Thursday, January 4, 2007

Usul; Hakim Dilarang Poligami

Oleh Moh Mahfud M.D.

Kusfandi, teman sekolah saya ketika SMTA, resah. Belakangan ini Irma, istrinya, selalu marah-marah, bahkan tak mau lagi melayaninya. "Laki-laki itu memang tak tahu berterima kasih. Setelah didampingi bertahun-tahun dengan hidup sengsara mulai dari menyelesaikan studi, mencari pekerjaan, sampai menjadi mapan, eh.. setelah jadi orang terkenal enak saja kawin lagi dan berselingkuh. Apa tak sakit hati ini," kata Irma sambil berteriak kepada suaminya.

"Lho, apa maksudmu Ir? Saya kan tak kawin lagi, tak berselingkuh," jawab Kusfandi.

"Saya bilang kaum laki-laki. Lihat tuh Aa Gum, Yayak Zainul, Jaynal Mualif. Enak saja berkhianat dan tak adil kepada istri setelah jadi orang terkenal. Kawin lagi lah, berselingkuh lah. Awas, saya tak mau dibegitukan," teriak istri Kusfandi.

"Kamulah yang tidak adil. Mosok, orang lain yang ’enak’ tapi saya yang dimarahi. Aa Gum yang menikmati kawin lagi, tapi saya yang kamu hardik. Yayak Zainul yang berselingkuh, tapi saya yang kamu bentak-bentak. Jaynul Mualif yang berpoligami, tapi saya yang kamu boikot. Apa itu adil?" jawab Kusfandi sambil tertawa pahit.

Sebenarnyalah persoalan poligami dan perselingkuhan telah menimbulkan heboh bukan hanya di televisi dan koran-koran, tetapi juga di rumah-rumah, di warung kopi, bahkan di majelis taklim.

***

Ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tanggal 27-28 Desember 2006 lalu melakukan kunjungan kerja ke Surabaya, masalah tersebut sempat muncul. Saat itu rombongan Baleg DPR RI datang ke Jawa Timur untuk meminta masukan atas tiga RUU, yaitu RUU tentang Mahkamah Agung (MA), RUU tentang Mahkamah Konstitusi (MK), dan RUU tentang Komisi Yudisial (KY) yang memang harus segera direvisi karena adanya serangkaian putusan MK. Baleg DPR RI datang ke Jatim untuk meminta masukan dari pemda, ormas, LSM, dan tiga universitas terkemuka di sana.

Saat acara makan siang, Chusnul Arifien (asisten tata praja) dari Pemda Jatim bertanya dengan nada bergurau, mengapa di dalam tiga RUU itu tidak dicantumkan ketentuan "hakim dilarang berpoligami." Di Universitas Tujuh Belas Agustus, masalah itu muncul kembali meski juga dengan nada canda. Tetapi, gurauan tentang itu disertai adu argumen yang masuk akal.

Mengapa? Sebab, pada umumnya poligami yang akan dilakukan seorang laki-laki itu dimulai dengan ketidakadilan, yakni menyakiti hati istri. Pada umumnya, sekali lagi pada umumnya, seorang istri yang akan dimadu tentu merasa dipandang tidak secantik atau semenarik calon istri baru suaminya, sesuatu yang sangat menyakitkan bagi wanita karena merasa dicampakkan sebagai barang yang tak berharga lagi.

Agak sulit memercayai bahwa seorang pria yang akan kawin lagi sungguh-sungguh mendasarkan pada niat baik agar wanita yang jumlahnya lebih banyak mempunyai kesempatan yang sama untuk bersuami. Selain tak sesuai dengan perimbangan statistik, dalam kenyataannya, seorang laki-laki yang akan kawin lagi biasanya mengambil yang masih muda dan lebih sintal; tak ada yang mau memilih yang lebih peot daripada istrinya sendiri. Ini menyakitkan hati wanita sekaligus melanggar prinsip kesetaraan karena wanita hanya dijadikan objek.

Bukan tidak mungkin pula seorang suami yang akan kawin lagi memulainya dengan slintutan dan melakukan kebohongan-kebohongan kepada istri dan keluarganya baik ketika mulai melakukan hubungan diam-diam dengan wanita lain maupun ketika mencari-cari alasan untuk kawin lagi.

Lebih dari itu, jika masyarakat meributkan atas poligami yang dilakukannya, sang suami bisa melakukan kebohongan-kebohongan baru. Yakni, melalui tekanan fisik maupun psikis, istrinya disuruh berpura-pura ikhlas di depan publik. Bisa juga sang suami mengemis dan mencium kaki istrinya agar berpura-pura ikhlas dimadu dan menjadi "istri teladan kagetan" demi menyelamatkan reputasi sang suami di tengah-tengah masyarakat.

Padahal, dari sorot mata, ekspresi, dan getar suaranya terkesan bahwa keikhlasan itu dibuat-buat. Menekan maupun mengemis kepada istri agar berpura-pura ikhlas merupakan ketidakadilan dan dosa. Maka, agar tak menambah dosa karena kebohongan, sebaiknya orang yang berpoligami tak usah meminta-minta istri terdahulunya untuk menyatakan ikhlas di depan publik.

Ada juga yang menyanggah itu dengan pertanyaan: Lebih baik mana antara orang yang tidak berpoligami tapi berselingkuh dan orang yang berpoligami tapi tak pernah berzina?

Pertanyaan perbandingan itu salah dan tidak adil. Pertanyaan yang lebih tepat adalah: Lebih baik mana antara orang yang berpoligami tapi tidak berselingkuh dan orang yang tidak berpoligami tapi juga tak berselingkuh? Jawabannya sudah pasti, yang lebih baik dari semuanya adalah yang tidak berpoligami, tapi juga tidak berselingkuh.

***

Diskusi tak resmi antara Baleg DPR dan masyarakat Jatim tentang poligami itu memang tak menghasilkan kesepakatan karena suasananya memang hanya bergurau. Tetapi, argumen-argumen yang dimunculkan diterima sebagai common sense.

Tetapi, saya menolak usul dimasukkannya larangan berpoligami itu di dalam UU karena pada dasarnya berpoligami itu menurut agama (Islam) adalah boleh. Yang dosa adalah tekanan fisik dan psikis terhadap istri secara tak adil serta kebohongan-kebohongan yang dilakukan seorang pria sebelum dan sesudah berpoligami.

Apalagi argumen kenyataan di atas dinisbahkan pada keadaan "pada umumnya" atau common sense saja. Padahal, di dalam masyarakat, ada saja situasi yang bersifat khusus. Dalam kenyataannya, ada pria yang berpoligami karena benar-benar ingin beribadah dan menolong orang; ada juga seorang istri yang memang ikhlas suaminya beristri lagi. Tapi, yang bersifat khusus seperti itu selalu jauh lebih sedikit daripada yang umum.


Moh. Mahfud M.D., anggota Baleg DPR RI dari PKB

Sumber: Jawa Pos

No comments: