Sunday, March 25, 2007

Perempuan di Tengah Sastra dan Agama

Mariana A Sardino
Pengamat sastra dan perempuan

Hubungan antara sastra dan agama lebih-lebih jika di tengahnya ada sosok berjender perempuan tetap menarik untuk diperdebatkan. Sebabnya, masalah yang sesungguhnya amat klasik ini belum kunjung mendapatkan semacam 'titik temu' di antara para sastrawan maupun agamawan.

Di tengah-tengah wacana itu, bahkan kaum perempuan penulis terjepit di antara tuntutan kekebasan berekspresi dan batasan-batasan agama. Di satu sisi, etos kreatif menuntut kebebasan berekspresi dalam keliaran imajinasi. Sementara, di sisi lain, etika agama memberi batasan wilayah yang dapat dijelajah oleh kebebasan itu. Jika seorang sastrawan melampaui batasan itu akan dianggap melanggar etika agama, bahkan dapat mengundang reaksi keras dari kalangan pemeluk agama yang bersangkutan.

Adalah menarik untuk membandingkan dialektika antara sastra, agama dan perempuan di masyarakat beragama yang cenderung homogen seperti di Indonesia, dengan dialektika serupa yang terjadi di negara multikultural seperti Kanada. Dan inilah yang terjadi dalam seminar Perempuan dalam sastra dan Agama di Jakarta, 22 Maret 2007, yang lalu.

Meskipun hanya menampilkan tiga novelis perempuan dan seorang akademisi sastra Camilla Gibb (Canada), Abidah el Khalieqy dan Ayu Utami serta Maman S Mahayana (Indonesia) tesis-tesis yang mengemuka cukup menarik untuk disimak. Setidaknya, tiga kubu pendapat tentang hubungan antara perempuan, sastra dan agama, terwakili dalam seminar tersebut. Ayu Utami mewakili kubu yang memberontak terhadap batasan moral dan agama serta menempatkan perempuan sebagai 'manusia bebas' termasuk bebas dari batasan tabu.

Sebaliknya, Abidah mewakili kubu yang berpendapt bahwa agama semestinya dipandang sebagai perangkat nilai yang memuliakan dan mengangkat harkat serta derajat kaum perempuan. Sedangkan Camilla Gibb cenderung moderat, karena memang tumbuh di lingkungan masyarakat multikultural yang sangat siap memahami perbedaan. Dan, di antara kubu-kubu itu jika memang dapat disebut demikian Maman tampil sebagai 'penengah' dalam pengertian melihat wacana-wacana yang muncul dengan kacamata akademisi.

Sastra atau kesastraan pada dasarnya tidak pernah membatasi kebebasan berekspresi dan beimajinasi para kreatornya. Para novelis besar dunia, seperti Dan Browm dan Najib Mahfud, sukses justru karena mempraktekkan kebebesan itu. Yang ada, barangkali jika dapat sisebut sebagai pembatasan, adalah konvensi yang berkait dengan genre dan tipologi karya sastra itu sendiri.

Untuk puisi, misalnya, konvensi adalah tuntutan untuk memperhatikan tipografi, rima, ritme, dan majas, demi keindahan puisi itu sendiri sebagai seni bahasa. Sedangkan fiksi, cerpen maupun novel, dituntut untuk memenuhi unsur-unsur pembangun cerita, seperti alur, plot, ending, penokohan dan karakterisasi. Ini juga demi daya tarik fiksi itu sendiri.

Tetapi, di luar konsvensi sastra itu ada masyarakat pembaca yang peradaban dan budayanya (termasuk etika dan moralnya) sudah dibentuk oleh nilai-nilai yang sudah diwariskan secara turun-temurun, terutama nilai-nilai moral dan agama. Nilai-niliai inilah yang pada akhirnya akan sering berbenturan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh karya sastra, karena kepada masyarakat yang sudah memiliki perangkat nilai itulah karya sastra itu 'dipertaruhkan'.

Jika begitu, apakah nilai-nilai moral dan agama yang oleh kalangan 'pemberontak nilai' seperti Ayu Utami dianggap membelenggu kretivitas itu yang salah? Apakah demi sastra, demi kebebasan berekspresi dan berimajinasi itu, moral dan agama tidak diperlukan lagi atau bahkan harus ditolak. Secara implisit, dilihat pada novel-novel dan esei-eseinya (terutama esei tentang seks) Ayu berkecenderungan demikian. Sedangkan Abidah berkecenderungan sebaliknya, dan menurutnya yang salah adalah pemahaman manusia tentang agama, bukan agama itu sendiri.

Dalam seminar tersebut, Ayu bahkan sempat mengemukakan kesumpekannya dalam lilitan nilai-nilai moral dan agama, dan lilitan itu makin kompleks karena ia berjenis kelamin perempuan. Sebabnya, dalam masyarakat Timur (Asia), perempuan 'dibelenggu' oleh batasan-batasan ketabuan -- salah satu ekspresi moral masyarakat Timur. ''Berjenis kelamin perempuan, ber-ras Asia, dan beragama Katolik, mempengaruhi ruang gerak saya sebagai penulis,'' katanya dalam seminar itu.

Tetapi, di mata Abidah, yang salah bukan agama, namun pandangan orang yang pandir dan penuh kepentingan jender (laki-laki) tentang agama. Menurutnya, biang kerok semua itu adalah budaya dan pemahaman agama yang keliru. Banyak tafsir agama yang bermuatan budaya laki-laki, untuk kepentingan laki-laki, dan merampas hak perempuan. Karena itulah, melalui karya-karyanya, seperti novel Gani Jora, Abidal mencoba membela kaum Muslimah dalam mendapatkan haknya. Dan, hak itu, menurutnya, telah diatur dalam Alquran.

Tumbuh di tengah masyarakat yang multikultural, sebagai seorang non-Muslim, Camilla Gibb justru memiliki pandangan yang jernih tentang nilai-nilai agama dan praktek keberagamaan di masyarakat (Muslim). Lewat sosok Lily dalam novel Sweetness in the Belly ia memotret pemeluk Islam yang sejati, jauh dari kesan teroris.

Satu-satunya semangat yang diperlihatkan Gibb adalah membela kaum perempuan yang tertindas, bukan mendiskreditkan moral atau agama. Di tangan Gibb, karya sastra atau novel, menjadi media untuk membela nasib kaum perempuan dari ketertindasan, tanpa menyalahkan agama. Dan, ini pula yang diperlihatkan novel-novel Abidah.

Ayu sebenarnya memperlihatkan semangat pembelaan yang sama, namun ia menjadikan moral dan agama sebagai 'kambing hitam'. Akar penyebabnya jelas: yang diperjuangkan Ayu adalah 'kebebasan seksual' bagi kaum perempuan. Sedangkan Gibb dan Abidah memperjuangkan harkat, martabat dan kebebasan perempuan dari segala bentuk penidasan.

Dalam semangat seperti di atas, karya sastra (novel), dalam pandangan Maman S Mahayana, dapat menjadi media penyadaran atau semacam pencerahan. Pembaca novel tanpa sadar seperti memperoleh penyadaran, betapa penindasan dan penganiayaan perempuan terjadi di mana-mana atas nama martabat keluarga, norma sosial, keluhuran budaya, bahkan kesucian agama.

( )

Republika, 25 Maret 2007

1 comment:

Anonymous said...

(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
(Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
Oleh Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayawan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Katrin Bandel, dan Triyanto Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan - sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see yourself dan How you see others, How others see you dan How others see themselves, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, sangat tidak sempurna, tidak sempurna, cukup sempurna, mendekati sempurna, dan sempurna dari lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)