pendekatan kedua adalah external-cognitive yang mempelajari bagaimana ide, nilai, dan mentalitas dari luar disiplin ilmu turut mempengaruhi sebuah disiplin. Contoh dari studi-studi semacam ini adalah theory of mental captivity, pedagogical theories of modernization, dan modern colonial critique.

Varian ketiga adalah internal-institutional yang mengkaji pengaruh komponen-komponen struktural dalam sebuah disiplin ilmu terhadap aktivitas intelektualnya. Varian ini diwakili oleh literatur-literatur seperti theory of intellectual imperialism dan academic dependency theory. Yang terakhir, external-institutional, terfokus pada pengaruh komponen-komponen struktural dari luar disiplin ilmu terhadap aktivitas intelektualnya. Varian ini juga diwakili academic dependency theory.

Pentingnya kajian-kajian meta-analisis dapat dilihat dari tiga kegunaannya yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam konteks intelektualitas Indonesia. Pertama, kajian-kajian meta-analisis memperjelas relevansi maupun irelevansi ilmu-ilmu yang diproduksi di Barat, khususnya paradigma yang digunakan oleh ilmuwan Barat dan diinternalisasi oleh intelektual Muslim tentang Islam. Dengan semakin banyaknya kajian meta-analisis, akan tampak jelas problematika yang memang harus dan yang tidak harus ditanggapi oleh intelektual Muslim. Relevansi/irelevansi konsep-konsep seperti 'Pembaruan Islam' juga akan terlihat. Dengan kata lain, kajian meta-analisis dapat memposisikan kita pada jalan tengah antara dua ekstrem: penolakan total dan penerimaan total.

Kedua, kajian-kajian tersebut menekankan pentingnya mengembangkan teori, sistem nilai, konsep, metodologi, dan terminologi yang berdasar pada pengalaman historis kita sendiri, dan bukan yang diimposisikan oleh pihak asing kepada tradisi dan sejarah kita. Terakhir, dengan mengenal lebih dalam struktur-struktur yang mendasari disiplin ilmu, kita akan dapat menyisihkan yang tidak berguna dan irelevan serta menerima yang relevan dan berguna. Pada akhirnya kita dapat mengembangkan filsafat ilmu, sosiologi ilmu pengetahuan dan sejarah ide yang lebih universal dan tidak bersifat eurosentris.

Ikhtisar
- Kolonialisme memberi sumbangan besar bagi terjadinya internalisasi pemikiran Barat dalam khazanah Islam.
- Konsep-konsep Barat yang kemudian masuk dalam wacana pemikiran Islam itu banyak yang tidak berakar pada tradisi Islam.
- Perlu kajian meta-analisis yang bersifat reflektif untuk membantu para cendekiawan dalam mendefinisikan suatu masalah.

Sumber: Republika

No comments: