Monday, September 3, 2007

Jangan Lagi Mengemis Kata "Maaf"!

Oleh Herry Tjahjono

Beberapa tahun lalu, TKI ilegal di Malaysia ramai diberitakan akan dipulangkan (baca: diusir). Waktu itu ada yang sebagian dikejar-kejar karena ngotot menuntut gajinya. Kasus TKI ilegal itu cermin bahwa bangsa dan rakyat Indonesia adalah manusia-manusia yang kalah "di luar". Namun, sejatinya, kita semua juga adalah manusia-manusia yang kalah "di dalam (negeri)" sendiri.

Hari-hari ini kita dikejutkan oleh pemukulan semena-mena polisi Malaysia terhadap wasit dari Indonesia karena "dianggap" TKI ilegal. Kasus ini merupakan simbol telak manusia Indonesia tanpa martabat di mata orang luar. Ekstremnya, di mata (orang) Malaysia, kita hanyalah "sekumpulan" bangsa TKI ilegal. Maka, siapa pun kita orang Indonesia ketika berada di negeri jiran itu, jika penampilan fisikal kita cenderung mirip TKI ilegal, sangat mungkin kita mendapatkan perlakuan yang sama.

Dalam kasus yang lain, kita tentu masih ingat Sutiyoso juga diperlakukan kurang sedap di Australia. Telah tercipta stigmatisasi negatif dari negara-negara luar terhadap bangsa Indonesia.

Martabat bangsa luluh lantak! Secara psikologis, gejala luluh lantaknya martabat bangsa itu ditandai oleh merebaknya prasangka orang luar terhadap kita. Prasangka (prejudice) lebih intens dan jahat dari ketidakpercayaan (distrust). Bangsa kita bukan hanya tidak dipercaya orang luar, tetapi sudah diprasangkai.

Dan prasangka itulah yang terjadi pada wasit kita di Malaysia. Dia bukan TKI ilegal, dia tak berbuat apa pun, tetapi karena diprasangkai sebagai TKI ilegal sebagai cermin "serba buruk dan menyebalkan" orang Indonesia, dia diperlakukan semena-mena.

Prasangka sendiri secara bebas bisa diartikan sebagai sebuah sikap (mental) yang tak kondusif, merugikan (kedua pihak), negatif, yang mengarah pada anggota kelompok atau kelompok tertentu. Prasangka ini sungguh jahat dan sering tidak manusiawi. Orang- orang yang kepribadiannya dipenuhi prasangka ini sendiri tentu saja tidak sehat (patologis), irasional, dan subyektif. Dan jelas, negara-negara tetangga (baik oknum maupun sebagai kelompok bangsa) yang dipenuhi prasangka terhadap kita juga patologis secara kejiwaan.

Kondisi kita sebagai "obyek" prasangka ini juga tak kalah sakitnya secara kejiwaan sebab hal ini merupakan simtom dari martabat bangsa yang tergerus. Itu sebabnya sebagai obyek prasangka kita juga cenderung berperilaku patologis juga. Tandanya, kita juga cenderung reaktif-emosional, irasional, dan subyektif: mau membalas dengan prinsip an eye for an eye, melakukan sweeping orang Malaysia, dan mengusir atletnya, dan banyak lainnya.

Namun, bukan itu esensi masalahnya! Ini problem kepemimpinan bangsa. Salah satu tugas utama pemimpin adalah menegakkan martabat organisasi (Indonesia) dan segenap anggotanya (rakyat). Jika rakyat kehilangan martabat dan dijadikan obyek prasangka, bukan mereka yang salah, tetapi para pemimpinnya.

Kita tidak bisa melawan mereka dengan sikap-perilaku patologis juga (serba reaktif, irasional, subyektif). Maka kepemimpinan para pemimpin haruslah "sehat", tidak patologis: semua sikap dan perilaku kepemimpinan harus dilandasi oleh proses kerja dan tujuan yang "rasional-obyektif". Rasional-obyektif berhubungan dengan data dan fakta, tidak hanya opini atau sikap reaktif. Maka proses dan tujuan kepemimpinan adalah bagaimana mengubah "data dan fakta" kondisi rakyat: dari status para TKI ilegal, yang liar mengendap-endap mencari sesuap nasi di negara-negara tetangga, disiksa, diperkosa, dibunuh, berubah menjadi tuan di negeri sendiri (yang tidak kelaparan, tak lagi kelayapan karena tak punya rumah, dan aman bekerja di negeri sendiri).

Para penguasa atau petinggi negeri ini adalah orang-orang hebat dan sukses, tetapi belum tentu mereka layak disebut pemimpin sukses—pendapat John Maxwell—jika mereka belum mampu menemukan "tempat" yang tepat bagi pengikutnya (rakyat).

Banyaknya rakyat yang jadi TKI ilegal merupakan refleksi bahwa mereka belum punya tempat yang tepat, bahkan di negerinya sendiri. Maka para saudaraku, jangan lagi menuntut (baca: mengemis) kata "maaf" dari Malaysia. Itu justru refleksi dari tergerusnya martabat kita sampai ke titik nadir. Kita tak perlu maaf, kita perlu rasa hormat mereka. Dan itu tugas para pemimpin untuk bekerja lebih "sehat"!

Herry Tjahjono Corporate Culture Therapist dan Penulis Buku The XO Way

Sumber: Kompas, 3 September 2007

2 comments:

jalin said...

setuju ! jangan mengemis kata maaf,kita tidak bersalah.bangsa ini harus membela kehormatan bangsanya meski darah jadi taruhan.visit my site too
ST3 Telkom
and follow my social media instagram please :
Jalin Atma

Zahid Hamidi said...

Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya dan beliau juga membantu untuk melariskan usaha/dagangan saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekarang saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) atau anda yg punya usaha ingin melancarkan usaha anda jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...