Monday, September 3, 2007

Bangsawan Pikiran

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

DOKTER Abdul Rivai yang juga wartawan pada awal abad ke-20 memperkenalkan istilah "bangsawan pikiran". Istilah ini dibedakannya dengan "bangsawan usul".

Pada edisi perdana (1902) majalah Bintang Hindia, Abdul Rivai menulis "Tak ada gunanya lagi membicarakan "bangsawan usul", sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek moyang kita keturunan bangsawan, maka kita pun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaian kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan "bangsawan pikiran".

Sudah lama saya tak mendengar istilah "bangsawan pikiran". Karena itu saya tersentak senang ketika Dr. Yudi Latif dari Universitas Paramadina menyebutkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta di Taman Ismail Marzuki Jakarta 24 Agustus 2007. Yudi Latif berbicara tentang: Mencipta tanda, memuliakan kembali pikiran.

Setiap studen modernisasi niscaya mengetahui betapa pentingnya mewujudkan perubahan dari yang serba tradisional dan feodal ke tahapan modern dan demokratis. Dalam proses itu orang-orang yang mewakili dan membawakan "bangsawan pikiran" memegang peran utama. Merekalah yang memimpin perjuangan membebaskan anak bangsa dari penjajahan asing.

Waktu memberikan ceramah mengenai kebangsaan (nasionalisme) di depan dua ratusan mahasiswa baru Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia 21 Agustus 2007, saya bercerita tentang para siswa Sekolah Dokter Djawa yang kemudian berubah jadi STOVIA, tentang Budi Utomo yang didirikan 20 Mei 1908, Sarekat Islam tahun 1911, Muhammadiyah tahun 1912. Dr. Wahidin, Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Soetomo bergerak di Budi Utomo, H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim di Sarekat Islam, mereka boleh dibilang adalah penating "bangsawan pikiran".

Perlawanan terhadap tradisionalisme dan feodalisme dilukiskan oleh cerita berikut. Tahun 1914 SI (Sarekat Islam) Semarang menggelar demo. Waktu itu para demonstran mengusung sebuah semboyan yang menyatakan bahwa orang Jawa tidak sudi lagi duduk jongkok seperti seekor kodok. Di rumah bola (societait) SI di Surabaya orang tidak boleh lagi duduk di lantai dan semua anggota harus memakai pantalon.

Memakai pakaian Barat mengakhiri busana tradisionil yang dengan motif dan kombinasi warnanya menunjukkan status pemakainya. Putra mahkota Mataram Yogyakarta mengunjungi ketua SI Malang ketika meletus wabah penyakit sampar dan ningrat keraton itu berbicara dalam bahasa Jawa-kromo, bukan Jawa-ngoko. Jelas suatu perubahan sedang menjelma.

Bila Budi Utomo tidak mempunyai banyak jumlah anggota, Sarekat Islam mengkalim punya dua juta anggota. Bila disimak pers Sarekat Islam pada tahun 1916, maka di situ disebutkan bahwa Islam adalah semen yang memadukan jutaan orang Indonesia, juga bahwa Islamlah yang memajukan nasionalisme dan cinta tanah air. SI tidak hanya memiliki sifat Islam, tapi juga sikap antikapitalis.

Kaum kapitalis asing membikin rakyat Indonesia tetap miskin. Kaum penjajah memperoleh banyak keuntungan dari industri minyak bumi dan gula, tapi orang Indonesia sama sekali tidak memperoleh manfaatnya. Para SI terutama menyorot penanaman gula tebu. "Pabrik-pabrik gula adalah racun bagi orang Jawa" kata koran-koran SI.

Hal paling menarik dari sejarah nasionalisme pada masa awal abad ke-20 ialah terdapatnya golongan Islam dan golongan Marxisme dalam satu organisasi SI. Tidak ada masalah. Baru kemudian setelah orang-orang merah disingkirkan dari SI, kedua golongan itu mengambil posisi berseberangan.

Hal lain yang menarik ialah bahwa Hatta dan Sjahrir yang menjadi mahasiswa di negeri Belanda pada dasawarsa 1920-an tertarik oleh Marxisme, sedangkan Soekarno yang belajar di Bandung lewat bacaan perpustakaan juga sampai pada sikap sama menjadi sosialis. Soekarno - Hatta - Sjahrir adalah antikapitalis, antiekonomi kolonial, antiekonomi eksploitasi, dan mereka menjadi nasionalis untuk membebaskan bangsa Indonesia dari genggaman kolonialisme, sekaligus berideologi sosialis dalam mengurus kehidupan bangsa Indonesia.

Para "bangsawan pikiran" telah mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, memimpin perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan memperoleh pengakuan internasional atas keberadaan RI dan selanjutnya selalu ada di tengah perkembangan negeri ini. Kini Indonesia telah merayakan HUT ke-62 kemerdekaannya. Gambaran apakah yang tampak?

Dr. Yudi Latif mengatakan di seminar Akademi Jakarta "Terdapat tanda-tanda bahwa "pikiran" tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh "kebangsawanan baru" (kroni dan kekayaan"). Ditambahkannya "penaklukan daya pikiran oleh "kebangsawanan baru" membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya?

Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki dan memperbaharui dirinya. Tanpa kapasitas pembelajarannya, bangsa Indonesia (secara keseluruhan) bergerak seperti zombie. Kian hari penduduk kota-kota (metropolitan) di Indonesia kian terperangkap dalam jejaring keluhan.

Bersama eskalasi pertumbuhan supermal yang dibangun di sembarang tempat, rongga-rongga ruang publik sebagai arena belajar kolektif, pertukaran pikiran dan kreativitas budaya kian menyempit. Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati negerinya atau temanya: "yang muda malas, yang tua gatal; kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan".

Tinggallah saya bertanya: di mana engkau "bangsawan pikiran"?***

Penulis, wartawan senior Indonesia.

Sumber: Pikiran Rakyat, 3 September 2007

No comments: