Thursday, August 9, 2007

Pemikiran An Na'im

Nirwan Syafrin
Kandidat Doktor di ISTAC Kuala Lumpur, Peneliti INSISTS Jakarta

Juli-Agustus 2007, Prof Abdullah Ahmad An Na’im, atas sponsor Ford Foundation dan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Jakarta, gencar melakukan roadshow ke berbagai kota di Indonesia. UIN Jakarta dan Ford Foundation begitu bersemangat mensosialisasikan ide An Naim tentang hubungan Islam dan negara melalui karya terbarunya Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah (2007).

Menyambut kedatangan An Na’im, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta, Prof Azyumardi Azra, menulis kolom Resonansi di harian ini (26/7/2007), yang berjudul 'Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah'. Azra menulis dalam kolomnya menulis, “Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya 'netral' terhadap semua agama, pemikiran An-Naim sangat relevan dan kontekstual. Karena itu, tidak ragu lagi, pemikiran An Naim merupakan kontribusi penting bagi negara-bangsa Indonesia.” Ini bukanlah kedatangan An Naim yang pertama di Indonesia.

Tapi, kedatangannya kali ini benar-benar menjadi proyek besar gagasan liberalisasi Islam di Indonesia. Beberapa program diskusi, seminar, resensi buku dan lain sebagainya diatur sedemikian rapi di beberapa institusi dan perguruan tinggi di Indonesia. Kebetulan, ketika di Jakarta, akhir bulan lalu, saya berkesempatan menghadiri salah satu dari program tersebut dan sempat melakukan dialog langsung dengan An Naim.

Karya pemikir asal Sudan yang kini menetap di AS ini merupakan hasil penelitian selama lebih kurang tiga tahun (2004-2006) yang dilakukannya di beberapa negara Muslim termasuk Turki, Mesir, Sudan, Indonesia, Nigeria, dan lain-lain. Ada beberapa catatan kecil yang menarik dari buku ini. Pertama, versi orisinal buku hingga sekarang belum terbit.

Rencananya tahun depan (2008) baru akan dicetak. Versi Indonesia ini sendiri diterjemahkan dari draft asli yang ditulis dalam bahasa Inggris. Tidak jelas apakah versi Indonesia ini sudah dianggap final oleh penulisnya atau masih akan mengalami perubahan. Kedua, dalam versi Indonesianya, buku ini ditutup dengan bab ketujuh yang secara khusus dan detail mensdiskusikan perdebatan penerapan syariah di Indonesia. Melihat berbagai literatur bahasa Indonesia yang dirujuk penulis, maka wajar jika muncul anggapan bahwa An Naim menguasai bahasa Indonesia dengan baik.

Tetapi, ketika saya berdiskusi langsung dengan dia, ternyata dia tidak menguasai bahasa Indonesia. Wajar, jika muncul pertanyaan tentang tentang otentisitas bab ketujuh ini: apakah ia benar-benar ditulis Prof An Na’im sendiri atau ada pihak lain di Indonesia yang menulisnya? Keraguan ini diperkuat lagi oleh versi Inggris buku tersebut yang sama sekali tidak memuat bab ketujuh seperti dapat dibaca dalam website www.law.emory.edu/fs.

Apresiasi kritis
Sebagai sebuah karya intelektual, buku An Naim ini layak untuk mendapatkan apresiasi. Namun demikian, ia hendaklah dibaca dengan nalar kritis dan dalam atmosfer yang akademis, bukan dengan semangat dogmatis apa lagi ideologis. Hal ini perlu ditekankan mengingat banyaknya kalangan cerdik cendikia Indonesia belakangan ini yang begitu saja mengadopsi sebuah pemikiran dan gagasan semata-mata karena ia diusung nama-nama besar dalam dunia belantara pemikiran Islam kontemporer.

Kalangan ini biasanya mengecam kelompok yang mereka beri cap ‘konservatif’ sebagai pihak yang tidak kritis dalam berinteraksi dengan tradisi pemikiran masa lalu. Padahal, para cendekiawan inipun juga sering terjebak pada siklus ketaklidan mengadopsi pemikiran orang lain tanpa kritis. Disebabkan sikap semacam itu, maka pada akhirnya mereka juga mengapresiasi secara berlebihan karya-karya yang berbentuk kritisisme terhadap Islam. Tulisan ini mencoba memberikan beberapa catatan kecil terhadap beberapa poin yang dilontarkan oleh pengarang buku ini sebagai bentuk apresiasi terhadap karya ini.

Jika kita mencermati pemikiran Prof An Naim selama ini, sebenarnya tidak ada yang baru. Ia hanya ingin menegaskan kembali apa yang pernah diungkapkannya dalam karyanya Towards an Islamic Reformation (1990) yang intinya menolak intervensi negara dalam penerapan syariat Islam karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Menurut An Naim, syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya bila diterapkan melalui negara. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara terhadap agama dan pemisahan secara kelembagaan anatara Islam dan negara, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam.

Dalam berbagai hal, ide An Naim ini sangat absurd, sebab beberapa perangkat hukum dalam syariah Islam meniscayakan campur tangan negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan dan keonaran. Dalam pelaksanaan hukum kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat, dan lain sebagainya, rasanya sulit membayangkan negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja, urusan pendidikan Islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman Islam, wakaf, dan sebagainya, telah melibatkan campur tangan negara. Dan itu berjalan biasa-biasa saja.

Ia juga mengingkari institusi mufti yang dalam salah satu diskusi dikecamnya sebagai very unIslamic (sangat tidak Islami). Bagi An Na'im, syariah adalah persoalan hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya. Dalam konteks tersebut, murid Mahmud Muhammad Taha ini sepertinya berpijak pada pemikiran postmodernis yang menolak segala bentuk otoritas.

Na'im selanjutnya menegaskan relativitas syariah, karena ia merupakan produk pikiran manusia terhadap Alquran dan Sunnah, dan oleh sebab itu ia tidak bisa terlepas dari pengaruh ruang dan waktu, konteks historis, sosial, dan politik penafsirnya. Syariah dengan demikian tidak suci, apalagi kekal dan permanen yang bisa berlaku untuk semua waktu dan tempat. Di sini Na'im seolah-olah mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki kemampuan mengakases, memahami, dan berinteraksi dengan Alquran dan Sunnah.

Pendapat Naim ini tidak banyak berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh berbagai pemikir sekuler lain seperti ‘Asymawi, Nasr Hamid, Syahrur, dan sebagainya. Pemahaman relativisme dan desakralisasi syariah semacam ini sangat berbahaya. Sebab, akan berimplikasi pada pemikiran bahwa agama itu sendiri adalah hasil kreasi manusia. Artinya, Islam adalah produk rekayasa pikiran manusia. Pendapat ini sangat berimplikasi panjang. Ia bukan hanya menegasikan nilai keskralan agama.

Na'im memang menawarkan kemungkinan penerapan syariah melalui jalur demokrasi. Ia mengatakan bahwa untuk menjadikan hukum Islam sebagai peraturan dan hukum publik, ia hendaklah mendapatkan approval dari apa yang disebutnya sebagai public reason. Bagaimanapun, Naim dengan cepat mengikatnya dalam bingkai konstitusionalisme modern dan prinsip HAM internasional.

Tidak konsisten
Sepintas konsep Na’im ini seperti logis dan menyejukkan. Ia memberikan angin segar bagi umat Islam untuk menjalankan syariahnya. Apalagi Na'im dengan tegas menyatakan bahwa setiap perundangan dan peraturan publik haruslah merefleksikan keyakinan dan nilai-nilai masyarakatnya. Logikanya, jika publik menghendaki penerapan hukum qishash, hudud, poligami, dan berbagai produk hukum lain yang selama ini dikecam keras, seharusnya hukum itu diadopsi dan dijadikan peraturan serta hukum publik. Tapi ternyata Na'im menolak hal tersebut. Karena dalam penilainnya, hukum-hukum tersebut bertentangan dengan norma, nilai, dan prinsip HAM.

Di sini Na'im terlihat tidak konsisten. Pada satu sisi ia menginginkan demokrasi, tapi pada tarikan napas yang sama ia juga bersifat otoriter, karena memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan masyarakat. Na'im juga terlihat tidak konsisten dalam mengapresiasi prinsip HAM. Apa yang mendorong Na’im mengabsolutkan dan mengidealkan International Convention of Human Rights. Bukankah ia juga produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting sosial-politik dan kerangka filosofis religius sekuler para pencetusnya.

Atas alasan apa Na’im kemudian menjadikan HAM tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat (binding) atas masyarakat dunia lain. Bukankah Na’im percaya bahwa sebuah hukum harus lahir dari nilai masyarakat itu sendiri? Bukankah pemaksaan convention ini sama dengan pengingkaran atas nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Karena itu, mencermati pemikiran Naim semacam ini, sungguh mengherankan jika ada profesor kenamaan yang berani menyatakan, bahwa pemikiran Naim sangat relevan untuk Indonesia!

Republika, Kamis, 9 Agustus 2007

No comments: