Monday, August 13, 2007

Indonesia 3.0

Oleh Adi Ekopriyono

JUDUL tulisan ini saya kutip dari working paper yang disajikan Indonesia Marketing Association (IMA) dalam acara "Prof Philip Kotlerís Public Institutional Dinner Night" di Jakarta, 7 Agustus lalu. Kebetulan saya datang di acara yang diisi presentasi pakar pemasaran dunia Philip Kotler dan dihadiri Wapres Jusuf Kala tersebut.

Dalam working paper itu disebutkan, Indonesia 1.0 terjadi pada 1945 sampai 1965 ketika pertanian menjadi tulang punggung ekonomi. Indonesia 2.0, terjadi pada 1967 sampai 1997 ketika industri menjadi tulang pungung ekonomi. Indonesia 3.0 adalah era Indonesia 2005 sampai 2025. Itu adalah era sosial budaya yang ditandai dengan persaingan produktivitas dan kreativitas, dikendalikan oleh teknologi informasi-komunikasi. Pada 2025, diprediksi Indonesia sudah mandiri, maju, adil, dan makmur; dan 2030 sudah menjadi negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan alam.

Penahapan itu, mengadopsi pemikiran futurolog Alvin Toffler yang membagi peradaban manusia dalam tiga gelombang perekonomian, yaitu pertanian, industri, dan informasi. Gelombang ketiga dikenal dengan kredo "informasi adalah kekuatan. Barang siapa menguasai informasi, akan menggenggam dunia".

Membaca working paper itu dan mendengar presentasi Philip Kotler tentang nation marketing (pentingnya pemasaran bagi negara yang ingin menang dalam persaingan global), saya teringat pernyataan almarhum Nurcholish Madjid. Cendekiawan muslim itu mengungkapkan, kendala pembangunan masyarakat Indonesia adalah kesenjangan peradaban. Masih ada sebagian masyarakat yang hidup dengan peradaban pertanian, sebagian industri, sebagian lagi sudah informasi. Jadi, tiga gelombang versi Toffler itu semuanya ada di Indonesia pada saat bersamaan.

Kesenjangan tersebut merupakan tantangan internal yang tidak ringan dalam pengembangan masyarakat menuju kultur yang baru untuk membangun peradaban masa depan (creating new culture for building next civilization). Tantangan eksternal berupa penetrasi budaya asing yang dibawa arus globalisasi.

* * *

SAYA setuju Indonesia 3.0 adalah era sosial budaya. Itulah sebabnya, secara ideal pembangunan masyarakat pun dilandasi dengan penguatan sosial budaya lokal. Kreativitas yang didorong oleh teknologi informasi-komunikasi tidak boleh memperkeruh atau merusak sendi-sendi sosial budaya tersebut.

Boleh saja kita mengembangkan atau menggunakan teknologi secanggih apa pun, namun jangan sampai teknologi justru memperlemah nilai-nilai (values), jejaring (networking), dan kepercayaan (trust) yang selama ini sudah menjadi modal sosial. Begitu pula, jangan sampai teknologi justru menggerogoti budaya-budaya lokal yang sebenarnya merupakan kekayaan bangsa ini.

Prediksi Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur pada 2025 tidak akan terwujud kalau teknologi tidak diterapkan untuk memperkuat bangunan sosial budaya. Kita layak belajar dari kegagalan pembangunan di berbagai negara yang selama ini kurang memperhatikan faktor sosial budaya lokal. Sebaliknya, kita harus memperkuat sosial budaya, karena keduanya merupakan elemen penting dalam pembangunan citra bangsa (nation image building) di mata internasional.

Saya juga setuju, bahwa Indonesia 3.0 adalah Indonesia yang harus berlomba-lomba mengembangkan produktivitas dan kreativitas dengan basis yang kuat dalam nilai-nilai. Itu artinya, produk-produk yang kita hasilkan haruslah berorientasi kepada mutu. Kreativitas yang kita bangun harus mengarah kepada peningkatan kualitas. Tapi masalah itu tidak sepele, karena menurut beberapa penelitian, kebanyakan orang Indonesia tidak berorientasi kepada mutu.

* * *

DALAM konteks itulah, maka sangat penting menempatkan sosial budaya lokal sebagai landasan kokoh bagi pembangunan peradaban masa depan. Bukan sosial budaya yang sudah sangat terkontaminasi oleh gempuran budaya-budaya asing yang masuk melalui wajah "pembangunisme" yang kapitalistis.

Bangsa-bangsa yang maju dan berhasil dalam untaian nilai-nilai global, justru bangsa-bangsa yang kokoh secara sosial budaya lokal mereka. Jepang adalah salah satu contoh; tetap mempertahankan, bahkan memanfaatkan kekuatan lokal itu untuk bersaing.

Salah satu kekuatan itu, oleh Francis Fukuyama disebut trust. Ingin contoh yang lebih dekat? Bali! Pulau Dewata itu pun go international dengan landasan kekuatan lokal.

Nah! Apakah pada usia ke-62, Indonesia tetap akan mengabaikan unsur sosial budaya dalam pembangunan masyarakatnya? Apakah kita masih melanjutkan gaya sebagai orang yang kagetan dan gumunan menghadapi arus globalisasi? Kalau jawabnya "ya", maka Indonesia 3.0 tidak akan mencapai cita-cita mandiri, maju, adil, dan makmur.

Sudah saatnya, bangsa ini bangkit berlandaskan kekuatan sosial budaya lokal. Seperti bangkitnya Mbah Maridjan yang etos lokalnya tidak luntur oleh kemajuan teknologi. "Rosa, rosa...!"

Oke! Dirgahayu Indonesiaku! Merdeka! (68)

-- Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka di Semarang.

Suara Merdeka, 13 Agustus 2007

Timor Leste dan Soal Bahasa Indonesia

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

XANANA Gusmao begitu ditunjuk sebagai Perdana Menteri Timor Leste oleh Presiden Jose Ramos Horta langsung diprotes oleh partai Fretilin dan akibatnya kerusuhan dan pembakaran di Ibu Kota Dili dan di Baccao.

Pasalnya, Fretilin dalam pemilu yang baru berlangsung, hanya meraih 21 kursi dari 65 kursi parlemen, tak cukup untuk memerintah sendiri. Partai Xanana memperoleh 18 kursi dan tidak mau bekerja sama dengan Fretilin dalam sebuah kabinet koalisi. Akhirnya CNRT parpol Xanana membentuk aliansi dengan beberapa parpol lain dan Presiden Horta menggunakan hak konstitusionalnya untuk menunjuk PM. Tapi, akibatnya demo dan huru-hara mengancam stabilisasi dan sekuriti.

Sepertinya Republik Timor Leste tak putus dirundung malang. Selain masalah politik, militer, ekonomi yang meminta perhatian pemerintah ada pula masalah lain yang kurang diketahui oleh kita yang bikin sakit kepala yaitu masalah bahasa, tegasnya bahasa resmi yang diakui oleh konstitusi, jumlahnya dua, Tetum dan Portugis.

Sekitar tiga tahun yang lalu seorang warga Australia, kandidat doktor ilmu politik datang kepada saya untuk mengumpulkan bahan bagi penulisan disertasinya. Ternyata dia ahli dalam soal Timor Leste, sering riset ke negeri itu dan dia bercerita kesulitan yang dihadapi oleh para pelajar sekolah menengah akibat digunakannya Portugis sebagai bahasa pengantar atau pembelajaran. Kebanyakan pelajar dan mahasiswa akibat Timor Timur (Timtim) selama 25 tahun jadi provinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak paham bahasa Portugis dan hanya menguasai bahasa Indonesia. Maka, tiap pelajaran yang diberikan harus diterjemahkan dulu dalam bahasa Indonesia. Ini memakan waktu habis terbuang dan energi diarahkan kepada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu bila pemerintah Timor Leste mengambil sikap praktis serta realistis. Ilmuwan Australia itu berkata bahwa pengaruh mendalam bahasa Indonesia tidak bisa dihilangkan begitu saja. Bahasa Indonesia sudah menjadi alat komunikasi sehari-hari di pasar tempat berdagang, dalam pergaulan di antara warga yang berasal dari daerah dan kota lain yang berbeda-beda.

Saya membaca laporan wartawan Seth Mydans dalam International Herald Tribune (24-7-2007) tentang sidang pengadilan negeri di mana hakim bertanya kepada seorang saksi dalam bahasa Portugis yang tidak dipahaminya, juga tidak oleh terdakwa dalam suatu perkara pembunuhan. Bahasa sehari-hari yang luas dipakai ialah bahasa Tetum dan bahasa Indonesia. Selama seperempat abad bahasa Portugis menjadi bahasa mati, hanya diucapkan oleh generasi yang lebih tua. Setelah Timor Timur jadi negara merdeka tahun 2002, yang tadinya terpinggirkan menjadi arus utama kembali dan arus utama dipinggirkan.

Bahasa buletin resmi Zacharias da Costa (34) dosen dalam manajemen konflik di Universitas Nasional Timor Timur berkata, "Saya telah menyelesaikan dua peringkat bahasa Portugis, tapi saya masih belumb isa mempergunakannya dengan baik hanya bahasa Portugis dasar. Dalam waktu lima tahun, menurut rencana pemerintah, saya harus memberikan semua kuliah dalam bahasa Portugis, suatu bahasa yang nyaris tak terdengar di kampus sini".

Sebuah papan buletin resmi yang terdapat di pintu universitas memuat 14 buah maklumat dari pihak guru. Delapan maklumat ditulis dalam bahasa Tetum, 4 dalam bahasa Indonesia dan, 2 dalam bahasa Inggris. Tidak satu pun yang ditulis dalam bahasa Portugis.

PBB melaporkan pada tahun 2002 bahwa hanya 5 persen dari penduduk Timor Leste yang 800.000 jiwa itu berbicara dalam bahasa Portugis. Dalam sensus tahun 2004, 36 persen mengatakan "mereka punya kemampuan dalam bahasa Portugis". Sebanyak 85 persen mengklaim mampu dalam bahasa Tetum, 58 persen dalam bahasa Indonesia, dan 21 persen dalam bahasa Inggris. UUD baru menyebutkan Portugis dan Tetum sebagai dua bahasa resmi, tetapi Tetum dianggap belum berkembang dan kebanyakan urusan resmi negara dilaksanakan dalam bahasa Portugis. "Ini adalah sebuah keputusan politik, dan saya harus melaksanakannya, suka atau tidak suka," ujar Hakim Maria Pereira dari Pengadilan Negeri Dili yang telah mengikuti kursus kilat bahasa Portugis dan kin menulis vonisnya dalam bahasa Portugis yang lumayan.

Beberapa orang muda yang berbicara dalam bahasa Indonesia yang pada mulanya menentang bahasa Portugis kini mengatakan terima penggunaannya sebagai sebuah stasiun-antara ke arah bahasa Tetum. Sudah 80 persen dari Tetum terdiri atas kata pinjaman Portugis atau kata yang dipengaruhi oleh bahasa Portugis

Suatu rencana lain datang dari Presiden Jose Ramos Horta, salah satu pencipta pemakaian bahasa Portugis sebagai bahasa resmi. "Kini kita harus memikirkan kembali politik bahasa kita. Sebagai langkah pertama, bahasa Inggris dan Indonesia harus diangkat ke status bahasa-bahasa resmi. Saya tak melihat masalah dengan sebuah negara punya empat bahasa resmi. Masalah-masalah bahasa mungkin menyibukkan pikiran Timor Leste selama bertahun-tahun yang akan datang. Sekali rakyat sudah terbiasa akan empat bahasa resmi, kita bisa memberikan kepada rakyat pilihan untuk memilih dua daripadanya sebagai bahasa-bahasa yang diwajibkan," kata Horta.

Saya pikir pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat Timor Leste tidak akan hilang selama Republik Indonesia memelihara hubungan baik dengan Republik Timor Leste, dan selama hubungan dagang dan pertukaran barang dapat berjalan lancar.***

Penulis, wartawan senior Indonesia.

Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2007

Dunia Pendidikan Belum Merdeka

Oleh Dr. DEDI SUFYADI

BULAN Agustus ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak kuat bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Rupanya mereka masih berjuang merebut kemerdekaan.

Kemerdekaan merupakan hak setiap bangsa untuk dapat diperjuangkan di muka bumi ini. Begitu pula halnya kemerdekaan di dunia pendidikan kita, masih harus terus diperjuangkan. Saya benar-benar terharu, yang namanya wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (Wajar Dikdasmen) masih dicemari oleh berbagai pungutan yang sangat membebani para orang tua yang lagi kesusahan. Abang becak, pegawai pabrik yang kena PHK; PNS jujur semuanya menjerit ketika mendaftarkan anak tercintanya ke SD, SMP atau SMA Negeri diharuskan menyerahkan uang masuk yang sudah dipatok oleh pihak sekolah dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Begitu pula halnya UU guru dan dosen yang sudah capai-capai dilahirkan oleh para anggota DPR yang terhormat kenyataannya tak ada bedanya dengan UU pokok agraria. Memang, apa hendak dikata kita ini sudah terkenal pandai membuat konsep tapi belum pandai menerapkannya.

Kemerdekaan di dunia pendidikan kita tampaknya masih berupa angan-angan. Sekali lagi saya sangat terharu. Ketika pada bulan Juli lalu, banyak orang tua menjerit karena anak tercintanya masuk SMP, SMA bahkan perguruan tinggi (PT) mesti pakai duit dengan jumlah semakin melangit. Jadinya orang berada menderita, orang tak punya sengsara. Ini lah salah satu tanda dunia pendidikan kita belum merdeka. Kemerdekaan ternyata belum juga dirasakan oleh kebanyakan guru dan dosen. Guru sebenarnya lebih mending, PP nya lagi dibikin; tetapi bagaimana dengan PP dosen ?. Tampaknya dosen mah jalan sendiri saja lah. Oleh karenanya tak usah lah tanya-tanya. Mengapa kita kalah maju sama Malaysia ?. Mengapa Vietnam masuk delapan besar, sedangkan PSSI tidak ?. Kita tahu sendiri lah jawabnya. Dunia pendidikan kita belum merdeka.

Ironis memang. Di satu pihak orang kecil begitu bersemangatnya ingin menyekolahkan anak tercintanya guna merubah nasib keluarga, namun di pihak lain biaya sekolah yang membumbung tinggi menghadangnya bagai barrier yang mesti dilewati. Akhirnya di musim PSB/PMB, pegadaian bahkan rentenir kebanjiran konsumen.

Yang tidak bisa menggadaikan barang dan tidak mau pergi ke rentenir, terpaksa dengan deraian air mata melepas anaknya ke perempatan jalan. Jadi pengamen dan atau pedagang asongan. Memang, kemiskinan amat dekat dengan kebodohan.

Dunia pendidikan kita ternyata baru bisa menciptakan kesenjangan. Senjang kaya - miskin, karena memang dunia pendidikan kita tren nya seperti untuk orang kaya saja. Saya kira cukup sulit bagi orang miskin untuk bisa memasukkan anaknya ke SMP Negeri, bila diharuskan bayar ratusan ribu rupiah.

Dunia pendidikan kita belum merdeka sangat dirasakan oleh para tukang becak, ketika diharuskan membayar biaya sekolah anaknya yang disamakan dengan anak para pengusaha. Penyamarataan bayaran biaya sekolah rasanya kurang adil, sama halnya dengan pembedaan layanan guru terhadap anak orang kaya dan anak orang miskin. Dalam hal ini lah pemerintah mesti turun tangan, jangan hanya pada saat kampanye saja.

Terus terang kita prihatin melihat perpustakaan yang tak menarik untuk dikunjungi, melihat ruang kelas bagaikan kandang ayam; melihat pungutan pada siswa baru dengan dalih yang terasa di buat-buat.

Apa lagi dunia pendidikan tinggi kita sekarang ini cenderung didominasi oleh orang yang berduit saja. Hitungannya sudah bukan jutaan lagi tapi puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Bayangkan saja untuk bisa kuliah melalui jalur apa lah namanya di Fakultas Kedokteran Unsoed, orang tua harus mampu menyediakan uang 100 jutaan rupiah. Sekarang ini yang boleh dikatakan paling murah hanya ke Fakultas Pertanian, karena memang mencangkul sih pekerjaan yang sedang terpinggirkan.

Ironis sebenarnya orang-orang kampus sendiri yang hidupnya hanya untuk ilmu, kesejahteraannya boleh dibilang kurang menggembirakan bila dibandingkan dengan orang kampus yang kerjanya seperti burung alap-alap.

Kemerdekaan pendidikan di negeri ini boleh dikatakan semakin luntur. Anggaran BOS menggelontor, tapi orang tua murid selalu dihantui oleh keharusan beli buku. Buku gratis pemberian pemerintah, tampaknya sudah tinggal kenangan. Dulu waktu zaman normal kita itu masih bisa baca buku milik negara. Sekarang mah baca buku pinjam dari kakak kelas pun sering terganggu oleh yang namanya pembaruan kurikulum.

Saya kagum pada Bupati Kabupaten Muba Provinsi Sumsel yang telah mampu melaksanakan Wajar 15 tahun secara gratis alias tanpa pungutan (Republika, 6/7-2007). Saya hormat walaupun belum puas pada Bupati Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat yang telah mampu menolak permintaan izin penjual buku pelajaran ("PR"

, 3/7-2007). Saya gembira walaupun belum nyata pada Wali Kota Bandung yang mau menaikkan gaji guru ("PR", 25/7-2007). Namun saya masih prihatin melihat gonta-ganti kurikulum lalu gonta-ganti buku pelajaran. Saya prihatin melihat bandelnya UN lalu bimbingan test semakin marak. Dikemanakan wibawa orang tua yang tidak mampu menyayangi anaknya lewat bimbel ?. Apa khabar para pengajar di sekolah, yang kemerdekaannya terus diganggu ??. Guru yang dibanggakan tergerus oleh bimbel yang sudah jadi kebanggaan.

Seiring dengan turunnya dana BOS sudah saatnya manajemen pendidikan ditegakkan. Sekolah yang masih kekurangan dana jangan minta ke murid, minta lah ke pengusaha yang berkelas konglomerat yang suka menabung di Singapura. Hindarkan beban anak-anak kita dari soal pungutan uang, agar mereka dapat fokus pada prestasi. Saya bangga melihat pelajar kita yang mampu menyabet emas di Olimpiade Fisika. Sebaliknya saya prihatin ketika melihat pelajar kita pakai anting mungkin sedang over acting saking pusing ngemutan uang pungutan. Namun saya tetap kagum, ketika melihat isi tas pelajar kita yang berat-berat itu ternyata masih dijejali oleh buku-buku agama pegangan kita.

Begitu pula seiring dengan terealisasinya 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN, sudah saatnya UU guru dan dosen diimplementasikan. Nasibnya jangan seperti UU pokok agraria sebatas jadi pajangan saja. Mohon maaf, PP untuk Dosen sepertinya tak teragenda dalam bahasan di DPR.

Belum merdekanya dunia pendidikan kita ini, tampaknya memerlukan campur tangan Pak SBY. Pak SBY, seorang presiden yang begitu telaten dalam memberikan penghargaan. Hanya saja sayang, penghargaan kepada dosen belum saya lihat beliau berikan. Kata salah seorang anggota DPR mah, dosen itu kulturnya lain. Saya tak tahu, apa yang dimaksud kultur lain itu. Apakah dosen itu sama dengan malaikat yang tidak punya nafsu keduniaan ?. Wallahualam. Yang jelas dosen itu sekali saja berbuat khilaf, langsung masuk penjara.

Ya Allah, kata Pak Rokhmin Dahuri. Di mana, keadilan di negeri ini ?. Saya yang handeueul teu kacepretan akhirnya hanya bisa berucap, Ya Allah, semoga kebenaran di negeri ini ditampakkan. Yang benar itu benar, yang salah itu salah. Dirgahayu HUT RI. Merdeka! ***

Penulis, dosen Kopertis wil. IV Jabar-Banten, dpk. di Unsil Tasik.

Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2007

Grameen Bank dan Bank Syariah Indonesia

Muhammad Akhyar Adnan
Dosen UII Yogyakarta, Associate Professor di International Islamic University, Malaysia.

Akhirnya, atas undangan resmi Pemerintah RI, Muhammad Yunus, pendiri dan sekaligus Managing Director Grameen Bank dari Bangladesh sampai juga di Indonesia. Grameen Bank yang tidak bisa dilepaskan dari sosok M Yunus, memang sudah sangat terkenal. Selain sudah cukup lama berdiri (sekitar 24 tahun), bank ini dikenal dengan segala keunikannya yang kadang-kadang 'berbeda' diametral dengan industri perbankan pada umumnya.

Salah satu puncak pencapaian Grameen Bank adalah ketika sang pendiri dan pemimpin tertingginya, M Yunus mendapat anugerah Nobel pada tahun 2006 yang lalu. Ini semua membuat nama Grameen Bank semakin menjulang, baik di Barat maupun di Timur. Makin banyak ia dirujuk, dicontoh, dan diteladani. Setidaknya makin sering sang pendiri dan manajer puncaknya diundang untuk berceramah menceritakan keberhasilannya di berbagai kota di dunia. Uniknya lagi, timbul juga persepsi bahwa Grameen Bank adalah bank yang lebih 'Islami' dibandingkan bank syariah, sebuah ungkapan yang dilontarkan oleh seorang tokoh perbankan syariah nasional belum lama ini ketika beliau berkunjung ke International Islamic University, Malaysia.

Kita tentu sangat menghargai segala pencapaian Grameen Bank tersebut. Namun, semestinya tidak pula boleh silau dengan segala prestasi tersebut. Mengapa? Karena, di balik 'keberhasilan' Grameen Bank, ada beberapa catatan penting yang harus juga diketahui siapapun, sehingga dapat melihat bank tersebut secara lebih berimbang, dan tidak terjebak pada proses pencontohan taqlid (buta), yang kemudian tidak memberikan hasil apapun.

Terus terang, tulisan ini diilhami oleh dan merujuk pada dua makalah berbeda. Pertama, karya Prof MA Mannan, Alternative Credit Models in Bangladesh: A Comparative Analysis Between Grameen Bank and Social Investment Ltd: Myths and Realities. Makalah ini dipresentasikan dalam First International Islamic Conference on Inclusive Islamic Financial Sector Development pada 17-19 April 2007 yang lalu di Brunei Darussalam. Kedua, presentasi Prof Rodney Wilson, yang bertajuk Making Development Assistance Sustainable through Islamic Microfinance dalam IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, 23-25 April 2007 di Kuala Lumpur.

Catatan penting
Di antara hal-hal penting dari sisi lain Grameen Bank yang perlu, namun tak banyak diketahui adalah sebagai berikut. Pertama, Grameen Bank sama sekali tidak beroperasi berdasarkan hukum syariah Islam. Ini berarti bunga yang diakui oleh banyak ulama modern dunia sebagai sesuatu yang diharamkan (riba), tetap menjadi instrumen penting bagi operasi Grameen bank. Tidak hanya hanya itu, menurut Prof Mannan, tingkat bunga pinjaman di Grameen Bank adalah 54 persen. Sebuah angka yang sesungguhnya luar biasa mencekik. Lebih parah lagi, bila hidden costs (biaya-biaya tersembunyi, seperti biaya keanggotaan, dokumentasi, kewajiban provisi atas jumlah dana yang diblok dan lain sebagainya) diperhitungkan. Maka sesungguhnya tingkat bunganya mencapai 86 persen, sebuah angka yang sangat jauh dibandingkan bank konvensional pada umumnya, dan tentunya sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bank syariah sama sekali.

Kedua, model kredit mikro Grameen Bank merupakan versi baru dari ekonomi feodal dalam konteks hubungan peminjam dan pemberi pinjaman. Ketiga, model operasi kredit mikro Grameen Bank didasari asumsi implisit konflik kelompok dan paradigma neoklasik ortodoks Barat tentang ekonomi bebas nilai, yang cenderung pada upaya pemberdayaan wanita [saja], karena 95 persen nasabahnya adalah wanita. Konsekuensinya, seperti juga ditegaskan Rodney Wilson, banyak keluarga (nasabah) yang berantakan akibat perceraian.

Keempat, Grameen Bank berdiri atas landasan hukum yang berbeda dibandingkan usaha perbankan pada umumnya. Mungkin karena faktor ini, atau faktor lainnya, bank ini terbebas dari proses audit, baik oleh bank sentral, maupun audit eksternal lainnya. Tanpa bermaksud berprasangka negatif, ini tentunya mempunyai konsekuensi signifikan akan laporan pencapaian prestasinya. Setidaknya transparansi laporannya tidak memenuhi syarat standar good corporate governance.

Kelima, boleh jadi terkait ataupun tidak dengan faktor keempat, ternyata Grameen Bank juga mendapat fasilitas bebas pajak sama sekali. Ini merupakan hak istimewa luar biasa yang dimiliki Grameen Bank, di balik kemajuan pesat dan tentunya laba besar yang didapatkan dari tingginya tingkat bunga yang diterapkan kepada para nasabahnya.

Adalah menarik juga mengutip sebagian data dari tulisan Prof Mannan yang disarikan dari sebuah harian Bengali bernama Shomokal, yang terbit pada 19 Februari 2007. Harian ini menceritakan kondisi sebuah desa bernama Hillary Palli yang selalu menjadi desa kebanggaan (show-piece village) Grameen Bank. Dilaporkan bahwa kondisi desa ini memburuk, sehingga masyarakatnya tidak bisa keluar dari lilitan utang kepada Grameen Bank setelah 12 tahun. Banyak dari penduduk desa ini yang kemudian 'terpaksa' menjual tanah mereka, sehingga mereka menjadi orang yang tak punya tanah dalam arti sesungguhnya.

Apa yang disajikan ini, bila dibandingkan dengan filosofi dan orientasi bank syariah pada umumnya tentu sangat berbeda, untuk tidak mengatakan bertolak belakang sama sekali. Oleh karena itu, bila saja sejumlah bank atau usaha kredit mikro di Indonesia (khususnya yang berasas syariah) selama ini kagum pada Grameen Bank dan ingin mencontoh 'keberhasilannya', seyogianya (bank tersebut melakukannya) bukan tanpa reserve. Beberapa persoalan yang dibahas di awal tulisan ini haruslah menjadi perhatian semua pihak, agar tidak terjadi proses salah contoh, sehingga semakin menjauhkan bank syariah dari asasnya. Begitu pula, para pakar perlu lebih berhati-hati dalam memberikan ulasan, sehingga tidak terjadi proses 'memuji' yang salah, dan 'mencibir' yang benar, betapapun yang disebut terakhir mungkin belum sempurna dalam proses dan atau pencapaian tujuan-tujuannya.

Republika, 13 Agustus 2007

Silent Crisis Jakarta

Razali Ritonga
Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik BPS

Dalam waktu dekat, Jakarta akan memiliki gubernur baru. Berdasarkan hasil hitungan cepat dari sejumlah lembaga survei, tampaknya Fauzi Bowo-Prijanto memenangi pilihan gubernur dan wakil gubernur pada pilkada 8 Agustus lalu. Meski demikian, hasil akhir kemenangan itu mnggu pengesahan dari KPUD Jakarta untuk menjadi keputusan tetap.

Di saat yang sama, masyarakat Jakarta tengah menanti gebrakan dari gubernur dan wakil gubernur terpilih. Paling tidak, masyarakat berharap segala janji yang diucapkan saat kampanye dapat direalisasikan. Di tengah maraknya tuntutan mayoritas penduduk pada gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk mengatasi banjir dan kemacetan Jrta, ada sekelompok penduduk yang hidup dalam lilitan kesusahan.

Jika banjir dan kemacetan kerap menimbulkan kehebohan, maka penduduk yang mengalami kesulitan hidup dimaksud, jauh dari kehebohan. Mengingat jumlah penduduk yang terperangkap dalam kesulitan hidup itu tidak sedikit jumlahnya, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu bencana kemanusian yang jauh dari kehebohan (silent crisis).

Secara faktual, silent crisis menimpa penduduk yang memiliki kesejahteraan rendah. Ini terindikasi dari pemenuhan kebutuhan hidup yang jauh dari layak, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sanitasi lingkungan.

Potret buram
Hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2004 dan 2005 dapat dijadikan acuan untuk melihat potret buram dari silent crisis Jakarta. Pada aspek sanitasi lingkungan, seperti kebutuhan air minum dan tempat pembuangan air besar (tinja) dapat diamati dari Susenas 2005. Tercatat, rumah tangga yang memiliki akses air bersih dari ledeng kurang dari setengah total rumah tangga di DKI Jakarta (46,90 persen). Artinya, lebih dari setengah rumah tangga terpaksa bergantung pada sumber air minum lain, seperti air kemasan (17, 97 persen), pompa (28,15 persen), sumur (5,62 persen), serta mata air, air sungai, dan air hujan (1,36 persen).

Dengan melihat kenyataan ini, sudah waktunya gubernur dan wakilnya berupaya memperbesar akses rumah tangga pada air ledeng. Namun celakanya, sumber air bersih sebagai pasokan perusahaan air minum daerah kian terbatas. Salah satu kemungkinan adalah dengan mencari sumber air bersih dari daerah sekitar DKI Jakarta, seperti Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur). Untuk melakukan itu, barangkali sudah mulai perlu dipikirkan pencarian sumber air bersih melalui proyek pipanisasi secara langsung ke sumber-sumber air bersih di Bopunjur.

Aspek lain dari silent crisis adalah tempat buang air besar. Lebih dari seperempat (26,72 persen) rumah tangga tidak memiliki fasilitas tempat biang air besar sendiri. Mereka yang tidak memiliki tempat buang air besar itu terpaksa sharing dengan rumah tangga lainnya (19,94 persen), atau di toilet umum (6,04 persen), bahkan di tempat terbuka seperti sungai, kolam dan saluran got (0,74 persen).

Dengan lahan terbatas, tampaknya tidak mudah untuk membuat tempat buang air besar sendiri. Bahkan dari mereka yang telah memiliki tempat buang besar sendiri, mengandung risiko kesehatan, yakni jarak antara tempat buang air besar dan sumur air bersih kurang dari 10 meter. Hasil Susenas 2004 mencatat, sekitar 47,92 persen rumah tangga yang memiliki tempat buang air besar sendiri kesehatannya tetap terancam.

Pada aspek perumahan, silent crisis itu terlihat dari luas dan jenis lantai serta lampu penerangan. Hasil Susenas 2004 mencatat, sekitar 16 persen rumah tangga di DKI Jakarta menempati luas lantai rumah kurang dari 20 meter persegi, sekitar 3,85 persen rumah tangga menempati rumah berlantai tanah, dan sekitar 0,40 persen rumah tangga tidak memiliki akses penerangan lampu listrik.

Pemecahan masalah perumahan dan sanitasi lingkungan itu barangkali sukar dilakukan secara horizontal mengingat keterbatasan ruang. Jakarta kini menempati urutan kesembilan kota terpadat di dunia, setelah Mumbai, Hong Kong, Seoul, Manila, Surabaya, dan New Delhi, dengan tingkat kepadatan tahun 2001 sebesar 44.283 jiwa per kilometer persegi (Wikipedia Encyclopedia, Agustus 2007).

Maka, pemecahan masalahnya adalah secara vertikal. Terkait dengan rencana pemerintah membangun 1.000 menara rumah susun di Jakarta, sangat diharapkan hal itu menjadi kenyataan. Dalam konteks ini, diharapkan peran gubernur dan wakil gubernur terpilih dapat memfasilitasi percepatan pembangunan rumah susun dimaksud.

Kapabilitas dasar
Kapabilitas dasar dari silent crisis itu tercermin dari aspek kesehatan dan pendidikan. Pada aspek kesehatan, hal itu tercermin dari keluhan kesehatan, dan kasus gizi kurang. Meski berdasar data BPS tahun 2006 memiliki angka umur harapan hidup tertinggi kedua (72,4 tahun) setelah Yogyakarta (72,6 tahun), DKI Jakarta menyisakan sejumlah persoalan kesehatan. Keluhan kesehatan, berdasarkan hasil Susenas 2004, tercatat tertinggi kedua (57,91 persen) setelah Nusa Tenggara Timur (60,98 persen). Selanjutnya, balita yang menderita kekurangan gizi pada 2002 tercatat sekitar 23,2 persen. Kondisi yang kurang lebih serupa juga terjadi pada dunia pendidikan. Pada aspek pendidikan, silent crisis itu tercermin dari masih adanya penduduk yang tergolong sebagai penyandang buta huruf, yakni sekitar 1,7 persen pada 2005. Angka ini lebih tinggi dari Sulawesi Utara yakni sebesar 0,7 persen (BPS, 2006). Sementara. rata-rata lama sekolah sekitar 10,6 tahun, atau setara kelas dua SMA.

Perhatian terhadap pendidikan untuk wilayah DKI, barangkali perlu ditekankan pada Pulau Seribu. Pendidikan di wilayah ini, tertinggal jauh dibanding ke lima wilayah lainnya di DKI Jakarta. Tercatat, angka melek huruf di Pulau Seribu 96,6 persen, sementara lima wilayah lainnya telah mencapai di atas 98 persen. Rata-rata lama sekolah di pulau-pulau ini sekitar 6,9 tahun, atau setara kelas satu SMP, sementara di lima wilayah lainnya telah mencapai 10 tahun atau lebih, setara dengan kelas satu SMA.

Sebenarnya, masih cukup ruang bagi pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi silent crisis itu, mengingat APBD dan potensi ekonomi yang sangat besar. Untuk mengatasi silent crisis dimaksud, salah satu upaya adalah menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Tercatat, jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 277.100 orang (BPS, 2005), dan pengangguran terbuka sebanyak 590.022 orang (BPS,2007). Pengangguran dan kemiskinan ini sungguh persoalan yang serius.

Besar harapan, gubernur dan wakil gubernur terpilih nantinya dapat menyelesaikan persoalan Jakarta, yang tidak hanya terkait dengan banjir dan macet. Saat ini, pemerintah sudah saatnya untuk mengatasi persoalan secara lebih menukik pada persoalan mendasar penduduk, yaitu silent crisis.

Republika, 13 Agustus 2007