Wednesday, January 3, 2007

Akar Masalah Kecelakaan Angkutan Laut

Sering Terjadi Pelanggaran Regulasi

Oleh Totok Siswantara

Kecelakaan angkutan laut yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda terjadi silih berganti. Namun, akar penyebab kecelakaan angkutan laut yang secara prinsip merupakan fenomena "gegar" regulasi itu belum ditangani secara serius oleh pemerintah, khususnya departemen perhubungan.

Akibatnya bahaya maut selalu mengintai pengguna jasa angkutan laut setiap saat. Seperti halnya kecelakaan KMP Tri Star yang tenggelam di perairan Palembang dan kecelakaan kapal Senopati Nusantara di perairan Jepara baru-baru ini.

Ironisnya, dipagi-pagi buta pihak KNKT dan departemen perhubungan telah mengkambing hitamkan cuaca buruk sebagai penyebab kecelakaan. Padahal banyak faktor teknis dan regulasi yang merupakan penyebab kecelakaan angkutan laut.

Potret transportasi laut saat ini boleh dikatakan sangat buram. Buruknya sistem transportasi laut itu juga disebabkan tidak adanya pengadilan maritim yang menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi di laut.

Kasus kejahatan di laut, seperti pelanggaran regulasi, perompakan, penyelundupan bbm dan pencurian ikan, selama ini ditangani oleh orang yang kurang mengerti persoalan teknisnya.

Sehingga putusan pengadilan umum terhadap kasus-kasus di laut tidak sepadan dengan nilai kejahatan yang telah diperbuat.

Hingga saat ini pemerintah belum mampu mengatasi persoalan angkutan laut yang esensial yang menyangkut sistem pemeriksaan kepelabuhan, kelayakan kapal, hingga buruknya manajemen perusahaan pelayaran.

Pelanggaran Regulasi

Angkutan laut merupakan moda transportasi yang sarat regulasi. Untuk itu, Indonesia harus meratifikasi berbagai konvensi yang dikeluarkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) serta berkewajiban mentaati berbagai regulasi.

Di PBB ada badan khusus yang menangani bidang maritim, yakni International Maritime Organization (IMO), yang secara umum mengatur keamanan angkutan laut, pencegahan polusi serta persyaratan, pelatihan dan pendidikan awak kapal.

Dengan adanya IMO tiap negara anggota (flag state) mempunyai tanggung jawab untuk melakukan berbagai konvensi internasional bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya.

Namun hingga saat ini kondisi kapal-kapal berbendera Indonesia masih banyak yang tidak mampu memenuhi ketentuan IMO, bahkan banyak terjadi pelanggaran regulasi.

Prinsip dasar keselamatan pelayaran menyatakan bahwa kapal yang hendak berlayar harus berada dalam kondisi seaworthiness atau laik laut.

Artinya, kapal harus mampu menghadapi berbagai case atau kejadian alam secara wajar dalam dunia pelayaran.

Selain itu kapal layak menerima muatan dan mengangkutnya serta melindungi keselamatan muatan dan anak buah kapal (ABK)-nya. Kelayakan kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik.

Nakhoda dan ABK harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan, store dan bunker, serta alat-alat keamanan memadai dan memenuhi syarat. Dan yang tidak kalah penting adalah selama beroperasi di laut kapal tidak boleh mencemari lingkungan.

Kondisi di lapangan terutama di pelosok tanah air menunjukkan bahwa aturan yang menyangkut pelaporan sistem manajemen keselamatan (safety management system) sering dimanipulasi.

Padahal untuk menjaga keselamatan kapal dan lingkungan, diberlakukan sistem ISM Code yang disertai dengan Designated Person Ashore (DPA) untuk pengawasan kapal dan mana- jemen perusahaan secara periodik.

Tujuan dari ISM Code adalah untuk memberikan standar internasional mengenai mana- jemen dan operasi kapal yang aman dan mencegah terjadinya pencemaran.

Bagi kapal yang memenuhi regulasi akan diberikan Safety Management Certificate (SMC) sedang manajemen perusahaan pelayaran yang memenuhi regulasi diberikan Document of Compliance (DOC) oleh Biro Klasifikasi Indonesia.

Sistem Komunikasi

Penyebab kecelakaan angkutan laut yang diakibatkan cuaca badai atau gelombang pasang relatif mudah ditanggulangi, karena adanya sistem komunikasi dan laporan BMG yang semakin cepat dan akurat.

Namun pemicu terjadinya kecelakaan angkutan laut akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh pelanggaran regulasi serta mudahnya Petugas Pemeriksa Kepelabuhanan (PPK) melakukan manipulasi dalam menjalankan tugasnya.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa begitu mudahnya memanipulasi sertifikat dan dokumen untuk kapal-kapal yang sudah tua serta secara teknis tidak memenuhi kaedah seaworthiness tetapi begitu saja "disulap" sehingga bisa bebas ber- operasi.

Begitu pula, penanganan kecelakaan laut selama ini lebih bersifat administratif dan dokumentatif yang mana terapinya jauh dari akar persoalan keselamatan pelayaran.

Kondisinya masih diperparah lagi dengan belum optimalnya fungsi tugas Mahkamah Maritim seperti di negara-ne- gara lain.

Akibatnya, saat terjadi kecelakaan, jaksa yang menangani perkara tersebut kurang menguasai seluk-beluk teknis yang menjadi penyebab kecelakaan angkutan laut.

Dampaknya berbagai perkara kecelakaan di laut baik dalam "skala Tampomas" hingga skala yang lebih kecil tidak pernah tuntas.

Hingga saat ini pemerintah, khususnya otoritas perhubungan laut, masih gagal menjalankan kewenangan PPK sesuai dengan IMO Resolution A 787 (19). Dalam hal ini implementasi port state control yang menghindarkan kapal dalam keadaan tidak aman belum dijalankan secara baik.

PPK di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih belum melakukan penilaian dan pertimbangan secara profesional terhadap kelaikan kapal.

Sehingga accidental damage atau kerusakan secara tak terduga sering dialami oleh kapal pada saat berlayar. Seharusnya PPK lebih berani melakukan detention order atau perintah penahanan terhadap kapal yang tidak laik.

Selama ini proses pemeriksaan oleh PPK atau Port State Control Officer (PSCO) lebih terkesan formalitas semu bahkan nampak basa-basi.

Dilain pihak data statistik IMO menunjukkan bahwa 80 persen dari semua kecelakaan kapal di laut disebabkan oleh kesalahan manusia akibat buruknya sistem manajemen perusahaan pemilik kapal.

Oleh karena ada penekanan khusus bahwa perusahaan pelayaran harus bertanggungjawab atas keselamatan kapal selain nakhoda, perwira serta ABK dari kapal itu.

Selain itu UU No 21 Tahun 1992 tentang pelayaran telah meratifikasi dan memberlakukan konvensi IMO.

Aspek Perlindungan

Yang mana terkandung beberapa konvensi antara lain Safety of Life at Sea (SOLAS), Convention 1974/78, yakni konvensi yang mencakup aspek keselamatan kapal, termasuk konstruksi, navigasi, dan komunikasi.

Juga masalah Marine Pol- lution Prevention (Marpol), Convention 1973/78, yakni konven- si yang membahas aspek per- lindungan lingkungan, khususnya pencegahan pencemaran yang berasal dari kapal, alat apung dan usaha penanggulangannya.

Selain itu juga Standard of Training Certification and Watchkeeping of Seafarers (SCTW) merupakan konvensi yang berisi tentang persyaratan minimum pendidikan atau pe- latihan yang harus dipenuhi oleh ABK untuk bekerja sebagai pelaut.

Namun, berbagai konvensi tersebut masih belum diaplikasikan dengan baik, masih menjadi hiasan meja pejabat departemen perhubungan.

Akibatnya sektor perhubungan laut di republik ini selalu dicengkeram oleh mara bahaya yang sewaktu-waktu bisa menelan korban jiwa dan harta benda pengguna jasa angkutan laut.

Penulis adalah Pengkaji Masalah Transformasi Teknologi dan Industri


2 comments:

zul said...

menurut anda aspek keselamatan apa yang wajib dilakukan perusahaan pelayaran, sehingga kapalnya dapat berlayar?
yang dimaksud kapal laik laut itu gmn?
apakah hrs menaati semua konvensi?

Anonymous said...

Kondisi ideal keselamatan transportasi laut adalah bila setiap stakeholder paham dan amanah atas peran masing-masing. Mereka (stakeholder) juga harus punya kesadaran yang tinggi tentang resiko dan cara penanganan keselamatanan sebagai bagian kegiatan sehari-hari.
Namun demikian, pada tahap awal ini jangan bermimpi demikian, pada tahap awal mestinya yang perlu diperhatikan adalah tentang peraturan - software (kualitas dari peraturan sendiri, sudahkah melihat semua resiko yang ada, sudahkan disesuaikan dengan budaya yang ada), apakah peraturan tersebut sudah dipahami (kalo perlu sampai dengan filosofinya), apakah peraturan tersebut sudah diinterpretasikan dengan benar, dan selanjutnya apakah penegakan aturan berupa hukuman bagi pelanggar aturan sudah benar-benar berjalan.
By the way, untuk keperluan riset, saya perlu data-data kecelakaan laut yang agak lengkap. Kalo ada sih mulai Tahun 2002. Barangkali anda punya?
Salam
Mahardi Sadono
mahar65@yahoo.com