Wednesday, December 27, 2006

Memaknai Natal dan Idul Adha

Oleh Mohamad Nabil

Dilihat dari hitungan hari, Hari Raya Natal dan Idul Adha jatuh pada waktu yang relatif berdekatan: kurang lebih enam hari. Sebagai sebuah peristiwa bersejarah, kedekatan Hari Raya Natal dan Idul Adha menyuguhkan sesuatu yang patut untuk direnungkan.

Paling tidak renungan yang relevan untuk dikemukakan dari kedua peristiwa bersejarah tersebut adalah pesan parennial yang dibawanya, yaitu sama-sama mengusung misi suci perdamaian.

Dalam konteks itu, perlu ditegaskan kembali pesan-pesan damai yang diusung oleh keduanya sehingga bisa mendorong terjalinnya hubungan yang lebih erat antarpara pemeluk agama (khususnya Kristen dan Islam) dalam rangka mewujudkan koeksistensi damai.

Sebab masih segar dalam ingatan kita, bahwa beberapa aksi kekerasan dan tindakan teror yang terjadi dalam satu dekade terakhir ini seringkali memanfaatkan hari-hari besar seperti Hari Raya Natal dan Idul Adha

Di samping itu, sudah diketahui bersama bahwa sejarah perkembangan negeri ini banyak diwarnai hubungan-hubungan konfliktual sehingga sangat rentan bagi terjadinya kekisruahan, kerusuhan, dan kekerasan.

Khususnya dalam lima tahun terakhir ini, konflik etnik dan agama meletus di banyak tempat, dan kerap melibatkan para penganut agama dalam batas yang sangat mengerikan.

Untuk itu, maka kita layak mempertanyakan: apakah peristiwa kedekatan Natal dan Idul Adha bisa membawa kedamaian antarsesama?

Dua Wajah Agama

Seorang teolog terkenal Protestan, Paul Tillich, mengemukakan bahwa agama itu punya wajah ganda. Ia menyebut agama sebagai Janus face (berwajah Janus).

Janus diambil dari nama dewa di zaman Yunani kuno yang kemudian menjadi akar kata dari bulan Januari.

Jadi dewa Janus digambarkan sebagai dewa yang bermuka dua: yang satu menghadap ke belakang, yang satu menghadap ke depan. Dia berada persis pada pergantian tahun, satu melihat tahun ke belakang, yang satu lagi melihat tahun ke depan.

Agama, menurut Tillich seperti itu: wajah yang pertama punya sisi Ilahi, suci (the holy) yang begitu luhur jauh ke depan; dan wajah yang satunya lagi adalah sisi iblis (demonic) yang begitu jahat dan kejam.

Wajah suci agama mencakup pesan-pesan parennial yang paling abadi seperti perdamaian, kasih sayang, toleransi, solidaritas, cita-cita persamaan dan keadilan. Sedangkan Wajah demonik agama termanifestasikan dalam pembentukan identitas diri, dalam arti, adanya identitas yang menggariskan batasan antara penganut satu agama dengan penganut agama lain.

Pemeluk agama lain dipersepsi sebagai orang asing, atau bahkan musuh sehingga tidak layak untuk diperlakukan setara. Penegasan identitas ini muncul karena para pemeluk agama lebih menonjolkan wajah agama yang demonik, seperti perang dan sejenisnya.

Paralel dengan hal tersebut, David Lochead (1988) mencatat bahwa wajah agama yang demonik ini ternyata sangat mengakar, bahkan menjadi bagian built in dalam pembentukan identitas keagamaan.

Di dalam setiap tradisi keagamaan, demikian Lochead, selalu terkandung benih-benih ideologi atau teologi yang bersifat "isolasionis" (masing-masing agama hidup dan berkembang dalam komunitasnya sendiri); "konfrontasionis" (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai); dan bahkan "kebencian" (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan).

Garis demarkasi antara ketiganya sangatlah tipis, bahkan kabur, apalagi ketika dikaitkan dengan logika kekuasaan yang inheren dalam setiap agama.

Kendati agama mengaku diri bahwa risalahnya ditujukan pada semua umat manusia, namun dibutuhkan waktu panjang dan perjuangan yang kadang berdarah-darah agar tradisi-tradisi keagamaan dapat menerima paham "kemanu- siaan universal" yang mampu melampaui batas-batas "kita dan me-reka."

Kesadaran bahwa semua manusia, apapun latar belakangnya, warna kulit, jenis kelamin, maupun keyakinan yang dipeluknya memiliki keluhuran martabat yang harus dilindungi, hanya lamat-lamat memasuki kesadaran keagamaan-bahkan masih diperdebatkan hingga kini. Dengan demikian, agama berpotensi memunculkan kekerasan dan perdamaian, fanatisme dan toleransi, konflik dan dialog, serta konfrontasi dan kooperasi.

Karena itu, Tillich mencoba keluar dari agama yang berwajah ganda itu dengan mengajukan kritik agama. Menurutnya, agama harus diwaspadai dan dicurigai terus- menerus, dan tidak boleh kebal kritik.

Agama tidak boleh dibiarkan begitu saja karena ia akan menampakkan wajah demoniknya. Cara lain untuk mengidentifikasi agama yang mempunyai dua wajah ini adalah seperti yang dikemukakan Abdul Karim Soroush (2000) dengan membedakan antara agama identitas (religion of identity) dan agama kebenaran (religion of truth).

Agama identitas merupakan kedok identitas kultural dan respons terhadap apa yang disebut dengan "krisis identitas." Sedangkan agama kebenaran merupakan tempat kebenaran yang mengarahkan umat manusia menuju kebaikan bersama.

Relevansi Natal dan Idul Adha

Berpijak dari persoalan di atas, Hari Raya Natal dan Idul Adha yang berdekatan ini mempunyai relevansi tersendiri. Setidaknya umat Kristiani (yang merayakan Natal) dan kaum Muslim (yang merayakan Idul Adha) bisa memaknai dua peristiwa besar ini secara lebih otentik.

Dengan memaknai dua peristiwa besar ini secara otentik, maka para pemeluk agama akan bisa meminimalisir sikap keberagamaan yang demonik, dan bahkan meniadakannya.

Karena, dua wajah agama seperti dijelaskan di atas tergantung kepada pemeluknya: apakah akan mengartikulasikan sikap keagamaan yang suci (the holy) atau mengartikulasikan kegamaannya yang jahat dan kejam (de-monic).

Perlu ditegaskan bahwa peran pemeluk agama sangat sentral dalam memaknai agama secara otentik.

Agama akan tampil dalam wajah yang suci (the holy) jika ia dimaknai secara otentik, di samping akan berperan positif apabila agama dalam wajah yang suci (the holy) mampu mendorong para pemeluknya mewarnai kultur dan zamannya serta generasi sesudahnya.

Sebaliknya, agama akan tampil dalam wajah yang demonik jika ia hanya dijadikan alat untuk melegitimasi kepentingan atau kekuasaan politik yang bersifat sementara.

Jika begitu, agama cenderung mengalami distorsi pemaknaan dan dampaknya akan terus berlanjut. Agama yang mengalami distorsi ini akan lebih menampakkan wajah demonic yang menyulut kekerasan daripada wajah the holy yang menyerukan perdamaian dan kebaikan bersama.

Karena itu, Hari Raya Natal dan Idul Adha yang berdekatan ini semoga menjadi suatu simbol simbiosis dari pemaknaan dan penghayatan agama yang otentik (the holy), di mana Kristen tidak hanya menyerukan damai dan sejahtera bagi kalangan umat Kristiani, melainkan damai sejahtera bagi seluruh umat manusia di bumi ini.

Demikian juga dengan Islam tidak hanya diharapkan menjadi rahmat bagi kaum Muslim, tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam.

Penulis adalah Peneliti PSIK Universitas Paramadina dan Pengurus Nasional Majelis Sinergi Kalam, ICMI


Suara Pembaruan: 27/12/06

No comments: