Sunday, December 31, 2006

Haji dan Masalah Kebangsaan

Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI

Menghubungkan doktrin ibadah haji dengan masalah-masalah kebangsaan dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia saat ini sangatlah menarik. Khotbah Nabi Muhammad pada saat haji wada' menyangkut soal doktrin teologis haji dan masalah-masalah kehidupan umat manusia lainnya menemukan relevansinya untuk diapresiasi. Menurut Nabi, secara substansial doktrin teologis haji itu sangat menekankan pentingnya egalitarianisme, persamaan di antara umat manusia tanpa ada sekat-sekat primordial atau egoisme sektoral yang hanya menguntungkan sebagian kalangan umat manusia, termasuk perilaku korupsi yang merusak pranata sosial secara sistemik. Lebih jauh Nabi mengatakan bahwa doktrin teologis haji sangat menekankan pentingnya manusia memelihara kesucian jiwanya, menjaga harta dan kehormatan orang lain, serta melarang keras seseorang melakukan penindasan terhadap mereka yang lemah, baik secara politik maupun secara ekonomi dan seterusnya. Idealnya, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji mampu menjadi agen perubahan sosial kehidupan di tanah airnya masing-masing menuju terciptanya kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Kalau kita tarik dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia kini, penegasan Nabi tersebut bisa menjadi latar sosiologis untuk menganalisis berbagai persoalan kebangsaan seperti demokratisasi yang sangat menekankan aspek egalitarianisme atau masalah kian tidak terbendungnya jumlah pengangguran dan kemiskinan serta berbagai persoalan lainnya yang proses penyelesaiannya membutuhkan kesetiakawanan di antara sesama anak bangsa. Fenomena yang kini aktual adalah musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi hampir merata di negeri ini. Untuk menyelesaikan masalah yang terakhir ini pun dibutuhkan solidaritas sosial atau kesetiakawanan. Begitu pula halnya dengan masalah-masalah kebangsaan lainnya dan seterusnya. Haji adalah satu fenomena sosiologis yang sangat mungkin dapat memberi dorongan terbentuknya solidaritas, kesetiakawanan bagi umat manusia (baca: Muslim), bahu-membahu dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan di negeri ini.

Memang, doktrin teologis haji dalam Islam selalu menarik untuk dikaji korelasinya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang selalu bergerak dinamis, muncul dan berubah setiap saat sebagai tantangan bagi kehidupan umat manusia. Haji (mabrur) yang diterima oleh Allah menjanjikan peleburan dosa, sebagaimana Nabi menegaskan dalam sebuah hadits bahwa orang yang menunaikan ibadah haji karena Allah, sesuai dengan tuntunan Islam, mereka akan kembali sebagaimana dahulu dilahirkan dari rahim ibunya, bersih dari segala dosa. Pada hadits yang lain Nabi mengatakan, ongkos berhaji itu ekvivalen dengan ongkos jihad di jalan Tuhan. Mereka memperoleh tujuh ratus kali lipat pada setiap satu dirham yang dikeluarkan.

Persoalannya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa haji kita itu diterima oleh Allah sementara masalah pahala merupakan rahasia Allah itu sendiri? Hingga kini belum ada literatur yang mampu memberi jawaban/penjelasan pasti atas pertanyaan ini. Argumentasi yang berkembang lebih merupakan analisis fenomenologis yang mencoba melihat eksistensi sesuatu akibat gejala eksistensi sesuatu pula. Dalam konteks ibadah haji, diterima atau tidaknya haji seseorang itu bisa dilihat dari perilaku sosialnya. Apakah seseorang yang telah menunaikan ibadah haji itu lebih banyak lagi beramal saleh atau tidak. Apakah mereka memiliki kepekaan sosial untuk turut merasakan dan membantu orang-orang yang tengah dilanda musibah banjir dan tanah longsor yang kini menimpa saudara-saudara kita di Aceh, Sumatra, Bandung, sebagian daerah di Jawa Timur, di Jawa Tengah dan yang lainnya. Apakah mereka memiliki kepedulian untuk turut mengatasi kian melebarnya sayap-sayap kemiskinan, pengangguran, masa depan pendidikan anak-anak telantar, yatim-piatu termasuk korban tsunami di Aceh dan Nias atau korban gempa di Yogyakarta dan seterusnya.

Dalam konteks inilah, orang-orang yang melaksanakan ibadah haji itu mesti mampu menerjemahkan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Haji bukan semata ritual yang bersifat cultus privatus, ibadah semata memenuhi rukun Islam yang kelima tetapi haji juga merupakan ritual yang bersifat cultus publicus. Artinya, dengan demikian, seseorang (yang telah menunaikan ibadah haji itu) tidak boleh menutup mata dengan persoalan-persoalan kemanusiaan sebagaimana telah penulis sebutkan di atas.

Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Tuhan, tetapi pada saat yang sama mengabaikan masalah-masalah kemanusiaan, maka sesungguhnya ia tidak beriman apa-apa. Nilai plus ibadah haji itu terletak pada sejauh mana mereka mampu melakukan apresiasi terhadap simbol-simbol ritual di dalamnya, kemudian diejawantahkan sebagai amal saleh. Hemat saya, kerja-kerja sosial kemanusiaan inilah substansi doktrin teologis Islam sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Untuk itu, ibadah termasuk haji, hanya akan sia-sia manakala tidak dibarengi dengan amal saleh.

Untuk itu, jika ibadah haji adalah penting, maka masalah kemanusiaan mesti ditempatkan dalam konteks yang juga penting. Islam sangat tidak menoleransi seorang Muslim membiarkan seorang Muslim lainnya hidup dalam penderitaan seperti kemiskinan, kelaparan, dan seterusnya. Perlu penulis tegaskan bahwa, dalam Islam, orang-orang yang membiarkan kemiskinan dan kelaparan itu adalah mereka yang mendustai agama Tuhan. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, ''Tahukah kamu siapakah orang yang mendustakan agama itu? Mereka itulah orang-orang yang menghardik anak yatim. Mereka tidak memberi perhatian/makanan kepada orang-orang yang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalatnya.'' (QS Almaun: 1-5).

Firman Tuhan ini memperkuat argumentasi bahwa doktrin teologis haji memiliki muatan yang sama dengan doktrin teologis kemanusiaan universal. Penegasan Tuhan bahwa seorang Muslim yang tidak memberi makan terhadap orang-orang miskin dan menghardik anak yatim sebagai orang yang mendustakan agama adalah satu aksioma teologis bahwasanya Islam sangat menekankan amal saleh sebagai muara dari berbagai bentuk ritualitas.

Layak kita bertanya, apakah hati mereka (orang-orang yang menunaikan ibadah haji itu) bergetar melihat saudara-saudaranya sebangsa bergelimang dalam kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk yang mengancam sebagian masyarakat di negeri ini. Yang pasti, seluruh ibadah dalam Islam, termasuk haji, haruslah dibarengi dengan amal saleh. Karena, tujuan diturunkannya syariat Islam secara fundamental adalah untuk membangun kesejahteraan hidup umat manusia secara universal (rahmatan lil alamin).

Ikhtisar
-Doktrin teologis haji terkait dengan masalah-masalah kehidupan umat manusia
-Sebagai fenomena sosiologis, haji menekankan egalitarianisme yang mampu mendorong solidaritas dan kesetiakawanan
-Diterima atau tidaknya haji seseorang bisa dilihat dari perilaku sosialnya
-Ibadah haji akan sia-sia jika tidak diiringi amal saleh.

( )

Sumber
: Republika

Friday, December 29, 2006

Menyoal 'Pembaruan Islam'

Hamid Fahmy Zarkasyi
Doktor Pemikiran Islam, ISTAC, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization

Tantangan ekternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni konsep-konsep Barat dalam berbagai bidang ilmu termasuk dalam pemikiran keagamaan Islam. Kini tidak sedikit konsep, metode, dan pendekatan yang digunakan cendekiawan Muslim dalam studi Islam berasal dari atau dipengaruhi Barat.

Barat dapat diidentifikasi menjadi dua periode dan paham penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis (baca: Agama), dan sebagainya. John Lock, filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, persamaan, adalah inti modernisme. Tapi yang menonjol adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrem.

Sedangkan postmodernisme, adalah gerakan yang mengritik modernisme yang elitis menjadi populis. Hasilnya adalah paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, persamaan, pluralisme, dan umumnya anti-worldview. Meski begitu, postmodernisme masih dianggap kelanjutan modernisme. Keduanya membawa konsep-konsep penting dengan kendaraan globalisasi.

Pengaruh modernisme
Pengaruh Barat dalam pemikiran Islam dapat dilihat dari model pembaruan pemikiran keagamaan Islam atau tajdid. Pembaruan sering diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara etimologis maupun konseptual. Malangnya, perbedaan ini tidak dicermati, dan konsep-konsep di dalamnya buru-buru diadopsi tanpa proses epistemologi yang jelas.

Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori (alm) Nurcholish Madjid dan kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia adalah contoh yang paling jelas. Pembaruan dimaksud ternyata secara eksplisit mengusung, memodifikasi, atau menjustifikasi konsep modernisme, sekularisme, dan rasionalisme.

Tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan. Maka dari itu modernitas membawa pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam.

Nurcholish mencoba membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Batasnya adalah kepercayaan terhadap Hari Kemudian dan prinsip ketuhanan. Namun, pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dikotomis. Ini tidak beda dari prinsip orang-orang sekuler di Barat. Mereka percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, tapi tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka. Agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh masuk ruang publik. Padahal, dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akhirat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).

Fazlur Rahman, pembimbing tesis Nurcholish di Chicago, mengakui bahwa Muslim modernis terpengaruh oleh Barat ketika menekankan penggunaan akal dalam memahami masalah agama, demokrasi, dan wanita. Prof Dr HM Rasjidi (lulusan Universitas Sorbone, Paris) yang banyak tahu konsep-konsep Barat, bahkan mengritik konsep pembaruan Nurcholish yang saat itu ia baru lulus S1. Sayangnya, kritik itu tidak direspons dan tidak menelurkan suasana dialogis yang produktif. Komunitas intelektual kita belum memiliki tradisi kritik.

Contoh lain dari pengaruh modernisme adalah gagasan pembaharuan Dr Harun Nasution. Tidak beda dari Nurcholish ia mengusung konsep rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Namun, berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Kanada dengan thesis berjudul 'Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh'. Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Kanada dijadikan buku teks terutama di lingkungan IAIN.

Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologi Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash'ariyyah. Asumsinya bahwa teologi yang dipakai umat Islam di masa kejayaannya, di zaman kekhalifahan Abbasiyah, adalah teologi rasional Mu'tazilah. Ia juga mengatakan bahwa selama umat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash'ariyyah, maka hampir mustahil dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash'ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah.

Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan. Belum sampai pada pengungkapan teori tentang bagaimana hubungan akal dan wahyu, misalnya. Gagasan rasionalisasinya bahkan tidak sempat menghasilkan epistemologi baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ke tingkat peradaban yang tinggi justru tidak terbukti dalam sejarah. Di masa kekuasaan Al-Mutawakkil, yang bukan Mu'tazilah itu, ilmu pengetahuan ternyata justru berkembang pesat.

Pengaruh postmodernisme
Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadopsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Liberalisasi membawa paham pluralisme agama, relativisme, feminisme-gender, demoktratisasi dan yang lain, dan tetap akur dengan sekularisme juga rasionalisme. Liberalisasi adalah kepanjangan tangan dari proyek westernisasi. Oleh karena itu tidak heran jika tren pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial.

Tren pemikiran yang memisahkan agama dan pemikiran keagamaan adalah pengaruh relativisme postmo. Agama adalah absolut dan pemikiran keagamaan adalah relatif. Oleh karena itu tidak ada yang absolut dalam pemikiran kegamaan. Bahkan tidak ada yang tahu kebenaran kecuali Tuhan. Tren pemikiran yang mencoba menyamakan kebenaran semua agama berasal dari paham pluralisme agama, gerakan rekonstruksi fikih wanita dengan mengedepankan ide kesetaraan gender adalah pengaruh paham feminisme.

Akbar S Ahmed mengamati bahwa pemikiran postmodern yang liberal ini dihidupkan oleh semangat pluralisme, diperkuat oleh media, mendukung demokrasi, diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Gerakannya berpusat di kota metropolitan, tumbuh subur dengan wacana-wacana tapi bersikap eklektis, dan terakhir terkait dengan masa lalu tapi dalam bentuk protes.

Selain itu, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat sporadis. Artinya tidak didukung oleh komunitas yang khusus bertekun dalam mengkaji, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran Islam. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaruan itu ternyata lebih cenderung menjustifikasi konsep-konsep Barat modern dan postmodern.

Akibatnya, pembaharuan seperti itu tidak membawa pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Sebab paham, ide, nilai, dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akhirnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, bahkan terminologi Barat.

Untuk itu apa yang diperlukan dalam pembaharuan pemikiran Islam, pertama-tama adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam. Ini dimaksud agar umat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam sendiri yang baru dalam berbagai bidang. Selain itu mengkaji pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat, pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, dan konsep-konsep penting lainnya. Ini agar Muslim tidak terjerumus pada kerja-kerja justifikasi konsep Barat.

Ikhtisar

- Westernisasi menjadi problem serius dan memberi banyak pengaruh negatif bagi pengembangan pemikiran Islam.
- Unsur Barat memberi warna yang sangat kental bagi lahirnya konsep-konsep yang selama ini disebut sebagai 'pembaruan Islam'.
- Pengaruh tersebut membuat fenomena yang disebut 'pembaruan Islam' itu melahirnya banyak kerancuan.
- Perlu penggalian yang mendalam terhadap khazanah ilmu pengetahuan Isalm dalam pembaruan pemikiran Islam.

( )


Sumber: Republika

Thursday, December 28, 2006

ABS, sebuah catatan akhir tahun

oleh : Hilda Sabri Sulistyowartawati

Masih ingat singkatan ABS? Tentu saja kita ingat karena akronim dari asal bapak senang itu begitu populer di zaman Orde Baru.

Jika seseorang pandai mencari muka pada atasan dan hanya mengikuti apa kata bos, itulah ABS.

Di sektor pariwisata, singkatan ABS ini saya anggap paling tepat untuk menggambarkan cara kerja penyelenggara negara dan kalangan industrinya. Soalnya meski memiliki berbagai instrumen namun pariwisata Indonesia tetap terseok-seok. Bahkan untuk sekedar memulihkan citra aman di mata dunia pun begitu sulit.

Coba lihat negara lain yang kekayaan alam, seni dan budayanya tak seberapa. Mereka sudah melesat jauh dan banyak menuai devisa.

Pada 2005 Badan Pariwisata Dunia (UNWTO) mencatat ada 808 juta wisatawan dengan devisa mencapai US$800 triliun yang dihasilkan industri jasa terbesar di dunia ini.

Pariwisata kini menjadi motor penggerak sosial-ekonomi banyak negara di dunia. Penghasilan dari sektor ini termasuk tiket penerbangan, hotel, restoran dan kegiatan wisatawan domestik.

Meskipun didera inflasi industri wisata dunia tetap tumbuh 11,2% tahun lalu. Padahal selama lebih dari setengah abad sejak 1950 pertumbuhannya hanya 6,5%.

Coba tengok kinerja pariwisata tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang masing-masing sudah mencapai angka kunjungan belasan juta wisman. Malaysia 2006 ini targetnya 17 juta wisman. Hingga Agustus lalu negara serumpun itu sudah mencatat 11,5 juta wisman, naik 5,9% dari periode yang sama 2005.

Membandingkannya dengan Indonesia jauh panggang dari api. Pariwisata Indonesia tahun ini kembali turun. Jangankan mendapat pertumbuhan dua digit, sampai akhir Desember 2006 ini proyeksinya malah turun menjadi 4, 8 juta. Padahal tahun lalu lima juta wisman.

Memang sepanjang tahun ini Indonesia dirundung malang dengan adanya gempa di Yogyakarta dan Pangandaran, kasus flu burung, masalah asap, lumpur di Sidoarjo dan diakhir tahun ditutup dengan banjir bandang di Aceh Timur, NAD. Akibat musibah ini sedikitnya 500 orang tewas dan ribuan warga jadi pengungsi.

Belum termasuk banjir lainnya di Sumbar, Sumut serta Riau yang datang hampir bersamaan menjelang Natal. Masih banyak lagi yang mengganggu citra Indonesia di luar negri sebagai salah satu negara yang aman dan nyaman untuk menjadi tujuan wisata.

Kabinet Indonesia Bersatu sebenarnya sudah menghasilkan satu Inpres No: 16/2005 hasil pertemuan Presiden SBY dengan 17 menteri di Istana Tampak Siring, Bali, Febuari 2005 untuk mensinergikan kordinasi guna mengembangkan sektor pariwisata nasional.

Bersenjata Inpres itu kalangan industri pariwisata berharap segera ditindaklanjuti dengan Tourism Summit untuk memudahkan pemerintah dalam mengelola pariwisata dengan satu komando di tengah minimnya dana promosi. Tapi hingga penutup 2006, Tourism Summit belum terwujud.

Apa mau dikata kalau senjata ampuh tersebut di tangan Menbudpar belum diberdayakan dengan optimal. Padahal ibarat seorang dirijen pagelaran musik, bukan irama dan suara pemerintah saja yang harus disinergikan tapi justru peran swasta dan masyarakat yang mampu menggerakkan roda perekonomian.

Tak heran ketika peringatan dua tahun masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu, Oktober, industri pariwisata mengharapkan ada wajah baru di sektor ini. Tapi aroma ABS pula yang membuat kepala negara ditengarai menolak untuk melakukan reshuffle sejumlah menterinya.

Sikap hati-hati Presiden untuk tidak mengganti menteri-menterinya yang kurang berprestasi dari berbagai partai politik memang bisa dimengerti ke mana arah dan tujuannya agar tetap eksis dan dapat merealisasikan visinya hingga 2009. Lembaga baru pun dibentuk meski menuai protes.

Entah tidak tahan kritik atau memang tidak mau mendengar, sejak Oktober lalu kalangan pers terus dinasehati untuk tidak menulis berita miring. "Jangan mudah terkena hasutan karena kepentingan negara di atas segalanya."

Mungkin itu pula yang mendorong Depbudpar mengemas kegiatan outbound pada 8-9 Desember 2006 untuk kalangan pers. Dalam segala kesempatan pesan sponsor untuk tidak memelintir berita terus didengungkan oleh Menbudpar dan jajarannya.

Salah dalam menafsirkan fungsi pers ini akhirnya akan menenggelamkan peranan pers dalam pengembangan pariwisata nasional. Menjadikan pers sebagai alat untuk membudayakan ABS di lingkungan itu adalah kesalahan fatal yang harus cepat disadari dan diperbaiki.

Kemitraan 3 in 1 antara pemerintah, swasta dan masyarakat bukanlah sekedar slogan. Tapi bila diterapkan akan menjadi suatu kekuatan yang besar bagi pengembangan pariwisata nasional. Sayang sekali momentum untuk melakukan evaluasi akhir tahun dengan pers justru diabaikan.

Depbudpar seharusnya bisa menjadi payung dan menggerakkan agar kalangan media mau memberikan ulasan yang menunjukkan optimisme. Pelaku pariwisata seharusnya jadi penggerak dan solid antara satu dan lainnya.

Apa mau dikata kalau kelemahan dari pengembangan pariwisata nasional ini justru juga datang dari para pelakunya. Pers tidak pernah tidur dan bisa mengendus ada aroma ABS juga di dalam tubuh asosiasi sehingga mereka hanya terfokus masalah intern.

Bagaimana tidak menuai protes anggota kalau para ketua asosiasi pariwisata yang ada tidak bisa membedakan kepentingan organisasi dengan kepentingan bisnisnya? Padahal Depbudpar sudah merasa cukup mendengarkan dan bersinergi dengan asosiasi yang ada.

Bukan itu saja, hubungan antara asosiasi pariwisata dan industri penunjangnya juga tidak sehat. Malah saling melancarkan ancaman saling boikot.

Salah satu pemilik perusahaan penerbangan swasta dengan arogan dan secara terbuka mengabaikan peran travel agent. Dia tidak ambil pusing kalau tiket penerbangannya tidak dijual melalui agen.

Sinergi yang kuat harusnya menjadi landasan di kalangan industri pariwisata. Tidak boleh ada yang merasa lebih penting dari pada yang lain karena semua harus saling menunjang.

Simaklah hasil analisa kartu Visa Internasional di Indonesia yang dikeluarkan November. Pada 2005 wisman pemegang kartu ini yang datang ke Indonesia membelanjakan Rp 5,6 triliun. Separuh dari mereka datang dari kawasan Asia-Pasifik yang mengeluarkan 34% untuk akomodasi, ritel 16%, restoran dan F&B 6%, sport dan leisure 6% dan transportasi 6%.

Bayangkan kalau asosiasi pariwisata yang ada tidak solid untuk memberikan kontribusinya guna meningkatkan pelayanan jasa pariwisata yang ada. Ke depan, penurunan kunjungan wisman mungkin tidak bisa direm lagi.

Deretan panjang ketidakharmonisan di antara para pelaku usaha itu tetap ada, sementara kalangan industri tidak efektif pula kalau harus berhubungan dengan banyak menteri untuk menyelesaikan berbagai persoalan dari soal kebijakan hingga persaingan usaha.

Solusi untuk mendudukan kalangan pemerintah, profesional, politisi bahkan pers nasional secara bersama sebenarnya sudah tertuang di Inpres 16/2005. Tinggal ada kemauan untuk memfungsikannya atau Inpres itu tetap disimpan di laci ?

Hilda Sabri Sulistyo, Wartawan Bisnis Indonesia

Wednesday, December 27, 2006

Memaknai Natal dan Idul Adha

Oleh Mohamad Nabil

Dilihat dari hitungan hari, Hari Raya Natal dan Idul Adha jatuh pada waktu yang relatif berdekatan: kurang lebih enam hari. Sebagai sebuah peristiwa bersejarah, kedekatan Hari Raya Natal dan Idul Adha menyuguhkan sesuatu yang patut untuk direnungkan.

Paling tidak renungan yang relevan untuk dikemukakan dari kedua peristiwa bersejarah tersebut adalah pesan parennial yang dibawanya, yaitu sama-sama mengusung misi suci perdamaian.

Dalam konteks itu, perlu ditegaskan kembali pesan-pesan damai yang diusung oleh keduanya sehingga bisa mendorong terjalinnya hubungan yang lebih erat antarpara pemeluk agama (khususnya Kristen dan Islam) dalam rangka mewujudkan koeksistensi damai.

Sebab masih segar dalam ingatan kita, bahwa beberapa aksi kekerasan dan tindakan teror yang terjadi dalam satu dekade terakhir ini seringkali memanfaatkan hari-hari besar seperti Hari Raya Natal dan Idul Adha

Di samping itu, sudah diketahui bersama bahwa sejarah perkembangan negeri ini banyak diwarnai hubungan-hubungan konfliktual sehingga sangat rentan bagi terjadinya kekisruahan, kerusuhan, dan kekerasan.

Khususnya dalam lima tahun terakhir ini, konflik etnik dan agama meletus di banyak tempat, dan kerap melibatkan para penganut agama dalam batas yang sangat mengerikan.

Untuk itu, maka kita layak mempertanyakan: apakah peristiwa kedekatan Natal dan Idul Adha bisa membawa kedamaian antarsesama?

Dua Wajah Agama

Seorang teolog terkenal Protestan, Paul Tillich, mengemukakan bahwa agama itu punya wajah ganda. Ia menyebut agama sebagai Janus face (berwajah Janus).

Janus diambil dari nama dewa di zaman Yunani kuno yang kemudian menjadi akar kata dari bulan Januari.

Jadi dewa Janus digambarkan sebagai dewa yang bermuka dua: yang satu menghadap ke belakang, yang satu menghadap ke depan. Dia berada persis pada pergantian tahun, satu melihat tahun ke belakang, yang satu lagi melihat tahun ke depan.

Agama, menurut Tillich seperti itu: wajah yang pertama punya sisi Ilahi, suci (the holy) yang begitu luhur jauh ke depan; dan wajah yang satunya lagi adalah sisi iblis (demonic) yang begitu jahat dan kejam.

Wajah suci agama mencakup pesan-pesan parennial yang paling abadi seperti perdamaian, kasih sayang, toleransi, solidaritas, cita-cita persamaan dan keadilan. Sedangkan Wajah demonik agama termanifestasikan dalam pembentukan identitas diri, dalam arti, adanya identitas yang menggariskan batasan antara penganut satu agama dengan penganut agama lain.

Pemeluk agama lain dipersepsi sebagai orang asing, atau bahkan musuh sehingga tidak layak untuk diperlakukan setara. Penegasan identitas ini muncul karena para pemeluk agama lebih menonjolkan wajah agama yang demonik, seperti perang dan sejenisnya.

Paralel dengan hal tersebut, David Lochead (1988) mencatat bahwa wajah agama yang demonik ini ternyata sangat mengakar, bahkan menjadi bagian built in dalam pembentukan identitas keagamaan.

Di dalam setiap tradisi keagamaan, demikian Lochead, selalu terkandung benih-benih ideologi atau teologi yang bersifat "isolasionis" (masing-masing agama hidup dan berkembang dalam komunitasnya sendiri); "konfrontasionis" (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai); dan bahkan "kebencian" (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan).

Garis demarkasi antara ketiganya sangatlah tipis, bahkan kabur, apalagi ketika dikaitkan dengan logika kekuasaan yang inheren dalam setiap agama.

Kendati agama mengaku diri bahwa risalahnya ditujukan pada semua umat manusia, namun dibutuhkan waktu panjang dan perjuangan yang kadang berdarah-darah agar tradisi-tradisi keagamaan dapat menerima paham "kemanu- siaan universal" yang mampu melampaui batas-batas "kita dan me-reka."

Kesadaran bahwa semua manusia, apapun latar belakangnya, warna kulit, jenis kelamin, maupun keyakinan yang dipeluknya memiliki keluhuran martabat yang harus dilindungi, hanya lamat-lamat memasuki kesadaran keagamaan-bahkan masih diperdebatkan hingga kini. Dengan demikian, agama berpotensi memunculkan kekerasan dan perdamaian, fanatisme dan toleransi, konflik dan dialog, serta konfrontasi dan kooperasi.

Karena itu, Tillich mencoba keluar dari agama yang berwajah ganda itu dengan mengajukan kritik agama. Menurutnya, agama harus diwaspadai dan dicurigai terus- menerus, dan tidak boleh kebal kritik.

Agama tidak boleh dibiarkan begitu saja karena ia akan menampakkan wajah demoniknya. Cara lain untuk mengidentifikasi agama yang mempunyai dua wajah ini adalah seperti yang dikemukakan Abdul Karim Soroush (2000) dengan membedakan antara agama identitas (religion of identity) dan agama kebenaran (religion of truth).

Agama identitas merupakan kedok identitas kultural dan respons terhadap apa yang disebut dengan "krisis identitas." Sedangkan agama kebenaran merupakan tempat kebenaran yang mengarahkan umat manusia menuju kebaikan bersama.

Relevansi Natal dan Idul Adha

Berpijak dari persoalan di atas, Hari Raya Natal dan Idul Adha yang berdekatan ini mempunyai relevansi tersendiri. Setidaknya umat Kristiani (yang merayakan Natal) dan kaum Muslim (yang merayakan Idul Adha) bisa memaknai dua peristiwa besar ini secara lebih otentik.

Dengan memaknai dua peristiwa besar ini secara otentik, maka para pemeluk agama akan bisa meminimalisir sikap keberagamaan yang demonik, dan bahkan meniadakannya.

Karena, dua wajah agama seperti dijelaskan di atas tergantung kepada pemeluknya: apakah akan mengartikulasikan sikap keagamaan yang suci (the holy) atau mengartikulasikan kegamaannya yang jahat dan kejam (de-monic).

Perlu ditegaskan bahwa peran pemeluk agama sangat sentral dalam memaknai agama secara otentik.

Agama akan tampil dalam wajah yang suci (the holy) jika ia dimaknai secara otentik, di samping akan berperan positif apabila agama dalam wajah yang suci (the holy) mampu mendorong para pemeluknya mewarnai kultur dan zamannya serta generasi sesudahnya.

Sebaliknya, agama akan tampil dalam wajah yang demonik jika ia hanya dijadikan alat untuk melegitimasi kepentingan atau kekuasaan politik yang bersifat sementara.

Jika begitu, agama cenderung mengalami distorsi pemaknaan dan dampaknya akan terus berlanjut. Agama yang mengalami distorsi ini akan lebih menampakkan wajah demonic yang menyulut kekerasan daripada wajah the holy yang menyerukan perdamaian dan kebaikan bersama.

Karena itu, Hari Raya Natal dan Idul Adha yang berdekatan ini semoga menjadi suatu simbol simbiosis dari pemaknaan dan penghayatan agama yang otentik (the holy), di mana Kristen tidak hanya menyerukan damai dan sejahtera bagi kalangan umat Kristiani, melainkan damai sejahtera bagi seluruh umat manusia di bumi ini.

Demikian juga dengan Islam tidak hanya diharapkan menjadi rahmat bagi kaum Muslim, tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam.

Penulis adalah Peneliti PSIK Universitas Paramadina dan Pengurus Nasional Majelis Sinergi Kalam, ICMI


Suara Pembaruan: 27/12/06

Tuesday, December 26, 2006

Natal, Naluri, dan Nurani: The global nexus

Oleh Christianto Wibisono

Kotbah Natal 24 Desember di National Presbyterian Church, DR Gareth Ionogle menyebut paradoks Natal antara kecemasan dan harapan. Herodes cemas karena berita lahirnya juru selamat.

Sedang para gembala di Bethlehem dan orang Majus bersyukur karena menemukan sang bayi Kristus di palungan sederhana. Kini Bethlehem juga sedang bergulat dengan rasa takut cemas perang saudara Fatah Hamas dan harapan perdamaian internal Palestina maupun antara Palestina dengan Israel.

Konflik terbuka faksi Fatah kontra Hamas yang menelan korban tewas di kedua pihak membuktikan bahwa kebencian, pembantaian, dan peperangan bisa terjadi antara sesama bangsa, sesama agama, sesama etnis, ras, dan tanah air.

Itulah yang disebut perang saudara yang menimpa hampir seluruh bangsa di dunia ini dari zaman Nabi Adam sampai Adam Smith dan terus hingga Adam Gadahn, anggota Al Qaeda asal AS.

Perang saudara selalu makan korban jauh lebih banyak dari perang dengan bangsa lain. Karena kadang-kadang, masyarakat kurang peduli dan membiarkan saja korban bertumpuk dan pembantaian berlarut. Doktrin kedaulatan nasional mencegah intervensi kekuatan asing dan sesama bangsa bunuh membunuh seperti di Rwanda, Bosnia, Kosovo, dan Darfur. Impotensi politik PBB merangsang aktor George Clooney menuntut Sekjen PBB, Mesir, dan China agar tidak membiarkan terus Sudan membunuhi rakyat Darfur.

Naluri kebinatangan manusia memang penuh kebencian, kedengkian yang selalu akan diselesaikan dengan hukum rimba, siapa yang kuat dia yang akan menang dan menentukan nasib si pecundang. Apakah akan dihabisi, atau dipenjara dan ditindas selaku pihak yang kalah yang harus menerima nasib diperlakukan sewenang- wenang oleh penakluknya.

Nurani manusia sebaliknya, kembali kepada kodrat kemanusiaan yang bisa menghargai jiwa manusia lain sebagai sesama ciptaan Tuhan dan layak memperoleh jaminan hidup yang tidak boleh sembarang dicabut. Bahkan perang pun mempunyai kode etiknya sendiri jauh sebelum Konvensi Geneva tentang perang dan tawanan perang.

Perang saudara di Palestina, perang Israel-Palestina, perang teror global sejak 911, semua mengatasnamakan kepentingan rakyat, masyarakat tertindas, golongan melarat miskin yang terjajah oleh kekuatan Zionis, kolonialis, kapitalis, imperialis dan fasistis. Itulah slogan yang paling gampang memperoleh gaung kuat dalam perang opini publik dunia.

Tidak Banyak Berubah

Kondisi Timur Tengah dan rakyat Dunia Ketiga lainnya tidak banyak berubah sejak zaman Herodes sampai Hezbollah sekarang ini. Harta karun minyak yang berlimpah tidak pernah mengentaskan negara-negara Arab.

Dalam diskusi 20 Desember lalu tentang Timur Tengah di Potomac Institute of Policy Studies, Jonathan Davidson, utusan dari Uni Eropa menggelar perubahan peta geopolitik Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah dari zaman ke zaman.

Kekuatan-kekuatan lama yang punya potensi berimbang dengan Romawi dan Yunani adalah Hannibal dari Carthago, sekarang Tunisia, Mesir, Asyiria, Babilonia, dan Persia kemudian Ottoman Turki.

Dari Timur muncul kekuatan Mongol yang akan mendirikan imperium terbesar dalam sejarah manusia dari Eropa sampai Tiongkok. Kekuatan Mongol di abad ke-13 secara tidak langsung menyelamatkan Eropa dari pendudukan tentara Islam Timur Tengah.

Terorisme yang sekarang melanda dunia sudah melampaui alibi ekonomi, dan masuk ke psikologi politik. Dalam artikel di jurnal Democracy berjudul The Myth of Deprivation, Peter Bergen dan Michael Lind mengutip riset banyak pakar tentang latar belakang teroris sejak 911 sampai bom London 2005. Dari 79 teroris, 54 persen adalah mahasiswa atau setara dengan populasi mahasiswa AS yang hanya 52 persen.

Seperempat dari mereka belajar di universitas terkemuka di AS dan UE. Robert Leiken dari Nixon Center menyebut dari 373 teroris yang bergerak sejak bom truk WTC 1993 hingga 2004 41 persen adalah warga negara Barat. Baik melalui naturalisasi atau generasi kedua imigran Arab/Pakistan atau bule. Warga negara Prancis jumlahnya dua kali lipat Arab Saudi.

Claude Berebbi dari RAND Corp dan peneliti Palestina Khalil Shikaki menemukan 57 persen pengebom bunuh diri Palestina berpendidikan akademi dibanding 15 persen pendidikan lebih rendah.

Dari 1/3 penduduk Palestina yang tergolong melarat hanya 13 persen pengebom bunuh diri dibanding pengebom dari kelas menengah yang lebih kaya. Kesadaran dan tekad bunuh diri meningkat sejajar dengan tingkat pendidikan.

Michael Mann penulis buku Fascists menyebutkan bahwa Adolf Hitler berasal dari keluarga kelas menengah. Begitu pula Lenin, Mao Zedong, Pol Pot, Fidel Castro dan Abu Nidal serta Carlos the Jackal dari Venezuela. Mereka adalah kelas menengah yang berkecukupan dan mengecap pendidikan akademik serta berjuang untuk ide yang abstrak.

Karena itu kalaupun ada korban di kalangan massa itu merupakan risiko. Tentu saja orang semacam Yasser Arafat tidak akan membiarkan istri dan anaknya jadi korban. Karena itu keluarganya, di Kota Paris sementara yang jadi pengebom bunuh diri hanya tingkat anak buah dan kelompok fanatik yang terninabobokkan oleh mitos perjuangan anarkis.

Ketakutan Perang

Hari Natal 2006 menyaksikan Bethlehem harap-harap cemas akan perdamaian serta ketakutan akan perang saudara Fatah Hamas maupun Israel Palestina. Yesus sudah lahir 2000 tahun lalu, sudah disalib dan bangkit. Karena itu tidak perlu ada "Yesus baru", atau manusia dan "agama baru" yang merasa perlu harus membantai sesama manusia di Timur Tengah.

Hanya karena kedengkian agama ataupun kebencian politis seperti analisis Peter Bergen dengan menunggangi alibi kemelaratan.

Yesus yang miskin di palungan tidak mengajarkan terorisme terhadap Herodes atau Romawi. Tiga abad kemudian Romawi di bawah Constantine justru menerima kekristenan. Dalam perspektif historis, moral Kristen dinilai lebih superior ketimbang paganisme Romawi.

Moral keadilan, kebenaran, dan kejujuran, pengadilan, penghakiman, dan penghukuman yang imparsial, obyektif, dan nurani yang tidak pilih kasih, itulah esensi Bethlehem dan Calvari. Rahasia keunggulan bayi palungan Bethlehem ialah iman kepada Tuhan, kasih kepada sesama, dan harapan kehidupan yang lebih baik.

Sebaliknya naluri kebinatangan terorisme dengan dalih apapun, ekonomi, agama, historis, politis yang hanya mencerminkan kedengkian dan kebencian tidak akan direstui oleh Tuhan Yang Omnipoten.

Penulis adalah pengamat masalah internasional


Suara Pembaruan: 26/12/06

Friday, December 1, 2006

Hamka dan Pluralisme Agama

Adian Husaini
Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia

Pada Selasa, 21 November 2006, Syafii Maarif menulis kolom Resonansi di Republika yang berjudul 'Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah dan Ayat 69 Al Maidah'. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan tersebut.

Rabu paginya, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Hamka. Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama untuk menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu itu.

Dalam pandangan pluralisme agama 'versi transendentalisme' ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: 'Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima.'

Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama'. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham universalisme radikal.

Penyalahgunaan
Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha.

Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification, menyatakan: "Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen."

Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir Al Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk membebaskan mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.

Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat 'beriman kepada Allah' dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar.

Pendapat Hamka
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang lain, termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barang siapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.

Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 --sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif-- bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh."

Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW. Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi Muhammad SAW, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.

Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para pengusung paham pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap Hamka dalam masalah keimanan Islam.

Ikhtisar
- Ayat 62 Surat Al Baqarah dan ayat 69 Surat Al Maidah kerap digunakan untuk menjustifikasi paham pluralisme agama.
- Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di masyarakat Muslim, tapi juga di kalangan umat beragama lain.
- Tiap agama pun melawan paham tersebut.
- Sosok Hamka sangatlah jauh berbeda pandangannya dengan para pengusung paham pluralisme agama.

( )

Menyelami Penafsiran Buya Hamka

Syamsul Hidayat
Wakil Ketua Majelis Tabilgh PP Muhammadiyah

Sangat menarik Resonansi Republika (21/11) yang memuat tulisan Buya Syafii Maarif. Tulisan itu bermula dari jawaban atas pertanyaan melalui SMS yang beliau terima dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di daerah konflik Poso. Sangat patut dan layak diapresiasi sikap Sang Jendral tersebut, begitu pula Buya Syafii dalam merespons permintaan tersebut.

Dalam rangka apresiasi kepada beliau berdua dan takzim kepada Buya Hamka rahimahullah, tulisan ini ingin menggaris bawahi apa yang dikemukakan oleh Buya Syafii maupun Buya Hamka. Namun, ada kutipan Syafii dari tafsir Hamka yang membuat Resonansi itu menyisakan pertanyaan. Di situ terlihat seolah-olah ayat 62 Al Baqarah dan ayat 69 Al Maidah beserta tafsir Buya Hamka mengisyaratkan pengakuan Alquran atas paham pluralisme agama.

Empat golongan
Sebagaimana Syafii Maarif, tulisan ini mencoba mengutip apa adanya pernyataan Buya Hamka yang dimuat dalam Tafsir Al Azhar, juz I halaman 203 menurut versi yang penulis miliki: cetakan September 1987 terbitan Pustaka Panjimas Jakarta. Perbedaan posisi halaman dengan kutipan Buya Syafii, menurut hemat penulis lebih disebabkan oleh perbedaan edisi cetaknya.

Berikut kutipannya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman" (pangkal ayat 62). Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman di sini adalah orang yang memeluk agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad SAW dan tetaplah menjadi pengikutnya hingga Hari Kiamat. "Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabiin", yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada Tuhan, tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian, "barang siapa yang beriman kepada Allah". Yaitu mengaku adanya Allah Yang Maha Esa dengan sebenar-benar pengakuan, mengkuti suruhanNya dan menghentikan larangannya, "dan Hari Kemudian dan beramal shaleh", yaitu hari akhirat, kepercayaan yang telah tertanam kepada Tuhan dan Hari Kemudian, mereka buktikan pula dengan mempertinggi mutu diri mereka. "Maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka". Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. "Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita" (ujung ayat 62)

Demikianlah bunyi utuh dari tafsir ijmali (tafsir garis besar) yang ditulis Hamka atas ayat tersebut. Syafii Maarif, mengambil kesimpulan dari tafsir ijmali tersebut. Mungkin karena terbatasnya ruang Resonansi, aspek-aspek rinci yang dikemukakan oleh Buya Hamka dalam kutipan Syafii kurang mendapatkan porsi, padahal sangat penting.

Dalam tafsir yang lebih rinci yang tercantum halaman 203-210, Hamka menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat nama dari empat golongan, yaitu: (1) golongan orang beriman, (2) orang-orang yang jadi Yahudi, (3) orang Nasrani dan (4) orang-orang Shabiin. Golongan pertama adalah orang-orang yang telah terlebih dahulu menyatakan percaya kepada segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kelompok kedua adalah orang-orang yang jadi Yahudi, yakni yang memeluk agama Yahudi.

Demikian juga kelompok ketiga, sering dihubungkan dengan tempat kelahiran Isa Al Masih, yaitu kampung Nazaret atau disebut juga Nasiroh. Dan kelompok keempat yaitu Shabiin, yakni orang yang berpindah-pindah dari agama asalnya. Dalam ayat tersebut, kata Hamka, keempat golongan tersebut dikumpulkan menjadi satu, bahwa mereka semua akan mendapatkan ganjaran dari Allah, terbebas dari rasa ketakutan dan duka cita, apabila benar-benar mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal saleh.

Menurut Buya Hamka, ayat ini dakwah kepada penegakan nilai-nilai agama sebagai hakikat beragama. Beragama bukan sekadar klaim kebenaran melalui mulut dan tidak dibuktikan dengan keyakinan yang kokoh dan perbuatan amal saleh.

Selanjutnya ayat ini menerangkan tentang keimanan kepada Allah dan Hari Akhir. Iman kepada Allah, meniscayakan keimanan kepada wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya, tidak membeda-bedakan di antara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang telah diturunkan Allah.

Dakwah dan toleransi
Buya Syafii dalam kajian tersebut menghubungkan dengan ayat 69 Surat Al Maidah, yang memiliki redaksi mirip. Lengkapnya dalam terjemahan Buya Hamka berbunyi: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan (begitu juga) orang Shabi'un dan Nasara, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun mengamalkan yang saleh. Maka tidaklah ada ketakutan dan tidaklah mereka akan berduka cita". (Tafsir Al Azhar, Juz VI: hlm 312). Namun, karena keterbatasan tempat pula, agaknya, Buya Syafii belum memuat bagaimana Buya Hamka menafsirkan ayat ini, dan implikasinya dalam konteks dakwah dan toleransi beragama.

Sangat menarik, Buya Hamka menafsirkan ayat ini dengan menggunakan pendekatan munasabah al ayat, yakni menghubungkan ayat yang dikaji dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Pada ayat-ayat sebelumnya (67-68 Al Maidah), Allah menegaskan kembali perintah kepada Rasul untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Di antara dakwah yang wajib dikerjakan oleh Rasulullah, begitu juga para pengikutnya, adalah ajakan kepada Ahlul Kitab (Yahudi-Nasrani) untuk kembali menegakkan ajaran agama Allah yang benar. (Juz VI, hlm 313).

Setelah itu Hamka menjelaskan bahwa Al-Maidah ayat 69 mengajarkan prinsip toleransi yang sangat agung dalam Islam. Artinya memeluk agama adalah merupakan hak asasi. Mengakhiri tafsir atas Al Ma'idah ayat 69, Buya Hamka mengatakan, "Inilah salah satu ayat yang mengandung toleransi besar dalam Islam. Terdapatlah di sini, bahwa Islam membuka dada yang lapang bagi sekalian orang yang ingin mendekati Tuhan dengan penuh iman dan amal saleh. Bahkan orang-orang yang telah mengaku beriman sendiri, orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimah Syahadat dan iman pun harus turut membuktikan imannya dengan amal saleh."

( )

Sumber: Republika