Sunday, July 15, 2007

Salafy dan Salafy Saling Menohok dan Menghujat!

dipublish ulang dari abusalafy

Ditulis oleh abusalafy di/pada 15th Juli 2007

Salafy dan Salafy Saling Menohok dan Menghujat!

Sepertinya perseteruan dan perpecahan antar salafy semakin memanas saja, dan ini baru namanya adil masak hanya umat Islam diluar kelompoknya saja yang jadi sasaran pensesatan dan pengkafiran mereka, iya kan? kali ini mereka bagi-bagi jatah “pensesatan” dan “pengkafiran” atau tuduhan “khawarij” antar sesama mereka.

Mari kita lihat Perseteruan antara kelompok Jakfar Umar Thalib dan kelompok Fauzan Al-Anshari (MMI) yang nota bene sama-sama salafy dan wahabinya, mereka saling hujat dan saling klaim mana yang paling salaf dan yang benar.

Anehnya kelompok Jakfar yang menghujat atau meyalahkan kelompok Fauzan, Jakfar-pun difatwa sesat oleh kelompok salafy yang lain (Baca fatwa tentang Jakfar Umar Thalib yang dimuat “salafy.or.id” disini “Ja’far Umar Thalib telah meninggalkan kita…”).

Jadi mana yang paling Salafy nih? Walhasil kita ikuti saja hujat-menghujat diantara mereka! Dibawah ini akan kami muat bantahan Fauzan Al-Anshari terhadap Jakfar Umar Thalib. Sementara tulisan Jakfar Umar Thalib yang menohok Fauzan dan MMI kami muat juga dibawahnya.

________________________

Siapa Salafi?

Kolom bertitel “Salafi Mesti Berani” tulisan Ja’far Umar Thalib (JUT), yang dimuat majalah Gatra edisi 20 Juni lalu, menarik dicermati. Poinnya, JUT merasa jengah ketika laskar Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melabrak tempat pengajian kelompok salafi di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pengajian yang mestinya membawa kesejukan itu berubah mencaci maki MMI dan mengkhawarijkan amirnya, Ustad Abu Bakar Ba’asyir.

Kelompok salafi di Grogol itu memprotes berita yang dimuat majalah Risalah Mujahidin (RM) edisi 7 (April 2007) halaman 42, berjudul “Mengenal Agen Mossad dalam Gerakan Islam”. Berita itu dianggap melecehkan kelompok salafi. Itulah klaim Ayip Syaifuddin, pengajar Pesantren Daarus Salafi dan Abu Karimah Asykary yang bertindak sebagai penceramah acara “Membongkar Kedustaan Risalah Mujahidin”.

Sebenarnya ada dua hal yang secara substansi perlu mendapat tanggapan. Pertama, dalam memahami makna salafi. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wajib atasmu mengikuti sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin al-mahdiyin….” Imam Muslim dan Bukhari juga meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, “Sebaik-baiknya zaman bagi kalian adalah zamanku ini, kemudian selanjutnya zaman yang mengikuti mereka, kemudian selanjutnya lagi zaman yang mengikuti mereka.” Salafiyah terkait dengan kualitas ahl salaf atau salafush-shalih (generasi terdahulu yang salih) melekat dengan kehidupan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in.

Jadi, salafush-shalih adalah para sahabat RA dan siapa saja yang mengikuti cara dan jalan mereka di antara para tabi’in yang mengikuti mereka pada tiga abad masa Islam yang pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka. Namun tidak ada satu pun nash yang membolehkan kita memutlakkan diri sendiri sebagai yang paling salafi, karena sifat-sifat kita belum teruji. Misalnya dengan membuat Yayasan Ihya as-Sunnah, Ihya at-Turats, Ihya as-Salafi, dan Daarus-Salafi belum tentu salafi. Adalah Abdullah bin Mas’ud pernah berujar, “Jamaah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, walau engkau seorang diri.”

Kedua, definisi khawarij. Dalam sejarahnya, kaum khawarij adalah mereka yang tidak terima dengan keputusan Khalifah Ali RA berdamai (tahkim) dengan Muawiyah. Kemudian khawarij membunuh Ali RA. Sekarang istilah khawarij itu oleh JUT ditujukan kepada siapa pun yang dianggap tidak loyal kepada pemerintah yang sah. Dalam konteks Indonesia, siapa pun yang tidak patuh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) masuk dalam kategori khawarij. Alasannya, karena SBY-JK adalah ulil amri, pemerintah Islam. Walau tidak menerapkan hukum Islam, mereka masih salat, maka harus ditaati.

Lalu, bagaimana dengan ulah JUT sendiri yang pada tahun 2000 meminta izin pada Presiden Abdurrahman Wahid untuk berjihad ke Ambon dan tidak diperbolehkan, tetapi JUT dan Laskar Jihad-nya nekat berangkat ke Ambon? Bukankah itu tindakan khawarij?

Kalau mengikuti logika tersebut, maka Ibnu Taimiyah adalah khawarij. Ini karena Ibnu Taimiyah menentang pemerintah penjajah Holako yang berhasil menguasai Irak pada masa khilafah Abbasiyah. Holako itu muslim, bahkan memberi kebebasan pada rakyat Irak untuk bersyariat Islam, tetapi justru diperangi oleh Imam Ibnu Taimiyah, sehingga beliau dipenjara di Damaskus sampai menjemput syahidnya.

Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab yang membangkang (bughat) dari kekhilafahan Turki Utsmani, lalu mendirikan Kerajaan Arab Saudi sekarang, bersama keluarga Ibnu Saud. Mengapa JUT dan kelompok salafinya tidak berani mengkhawarijkan kedua imam salafush-shalih tersebut? JUT hanya berani menempatkan Ustad Abu Bakar Ba’asyir sebagai khawarij, bahkan menyebutnya sebagai teroris bersama para tersangka teroris yang ditangkap Densus 88.

Jika logika JUT ini dilanjutkan, maka yang tergolong teroris daftarnya akan cukup panjang dan mengejutkan. Hal ini sudah dilakukan oleh Luqman Ba’abduh, mantan Wakil Panglima Laskar Jihad. Dalam pandangan Luqman, yang tergolong teroris adalah mereka yang dikenal umat Islam pada umumnya sebagai mujahid, seperti Syekh Ahmad Yasin, Rantisi, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, Khattab, Abdullah Azzam, Zarqawi, serta para syuhada lainnya.

Pertanyaan berikutnya, apakah Osama bin Laden, Ayman Zawahiri, Omar Abdurrahman, Al-Muhajeer, Kholid Misy’al adalah teroris? Apa pula argumen yang dibangun dalam memvonis mereka sebagai teroris?

Karena itu, apa yang ditulis JUT di Gatra dengan titel “Salafi Mesti Berani” itu betul. Jangan cuma berani bicara di majelisnya sendiri. Dialog terbuka untuk mengkaji definisi, metode, dan amaliah salafi perlu digelar. Mengklaim sebagai salafi, sementara metode dakwahnya jauh dari kesejukan, hanya akan membuat umat menjadi bingung.

Dengan adanya dialog itu, selain mengurangi fitnah antarkomunitas, umat akan mendapatkan pencerahan. Siapa salafi yang sebenarnya, umatlah yang akan menilainya.

Fauzan Al-Anshari
Mantan Pemred Risalah Mujahidin
[Kolom, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007]

SUMBER: Gatra Nomor 34, 5 Juli 2007

_______________________________________________

Dibawah ini Tulisan Jakfar Umar Thalib yang menohok Fauzan (MMI), juga dimuat majalah Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 14 Juni 2007

Salafi Mesti Berani

Gatra pekan lalu memuat berita yang berkaitan dengan komunitas salafi. Sebagai penganjur kepada pemahaman salafiyah, saya tersengat dengan pemberitaan tersebut. Menurut berita tersebut, yang “diserang” adalah mereka yang mengibarkan bendera salafiyah. Sedangkan “penyerang”-nya adalah komunitas yang menamakan diri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Komunitas MMI tidak terima ketika anak-anak muda salafiyah menggelar kajian untuk menjawab pemberitaan di majalah Risalah Mujahidin terbitan MMI. Pemberitaan di majalah tersebut berisi gosip yang riwayatnya bersumber dari seorang Yahudi sebagai rawi majhul (narasumber tak dikenal). Rawi majhul dari kalangan Yahudi tersebut sangat dipercaya beritanya oleh MMI, sehingga diberitakan dalam majalah mereka.

Dalam Risalah Mujahidin disebutkan, “Orang-orang salafi telah dapat diperalat oleh Yahudi.” Sementara itu, anak-anak muda salafiyah itu terbakar kecemburuannya dan merasa berhak menjawab gosip yang menggiring pada opini bahwa orang-orang salafi diperalat oleh Yahudi.

Komunitas MMI dengan enteng memberitakan bahwa orang-orang salafi telah diperalat oleh Yahudi, yang notabene adalah vonis sepihak tanpa pengadilan in absentia sekalipun. Namun, ketika berita itu dibantah dalam majelis yang khusus diadakan untuk menolak vonis tersebut, serta-merta komunitas ini beraksi (di depan liputan media) dan menuduh majelis anak-anak muda salafiyah yang mendiskreditkan majalah Risalah Mujahidin.

Atas kejadian itu, tampaknya syariat MMI mengajarkan: menuduh dan memvonis orang lain itu boleh-boleh saja asal dalam rangka perjuangan menegakkan syariat. Tapi, kalau ada orang lain yang membantahnya, itu berarti mendiskreditkan perjuangan Mujahidin Indonesia.

Sikap demikianlah yang menyeret mereka terus berbenturan dengan umat Islam yang ada di kalangan pemerintahan, bahkan dengan umat Islam lainnya yang dinilai akan menghalangi perjuangan mereka. Dan benturan itu akan lebih mudah tersulut bila mereka dibakar api hizbiyah (fanatisme kelompok berdasar hawa nafsu) yang menitahkan: pejuang penegakan syariat Islamiyah itu hanyalah Abu Bakar Ba’asyir dan pengikutnya. Maka, yang menentang orang ini dan pengikutnya berarti menentang perjuangan menegakkan syariat Islamiyah. Siapa yang menentang perjuangan ini harus dianggap musuh Islam, minimal dianggap sebagai kaki tangan musuh, atau sebagai orang yang diperalat oleh musuh Islam.

Bila kita memahami firman hizbiyah yang sangat bombastis tersebut, dengan mudah dipahami mengapa majalah dan sikap mereka sangat agitatif terhadap siapa pun yang berada di luar komunitasnya. Pertanyaannya, mengapa mereka hanya berkutat di sirkuit politik praktis? Isu yang selalu disuarakan dalam retorika politik mereka, “berjuang menegakkan syariat”, ternyata hampir sepenuhnya dilagakan di sirkuit ini.

Padahal, bukankah bersikap adil terhadap lawan dan kawan adalah inti penegakan syariat Islamiyah (lihat: Q.S. Al-Maidah: 8)? Bukankah berkata benar adalah inti akhlak yang menjadi landasan bagi penegakan syariat Islamiyah (lihat: Q.S. An-Nisa’: 58)? Bukankah mengikhlaskan segala pengamalan agama itu semata-mata untuk Allah Ta’ala, tanpa pretensi politik apa pun atau kepentingan dunia yang mana pun (Q.S. Al-Bayyinah: 5)? Mengapa kepentingan mendidik umat Islam untuk bersikap ikhlas bagi Allah Ta’ala sulit dimengerti dalam kiprah mereka yang selalu tabrak lari dalam berbagai kasus berdarah?

Mengapa kepentingan mendidik umat Islam untuk jujur dan berkata benar sulit dipahami dalam aksi tebar gosip yang selalu mereka kiprahkan? Mengapa kepentingan mendidik umat untuk bersikap adil terhadap lawan dan kawan amat sulit dipahami dalam tampilan mereka sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa?

Adapun anak-anak muda salafiyah mestinya berani di jalan Allah Ta’ala. Sebab Salafus Shaleh (yaitu Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam dan para sahabatnya), yang menjadi panutan kita, adalah imamnya para pemberani. Mereka adalah macan yang mengaum, bukan ayam yang mengaum. Jika ayam mencoba untuk mengaum, baru didatangi ayam-ayam yang lainnya sudah keder dan ganti berkotek. Ia tak bisa mengaum lagi. Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam dan para sahabatnya adalah contoh para pemberani di jalan Allah dan tidak takut cercaan si pencerca di mana pun dan kapan pun.

Semua orang selain Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam pantas untuk dikritik. Karena itu, janganlah takut mengkritik Ja’far Umar Thalib atau Abu Bakar Ba’asyir, ataupun diri-diri kalian sendiri, di mana dan kapan pun. Jangan takut mengkritik bila kritik itu diperlukan dalam mendidik umat agar bisa mengontrol semua perbuatannya dengan Al-Quran dan as-sunnah. Dan bila kritik itu dalam rangka mendidik keikhlasan ber-Islam untuk Allah semata. Karena itu, jadi salafi mesti berani.

Ja’far Umar Thalib
Pengasuh Pondok Pesantren Ihya’ as-Sunnah, Yogyakarta

[Kolom, Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 14 Juni 2007]

SUMBER: Gatra, No 31, 14 Juni 2007

______________________________________

Dibawah ini kami sertakan juga fatwa pensesatan terhadap Jakfar Umar Thalib yang dimuat di salafy.or.id

Kamis, 29 April 2004 - 04:47:50 :: kategori Fatwa-Fatwa

Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ،

Amma ba’d:
Adapun sekarang betapa jauh keadaannya dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red), jangankan majlis seperti yang engkau tidak mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu hadiri, majlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam majalah Sabili dan banyak lagi yang lain yang sejenisnya.

Duhai sayang sekali, dimana kekokohan manhajmu yang dulu kau miliki. Apakah gurumu yang sampai saat ini kamu suka menebeng di belakangnya yaitu syekh Muqbil, semoga Allah merahmatinya, akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini ??

Lebih dari itu tentunya Allah Ta’ala apakah akan ridha dengan perbuatanmu ini? Pantaslah kalau suatu saat Al-Ustadz Usamah Mahri menelepon Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, beliau bertanya tentang kebenaran kedatanganmu ke majelis Dzikirnya Arifin Ilham yang saat itu Asy-Syaikh Rabi’ menyangka majelis Maulud Nabi atau sejenisnya. Al-Ustadz Usamah pun menerangkan bahwa acara itu adalah majelis dzikir untuk memperingati kemerdekaan RI sekaligus peringatan HUT BNI yang diadakan majelis Adz Dzikra pimpinan Muhammad Arifin Ilham dgn sponsor bank ribawi BNI.

Al-Ustadz Usamah bertanya: “Apa pendapat anda (wahai Syaikh) tentang (perbuatan) saudara Ja’far ini? Kita sudah berusaha banyak menasehatinya.”
Asy-Syaikh Rabi’ pun menjawab dengan nada ta’jub: “Bagaimana kalian ini…? Kalian tidak punya pendapat tentang dia?”
Al-Ustadz Usamah menjawab: “Teman-teman mengatakan: Kita menunggu ucapan Asy-Syaikh Rabi’.”
Asy-Syaikh Rabi’ menjawab: “Di depan kita…dia mendatangi (peringatan) Maulud (maksudnya adalah acara HUT RI dan bank BNI dengan Majelis Dzikirnya Arifin Ilham). Ia berkumpul dengan para politikus dan bersama…. Jika ucapan kalian benar, jika ucapan kalian benar maka dialah yang meninggalkan kalian (Ahlus Sunnah/Salafiyyun), bukan kalian yang meninggalkan dia.”
Al-Ustadz Usamah berkata: “Kita punya kaset/CD tentang kedatangan Ja’far Umar Thalib di majelis tersebut. (yakni ada 3 CD, 2 CD acara tgl 17 Agustus 2003 dan 1 CD acara tgl 15 Agustus 2004, nampak jelas tertera acara tersebut disponsori oleh bank ribawi BNI, red)”
Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “Ya, berikan kepada kami kaset tersebut - barakallahu fiik - dan saya katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini (manhaj Ahlus Sunnah) dan kita memohon keselamatan kepada Allah serta berlindung kepada-Nya dari fitnah-fitnah.

“Yakni satu hal yang sangat jelas menurut syaikh, kebatilan apa yang ada padanya Ja’far dari perbuatan-perbuatan semacam itu ?”, ujar ustadz Qomar.

(Ditulis oleh ustadz Qomar ZA, Lc, saat menterjemahkan pertanyaan kepada Syaikh Yahya al Hajuri, dengan diedit dan ada tambahan oleh tim Salafy.or.id)

SUMBER: salafy.or.id

5 comments:

Topan said...

Assalamu'alaikum.Woi,tong gaduh wae.Ngakuna ahlu sunnah,tapi sibuk berantem.Mendingan bantu pemerintah menyelesaikan masalah kenaikan harga dll.Bwehhhh,males gw ta'lim lagi ama kalian.

Topan said...

Assalamu'alaikum.Woi,tong gaduh wae.Ngakuna ahlu sunnah,tapi sibuk berantem.Mendingan bantu pemerintah menyelesaikan masalah kenaikan harga dll.Bwehhhh,males gw ta'lim lagi ama kalian.

Anonymous said...

Assalaamu'alaikum Wr.Wb.Menurut saya yang memaparkan ini semua tak lain adalah sosok pelaku GHIBAH,sosok yang bisa 'bahagia' dan terpuaskan dengan perselisihan orang lain.Dan tolong! JANGAN MENILAI KEBENARAN HANYA DARI INDIVIDU,TAPI NILAILAH SEORANG INDIVIDU ITU DENGAN KEBENARAN! Disini saya anjurkan: PEMAPAR BERITA INI BERSEKOLAH DULU,okey...
Agar bisa tahu membedakan bahwa KEKHILAFAN INDIVIDU BUKAN BERARTI KESALAHAN ATAU KESESATAN PEMAHAMAN KELOMPOKNYA!!!!!!!!!!!!!

Anonymous said...

each time i used to read smaller articles or reviews that also clear their motive, and that is also happening with
this article which I am reading at this place.
Here is my web site - samson tobacco

Anonymous said...

Heya i am for the primary time here. I came across this board and I in finding It really helpful
& it helped me out a lot. I'm hoping to present one thing again and aid others such as you helped me.
Stop by my web site ; golden virginia