Wednesday, August 22, 2007

Hilangnya Dua Ilmu di Era Kemerdekaan

Dedy Purwanto
Aktivis PPI se-Malaysia, Mahasiswa S2 Universiti Teknologi Petronas Malaysia

Bulan Agustus datang kembali. Mungkin banyak yang belum mengetahui bahwa ternyata bulan ini tidak hanya spesial bagi rakyat Indonesia, tapi juga bagi Malaysia. Indonesia memperingati hari kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus, sedangkan Malaysia pada tanggal 31 Agustus. Sungguh suatu kebetulan yang menarik: dua negara yang bersahabat dan sangat dekat baik secara geografis maupun budaya masyarakatnya ternyata merdeka dalam bulan yang sama. Dalam segi usia, Indonesia memang lebih senior dibandingkan Malaysia. Tahun ini merupakan ulang tahun emas (50 tahun) mereka dan ulang tahun kita yang ke-62.

Kita yang lebih senior ini malah jauh tertinggal dalam ekonomi, teknologi, dan bidang lainnnya dari Malaysia. Data UNDP 2003 menunjukkan, dalam World Economic Forum (103 negara), Indonesia berada pada peringkat 72 sementara Malaysia pada peringkat 29. Sungguh menggelisahkan, rakyat yang serupa (perawakan fisik, bahasa, dan budaya), namun bernasib berbeda. Padahal kemerdekaan yang berhasil kita raih jauh lebih terhormat dan heroik. Berapa Berbeda dengan Malaysia yang merdeka hanya dengan melalui diplomasi dan perjanjian.

Sudah saatnya kita berpikir objektif . Apa sebenarnya penyebab dari semua ini. Tun Dr Mahathir Muhammad dalam ceramah Hari Kemerdekaan Malaysia (13/08/07) di Universiti Teknologi Petronas, Malaysia, menyampaikan bahwa korupsi telah menjadi budaya dan hal yang biasa di 'negara-negara tertentu'. Walaupun dengan kata jamak, peserta yang hadir pada acara tersebut termasuk saya dapat langsung menginterpretasikan bahwa yang dimaksud adalah Indonesia. Beliau mengingatkan bahwa negara tidak akan maju jika dipimpin oleh para koruptor. Perbaikan moral merupakan solusi yang dia sajikan untuk menghadapi isu korupsi.

Ada benarnya memang solusi yang yang dia sampaikan. Namun seperti apa detilnya, tampaknya menjadi bias dan setiap orang akan mempunyai tafsir yang berdeda-beda. Untuk bangkit menjadi negara maju, saya mengambil referensi dari ajaran Islam. Di dalam Islam, ada dua kategori ilmu yang bersumber dari Tuhan dan harus dikuasai oleh manusia agar selamat dan bahagia dunia-akhirat. Ilmu ini juga yang akan menjelaskan bagaimana negara-negara Barat dapat maju dari segi tertentu dan terbelakang dari segi yang lain, juga bagaimana Malaysia dapat lebih maju dari Indonesia.

Kemungkinan jawaban Pertama adalah ilmu kauliyah, adalah ilmu tertulis yang langsung bersumber dari Tuhan yaitu Alquran dan Hadis Nabi. Malaysia yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam masih memegang kuat ilmu ini dan rata-rata masyarakatnya pun lebih mematuhi perintah-Nya dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Di sekolah-sekolah serta instansi publik dan pemerintah, bisa dilihat bagaimana cara mereka berpakaian. Mereka masih sangat mencintai budaya melayu yang sangat dekat dengan budaya Islam. Sehingga kesantunan dan moral pun lebih berwarna dinegeri ini. Tampaknya rahmat Allah pun lebih melimpah di Malaysia seiiring dengan tetap dipegangnya kecintaan negara dan masyarkatnya terhadap Islam.

Sementara di Tanah Air kita, simbol-simbol Jawa ala Majapahit lebih disukai menjadi keunikan yang tidak terlalu berarti. Lihat saja, saat pertama kali seorang asing menginjakkan kaki di bandara Soekarno-Hatta Jakarta, patung khas Majapahit akan menyambut tamu yang datang ke pusat negara. Sehingga seakan-akan kebudayaan lain bukan bagian dari Indonesia. Saya tidak bermaksud tidak mengizinkanhal itu, tapi mengingatkan bahwa aneka kekayaan budaya lain jangan dibiarkan mati.

Kedua, ayat kauniyah. Yakni ilmu yang bersumber dari Allah dan 'tertulis' di alam semesta: tubuh manusia, laut, daratan, hingga luar angkasa. Umat Muslim seharusnya juga menyadari bahwa ilmu ini juga menjadi kewajiban untuk dipelajari dan diamalkan. Maka wajarlah negara Barat lebih maju dalam teknologi dan ekonomi di mana ilmu ini benar-benar mereka kuasai. Nilai-nilai positif seperti disiplin, good governance yang bersumber dari akal ciptaan Tuhan pun mereka kuasai. Namun masyarkat Barat mundur dalam hal sosial dan spiritual. Sehingga mereka tidak mempunyai pegangan dan tujuan hidup yang jelas, akhirnya kehampaan hidup pun mendera.

Sungguh indah sebenarnya Islam yang mencakup keseluruhan dalam segenap segi kehidupan. Sehingga mereka yang mengamalkannya dengan benar mempunyai pedoman yang sempurna. Sementara kita di Indonesia telah meninggalkan kedua ilmu tersebut. Di negara kita bisa dilihat jika ada pemimpin yang mencoba memperbaiki moral masyarakat dengan kebijakan pelarangan pelacuran, minuman keras, hiburan malam bermasalah yang dekat dengan narkoba dan AIDS, maka penentangan terhadap kebijakan tersebut akan muncul. Dengan dibantu media, kalangan ekstremis liberal yang sangat tidak demokratis mereka berperan besar dalam penghancuran tatanan masyarakat yang ingin kembali pada nilai-nilai moral yang universal. Tampaknya umat Muslim Indonesia benar-benar telah mengalami tirani mayoritas sehingga tidak dapat mengamalkan ajaran agamanya dengan tenang dan sempurna.

Ilmu kauliyah tidak di tangan, ilmu kauniyah pun melayang. Dalam hal Human Developemnt Index (HDI)) misalnya, data UNDP 2003 juga menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 110 dari 175 negara. Lalu, melihat kondisi seperti ini, dapatkah kita mengambil pelajaran? Mahathir Muhammad masih dalam kesempatan yang sama, dalam menjawab sebuah permintaan peserta untuk memberikan pesan terhadap Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan tidak hanya satu, tapi ratusan pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Tentunya pemimpin ini adalah pemimpin devotis (mengabdi) yang mengerti makna penciptaan dirinya untuk menjadi khalifah dan mengabdi pada Allah SWT dengan komprehensif menjaga keseimbangan pengamalan ilmu kauliyah dan kauniyah. Sehingga Allah pun cinta kita dan kita menjadi maju karena mengambil sudut maju positif Barat dan Timur bukan sebaliknya malah mengambil sudut terbelakang Barat belaka.

Republika, 22 Agustus 2007

No comments: