Sunday, December 31, 2006

Haji dan Masalah Kebangsaan

Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI

Menghubungkan doktrin ibadah haji dengan masalah-masalah kebangsaan dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia saat ini sangatlah menarik. Khotbah Nabi Muhammad pada saat haji wada' menyangkut soal doktrin teologis haji dan masalah-masalah kehidupan umat manusia lainnya menemukan relevansinya untuk diapresiasi. Menurut Nabi, secara substansial doktrin teologis haji itu sangat menekankan pentingnya egalitarianisme, persamaan di antara umat manusia tanpa ada sekat-sekat primordial atau egoisme sektoral yang hanya menguntungkan sebagian kalangan umat manusia, termasuk perilaku korupsi yang merusak pranata sosial secara sistemik. Lebih jauh Nabi mengatakan bahwa doktrin teologis haji sangat menekankan pentingnya manusia memelihara kesucian jiwanya, menjaga harta dan kehormatan orang lain, serta melarang keras seseorang melakukan penindasan terhadap mereka yang lemah, baik secara politik maupun secara ekonomi dan seterusnya. Idealnya, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji mampu menjadi agen perubahan sosial kehidupan di tanah airnya masing-masing menuju terciptanya kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Kalau kita tarik dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia kini, penegasan Nabi tersebut bisa menjadi latar sosiologis untuk menganalisis berbagai persoalan kebangsaan seperti demokratisasi yang sangat menekankan aspek egalitarianisme atau masalah kian tidak terbendungnya jumlah pengangguran dan kemiskinan serta berbagai persoalan lainnya yang proses penyelesaiannya membutuhkan kesetiakawanan di antara sesama anak bangsa. Fenomena yang kini aktual adalah musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi hampir merata di negeri ini. Untuk menyelesaikan masalah yang terakhir ini pun dibutuhkan solidaritas sosial atau kesetiakawanan. Begitu pula halnya dengan masalah-masalah kebangsaan lainnya dan seterusnya. Haji adalah satu fenomena sosiologis yang sangat mungkin dapat memberi dorongan terbentuknya solidaritas, kesetiakawanan bagi umat manusia (baca: Muslim), bahu-membahu dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan di negeri ini.

Memang, doktrin teologis haji dalam Islam selalu menarik untuk dikaji korelasinya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang selalu bergerak dinamis, muncul dan berubah setiap saat sebagai tantangan bagi kehidupan umat manusia. Haji (mabrur) yang diterima oleh Allah menjanjikan peleburan dosa, sebagaimana Nabi menegaskan dalam sebuah hadits bahwa orang yang menunaikan ibadah haji karena Allah, sesuai dengan tuntunan Islam, mereka akan kembali sebagaimana dahulu dilahirkan dari rahim ibunya, bersih dari segala dosa. Pada hadits yang lain Nabi mengatakan, ongkos berhaji itu ekvivalen dengan ongkos jihad di jalan Tuhan. Mereka memperoleh tujuh ratus kali lipat pada setiap satu dirham yang dikeluarkan.

Persoalannya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa haji kita itu diterima oleh Allah sementara masalah pahala merupakan rahasia Allah itu sendiri? Hingga kini belum ada literatur yang mampu memberi jawaban/penjelasan pasti atas pertanyaan ini. Argumentasi yang berkembang lebih merupakan analisis fenomenologis yang mencoba melihat eksistensi sesuatu akibat gejala eksistensi sesuatu pula. Dalam konteks ibadah haji, diterima atau tidaknya haji seseorang itu bisa dilihat dari perilaku sosialnya. Apakah seseorang yang telah menunaikan ibadah haji itu lebih banyak lagi beramal saleh atau tidak. Apakah mereka memiliki kepekaan sosial untuk turut merasakan dan membantu orang-orang yang tengah dilanda musibah banjir dan tanah longsor yang kini menimpa saudara-saudara kita di Aceh, Sumatra, Bandung, sebagian daerah di Jawa Timur, di Jawa Tengah dan yang lainnya. Apakah mereka memiliki kepedulian untuk turut mengatasi kian melebarnya sayap-sayap kemiskinan, pengangguran, masa depan pendidikan anak-anak telantar, yatim-piatu termasuk korban tsunami di Aceh dan Nias atau korban gempa di Yogyakarta dan seterusnya.

Dalam konteks inilah, orang-orang yang melaksanakan ibadah haji itu mesti mampu menerjemahkan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Haji bukan semata ritual yang bersifat cultus privatus, ibadah semata memenuhi rukun Islam yang kelima tetapi haji juga merupakan ritual yang bersifat cultus publicus. Artinya, dengan demikian, seseorang (yang telah menunaikan ibadah haji itu) tidak boleh menutup mata dengan persoalan-persoalan kemanusiaan sebagaimana telah penulis sebutkan di atas.

Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Tuhan, tetapi pada saat yang sama mengabaikan masalah-masalah kemanusiaan, maka sesungguhnya ia tidak beriman apa-apa. Nilai plus ibadah haji itu terletak pada sejauh mana mereka mampu melakukan apresiasi terhadap simbol-simbol ritual di dalamnya, kemudian diejawantahkan sebagai amal saleh. Hemat saya, kerja-kerja sosial kemanusiaan inilah substansi doktrin teologis Islam sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Untuk itu, ibadah termasuk haji, hanya akan sia-sia manakala tidak dibarengi dengan amal saleh.

Untuk itu, jika ibadah haji adalah penting, maka masalah kemanusiaan mesti ditempatkan dalam konteks yang juga penting. Islam sangat tidak menoleransi seorang Muslim membiarkan seorang Muslim lainnya hidup dalam penderitaan seperti kemiskinan, kelaparan, dan seterusnya. Perlu penulis tegaskan bahwa, dalam Islam, orang-orang yang membiarkan kemiskinan dan kelaparan itu adalah mereka yang mendustai agama Tuhan. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, ''Tahukah kamu siapakah orang yang mendustakan agama itu? Mereka itulah orang-orang yang menghardik anak yatim. Mereka tidak memberi perhatian/makanan kepada orang-orang yang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalatnya.'' (QS Almaun: 1-5).

Firman Tuhan ini memperkuat argumentasi bahwa doktrin teologis haji memiliki muatan yang sama dengan doktrin teologis kemanusiaan universal. Penegasan Tuhan bahwa seorang Muslim yang tidak memberi makan terhadap orang-orang miskin dan menghardik anak yatim sebagai orang yang mendustakan agama adalah satu aksioma teologis bahwasanya Islam sangat menekankan amal saleh sebagai muara dari berbagai bentuk ritualitas.

Layak kita bertanya, apakah hati mereka (orang-orang yang menunaikan ibadah haji itu) bergetar melihat saudara-saudaranya sebangsa bergelimang dalam kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk yang mengancam sebagian masyarakat di negeri ini. Yang pasti, seluruh ibadah dalam Islam, termasuk haji, haruslah dibarengi dengan amal saleh. Karena, tujuan diturunkannya syariat Islam secara fundamental adalah untuk membangun kesejahteraan hidup umat manusia secara universal (rahmatan lil alamin).

Ikhtisar
-Doktrin teologis haji terkait dengan masalah-masalah kehidupan umat manusia
-Sebagai fenomena sosiologis, haji menekankan egalitarianisme yang mampu mendorong solidaritas dan kesetiakawanan
-Diterima atau tidaknya haji seseorang bisa dilihat dari perilaku sosialnya
-Ibadah haji akan sia-sia jika tidak diiringi amal saleh.

( )

Sumber
: Republika

No comments: