Monday, August 13, 2007

Silent Crisis Jakarta

Razali Ritonga
Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik BPS

Dalam waktu dekat, Jakarta akan memiliki gubernur baru. Berdasarkan hasil hitungan cepat dari sejumlah lembaga survei, tampaknya Fauzi Bowo-Prijanto memenangi pilihan gubernur dan wakil gubernur pada pilkada 8 Agustus lalu. Meski demikian, hasil akhir kemenangan itu mnggu pengesahan dari KPUD Jakarta untuk menjadi keputusan tetap.

Di saat yang sama, masyarakat Jakarta tengah menanti gebrakan dari gubernur dan wakil gubernur terpilih. Paling tidak, masyarakat berharap segala janji yang diucapkan saat kampanye dapat direalisasikan. Di tengah maraknya tuntutan mayoritas penduduk pada gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk mengatasi banjir dan kemacetan Jrta, ada sekelompok penduduk yang hidup dalam lilitan kesusahan.

Jika banjir dan kemacetan kerap menimbulkan kehebohan, maka penduduk yang mengalami kesulitan hidup dimaksud, jauh dari kehebohan. Mengingat jumlah penduduk yang terperangkap dalam kesulitan hidup itu tidak sedikit jumlahnya, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu bencana kemanusian yang jauh dari kehebohan (silent crisis).

Secara faktual, silent crisis menimpa penduduk yang memiliki kesejahteraan rendah. Ini terindikasi dari pemenuhan kebutuhan hidup yang jauh dari layak, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sanitasi lingkungan.

Potret buram
Hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2004 dan 2005 dapat dijadikan acuan untuk melihat potret buram dari silent crisis Jakarta. Pada aspek sanitasi lingkungan, seperti kebutuhan air minum dan tempat pembuangan air besar (tinja) dapat diamati dari Susenas 2005. Tercatat, rumah tangga yang memiliki akses air bersih dari ledeng kurang dari setengah total rumah tangga di DKI Jakarta (46,90 persen). Artinya, lebih dari setengah rumah tangga terpaksa bergantung pada sumber air minum lain, seperti air kemasan (17, 97 persen), pompa (28,15 persen), sumur (5,62 persen), serta mata air, air sungai, dan air hujan (1,36 persen).

Dengan melihat kenyataan ini, sudah waktunya gubernur dan wakilnya berupaya memperbesar akses rumah tangga pada air ledeng. Namun celakanya, sumber air bersih sebagai pasokan perusahaan air minum daerah kian terbatas. Salah satu kemungkinan adalah dengan mencari sumber air bersih dari daerah sekitar DKI Jakarta, seperti Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur). Untuk melakukan itu, barangkali sudah mulai perlu dipikirkan pencarian sumber air bersih melalui proyek pipanisasi secara langsung ke sumber-sumber air bersih di Bopunjur.

Aspek lain dari silent crisis adalah tempat buang air besar. Lebih dari seperempat (26,72 persen) rumah tangga tidak memiliki fasilitas tempat biang air besar sendiri. Mereka yang tidak memiliki tempat buang air besar itu terpaksa sharing dengan rumah tangga lainnya (19,94 persen), atau di toilet umum (6,04 persen), bahkan di tempat terbuka seperti sungai, kolam dan saluran got (0,74 persen).

Dengan lahan terbatas, tampaknya tidak mudah untuk membuat tempat buang air besar sendiri. Bahkan dari mereka yang telah memiliki tempat buang besar sendiri, mengandung risiko kesehatan, yakni jarak antara tempat buang air besar dan sumur air bersih kurang dari 10 meter. Hasil Susenas 2004 mencatat, sekitar 47,92 persen rumah tangga yang memiliki tempat buang air besar sendiri kesehatannya tetap terancam.

Pada aspek perumahan, silent crisis itu terlihat dari luas dan jenis lantai serta lampu penerangan. Hasil Susenas 2004 mencatat, sekitar 16 persen rumah tangga di DKI Jakarta menempati luas lantai rumah kurang dari 20 meter persegi, sekitar 3,85 persen rumah tangga menempati rumah berlantai tanah, dan sekitar 0,40 persen rumah tangga tidak memiliki akses penerangan lampu listrik.

Pemecahan masalah perumahan dan sanitasi lingkungan itu barangkali sukar dilakukan secara horizontal mengingat keterbatasan ruang. Jakarta kini menempati urutan kesembilan kota terpadat di dunia, setelah Mumbai, Hong Kong, Seoul, Manila, Surabaya, dan New Delhi, dengan tingkat kepadatan tahun 2001 sebesar 44.283 jiwa per kilometer persegi (Wikipedia Encyclopedia, Agustus 2007).

Maka, pemecahan masalahnya adalah secara vertikal. Terkait dengan rencana pemerintah membangun 1.000 menara rumah susun di Jakarta, sangat diharapkan hal itu menjadi kenyataan. Dalam konteks ini, diharapkan peran gubernur dan wakil gubernur terpilih dapat memfasilitasi percepatan pembangunan rumah susun dimaksud.

Kapabilitas dasar
Kapabilitas dasar dari silent crisis itu tercermin dari aspek kesehatan dan pendidikan. Pada aspek kesehatan, hal itu tercermin dari keluhan kesehatan, dan kasus gizi kurang. Meski berdasar data BPS tahun 2006 memiliki angka umur harapan hidup tertinggi kedua (72,4 tahun) setelah Yogyakarta (72,6 tahun), DKI Jakarta menyisakan sejumlah persoalan kesehatan. Keluhan kesehatan, berdasarkan hasil Susenas 2004, tercatat tertinggi kedua (57,91 persen) setelah Nusa Tenggara Timur (60,98 persen). Selanjutnya, balita yang menderita kekurangan gizi pada 2002 tercatat sekitar 23,2 persen. Kondisi yang kurang lebih serupa juga terjadi pada dunia pendidikan. Pada aspek pendidikan, silent crisis itu tercermin dari masih adanya penduduk yang tergolong sebagai penyandang buta huruf, yakni sekitar 1,7 persen pada 2005. Angka ini lebih tinggi dari Sulawesi Utara yakni sebesar 0,7 persen (BPS, 2006). Sementara. rata-rata lama sekolah sekitar 10,6 tahun, atau setara kelas dua SMA.

Perhatian terhadap pendidikan untuk wilayah DKI, barangkali perlu ditekankan pada Pulau Seribu. Pendidikan di wilayah ini, tertinggal jauh dibanding ke lima wilayah lainnya di DKI Jakarta. Tercatat, angka melek huruf di Pulau Seribu 96,6 persen, sementara lima wilayah lainnya telah mencapai di atas 98 persen. Rata-rata lama sekolah di pulau-pulau ini sekitar 6,9 tahun, atau setara kelas satu SMP, sementara di lima wilayah lainnya telah mencapai 10 tahun atau lebih, setara dengan kelas satu SMA.

Sebenarnya, masih cukup ruang bagi pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi silent crisis itu, mengingat APBD dan potensi ekonomi yang sangat besar. Untuk mengatasi silent crisis dimaksud, salah satu upaya adalah menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Tercatat, jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 277.100 orang (BPS, 2005), dan pengangguran terbuka sebanyak 590.022 orang (BPS,2007). Pengangguran dan kemiskinan ini sungguh persoalan yang serius.

Besar harapan, gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya dapat menyelesaikan persoalan Jakarta, yang tidak hanya terkait dengan banjir dan macet. Saat ini, pemerintah sudah saatnya untuk mengatasi persoalan secara lebih menukik pada persoalan mendasar penduduk, yaitu silent crisis.

Republika, 13 Agustus 2007

No comments: