Tuesday, August 7, 2007

Menguji Tanggung Jawab Sosial PT

Oleh Hasan

TANGGUNG jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) saat ini menjadi kajian yang menarik berkait dengan dimasukkannya masalah itu dalam Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU-PT) yang telah dibawa dalam sidang paripurna 20 Juli 2007, dan disetujui secara bulat oleh semua fraksi.

Kewajiban CSR itu disebutkan dalam Pasal 74, yaitu pertama, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam (SDA) wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Kedua, tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Ketiga, perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah/PP (www.hukumonline.com).

Berbagai tanggapan muncul berkait dengan aturan itu. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) telah mengeluarkan pernyataan dengan nada penolakan dan memberi warning terhadap kewajiban tersebut. Ketua Umum Kadin, MS Hidayat, memastikan akan banyak pengusaha yang menolak kewajiban itu dan menurutnya akan menurunkan daya saing, yang kemudian dapat menurunkan ekspor, dan akhirnya meningkatkan penganguran.

Selain itu, dikhawatikan juga kotraproduktif dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Padahal, berbagai macam upaya dilakukan untuk meningkatkan berbagai macam hal yang sangat penting dalam perumbuhan ekonomi tersebut (Suara Merdeka, 24 Juli 2007).

CSR sebetulnya merupakan kewajiban-kewajiban organisasi untuk melindungi dan memberi kontribusi kepada masyarakat tempat ia berada. Tanggung jawab sosial itu berada dalam tiga domain: pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi (stakeholders), lingkungan alam, dan kesejahteraan sosial.

Sehingga, jika disebutkan, Pasal 74 UU PT tersebut tampaknya menitikberatkan pada tanggung jawab sosial terhadap lingkungan alam. Padahal pelaksanaan tanggung jawab sosial seharusnya meliputi ketiga hal itu, dan tidak dibatasi hanya pada PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan SDA saja, tetapi pada PT secara umum, bahkan perusahaan dalam bentuk apa pun. Tidak hanya menyangkut lingkungan alam saja, tapi juga dua domain yang lain, stakeholders, dan kesejahteraan sosial. Pembatasan itu tampaknya dilakukan untuk meredam penolakan dari para pengusaha.

Argumen CSR

Pada hakikatnya, CSR merupakan kewajiban perusahaan yang bergerak dalam bisnis, karena seringkali bisnis menciptakan masalah, sehingga perusahaan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Contoh perusahaan yang menggunakan SDA, sehingga terjadi degradasi lingkungan, atau perusahaan transportasi yang menciptakan polusi udara.

Pada kenyataannya, perusahaan dan lingkungan bisnis memiliki sumber daya untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan sumber daya mereka yang ada, baik dana, SDM, tenaga ahli, maupun sumber daya yang lain.

Jika dilihat manfaatnya, tanggung jawab sosial dari perusahaan akan meningkatkan iktikad baik (masyarakat) terhadap perusahaan. Dengan kontribusi yang diberikan perusahaan, masyarakat akan mendukung keberadaan perusahaan secara menyeluruh. Dengan dukungan itu, keberadaan perusahaan lebih terjamin dan sustainable.

Masalahnya, perusahaan sering melihat bisnis semata-mata sebagai institusi bisnis mutlak untuk meraih keuntungan maksimal, sehingga pengeluaran CSR lebih dipandang sebagai biaya daripada kompensasi dan investasi sosial. Para penentang CSR itu juga sering menganggap pembayaran pajak sudah merupakan kompensasi yang diberikan kepada masyarakat melalui pemerintah.

Memang, pajak pada PT cukup tinggi, rata-rata mencapai 30%, bahkan lebih. Dengan dibayarkannya pajak, otomatis kewajiban tanggung jawab perusahaan telah dialihkan kepada pemerintah. Argumen yang logis, tapi kurang sosial. Biasanya, perusahaan seperti itu akan berhadapan dengan masyarakat dan kurang terjaga keberlanjutan maupun keberlangsungan usahanya.

Insentif

Seharusnya penerapan CSR tidak hanya mencantumkan kewajiban dan ancaman hukuman bagi yang tidak melaksanakannya, tapi juga memperhatikan sisi insentif bagi yang menerapkan dengan baik, dan di atas kewajiban-kewajiban aturan perundangan.

Dengan cara itu, sistem reward and punishment akan berjalan, dan perusahaan (PT) akan termotivasi melaksanakan CSR. Untuk itu, perlu dilakukan pengelompokan (mapping) terhadap perusahaan yang ada.

Kelompok pertama adalah perusahaan yang menolak dan menghindari tanggung jawab perusahaan. Seperti tidak melakukan konservasi alam, tidak memberikan hak-hak pekerja, dan merusak jalan umum. Perusahaan jenis itu perlu ditindak secara tegas, bila perlu ditutup.

Kelompok kedua adalah perusahaan yang memenuhi tanggung jawab sosialnya sesuai dengan aturan dan standar minimal saja. Perusahaan jenis itu jumlahnya amat banyak, dan harus dilindungi, diberi kesempatan dan didorong untuk meningkatkan aktivitas CSR-nya.

Perusahaan ketiga adalah perusahaan yang memenuhi tanggung jawab sosial di atas standar minimal. Perusahaan seperti itu harus mendapat insentif lebih dari pemerintah. Keringanan pajak dapat menjadi contohnya.

Perusahaan keempat adalah perusahaan yang melaksanakan tanggung jawab sosial secara proaktif, bahkan didirikan untuk berkontribusi sosial secara optimal. Perusahaan jenis itu seharusnya mendapat banyak insentif dan fasilitas dari pemerintah, bahkan bila perlu dibebaskan dari pajak.

Partisipatif

Kontroversi terhadap aturan itu dapat diminimalisasi dengan diajaknya para pengusaha dalam perumusan undang-undang tersebut. Sayangnya ada kesan undang-undang itu kejar tayang untuk digedok sebelum masa reses DPR.

Bagaimanapun, perumusan peraturan yang baik adalah yang partisipatif. Jika langkah itu kurang optimal dalam penyusunan UU tersebut, maka optimalisasi peran pengusaha dan masyarakat dapat dioptimalkan dalam perumusan aturan pelaksananya (PP). Dan yang terpenting adalah implementasinya di lapangan. Sudah lazim bahwa kita hebat dalam membuat peraturan, tapi jelek jika sudah masuk dalam tataran implementasi. Kita lihat saja nanti, evaluasi pada akhirnya menjadi kata kunci untuk perbaikan semua hal, termasuk perbaikan aturan PT yang sebelumnya telah ada dengan UU 1/1995.(68)

- Hasan SE, dosen Etika Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Suara Merdeka, 7 agustus 2007

1 comment:

Anonymous said...

aya aya wae..CSR bikin pusing perusahaan..hehehe
CSR yg bnyak dilakukan perusahaan di Indonesia, hanya bersifat promosi atau iklan, dengan membawa kepentingan bisnis didalam pelaksanaannya.
Dengan menarik simpati dengan bentuk kepedulian terhadap masyrakat, sehingga produk perusahaan tersebut juga dikenal masyarakat..
sekali mendayung 2 pulau terlampaui