Oleh Aidir Amin Daud
ADA masalah dalam urusan administrasi kependudukan kita. Padahal UU soal ini termasuk PP-nya sudah keluar sejak beberapa bulan lalu. Urusan ini sesungguhnya ditangani oleh satu direktorat-jenderal yang Dirjen-nya kebetulan juga orang Sulsel Dr Rasyid Saleh, MA.
Dia menjadi motor keluarnya aturan soal kependudukan ini dan bekerja keras agar beberapa tahun mendatang, setiap orang hanya punya satu nomor kependudukan termasuk kartu penduduk. Maka urusan yang selalu geger dalam pilkada maupun pemilu, daftar pemilih tidak ada lagi. Selama ini KPUD selalu jadi
kambing hitam. Ketika berada di Surabaya bersama Dr Rasyid pekan lalu, saya menyaksikan bagaimana ia "marah-marah" karena masih ada dinas kependudukan yang seenaknya bicara urusan ini dan bekerja tidak sesuai aturan undang-undang. ‘’Saya harap ini terakhir Anda bicara seperti itu,’’ katanya tegas.
Saya kebetulan -- punya satu kerja yang sama dengan Dr Rasyid Saleh -- untuk menyelesaikan "pemukim" warga yang kebetulan punya darah Tionghoa, India dan Arab. Mereka bukan WN-asing tetapi juga tak diberi status WNI. Jumlahnya mencapai puluhan ribu. Mereka sudah hidup bertahun-tahun tanpa status WNI. Di Tangerang mereka termasuk bukan kelompok berada dan popular dengan nama "Cina Benteng".
Atas perintah Mendagri dan Menteri Hukum dan HAM, kami bertekad menyelesaikan masalah itu dalam dua-tiga bulan ke depan. Bagaimana mungkin, orang yang sudah hidup bertahun-tahun di Indonesia tidak jelas status
ke-WNI-annya. Padahal menurut Undang-Undang No 12/2006
tentang Kewarhanegaraan Indonesia, jika ada anak asing yang tidak jelas orang tuanya dan diyakini lahir di Indonesia, maka dia adalah orang Indonesia asli. Jadi kalau di suatu subuh, kita melihat sebuah keranjang di bawah pohon dan di dalamnya ada seorang bayi yang baru lahir, bermata ‘biru’ dan berambut "pirang" dan kita amat yakini sebagai anak orang bule, jika tak
diketahui orang tuanya, maka ia menurut Undang-undang adalah anak Indonesia asli.
Maka logika bahwa anak bayi saja (yang jelas-jelas bule) diakui sebagai anak Indonesia, lalu mengapa pula kelompok pemukim yang sudah hidup turun-temurun, masih sulit atau dipersulit status kewarganegaraannya?
Inilah yang harus diselesaikan. Masih terlalu banyak persoalan yang harus diselesaikan dan mengapa pula urusan ini belum-belum juga beres selama berpuluh-puluh tahun.
Perjalanan bangsa setelah 62 tahun menikmati kemerdekaan ini harus kita direnungi. Di samping berbagai kemajuan pembangunan yang telah tercapai
masih kita lihat di depan mata beratnya tugas kita menyejahterakan rakyat. Masih tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Selain faktor klasik mental manusia yang menyebabkan banyak permasalahan sosial ini, salah satu faktor penyebab yang cenderung diabaikan adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang terlalu cepat dan kurang terkendali.
Masyarakat yang tidak beruntung dan tak memiliki ekonomi yang cukup kuat, menjadi lebih merana lagi karena tak punya status kewarganegaraan. Mereka tak
bias memperoleh KTI-sebagai WNI. Mereka dalam situasi ekonomi yang begini sulit juga tak bias mendapatkan atau menikmati subsidi apapun yang diberikan pemerintah.
****
Maka sudah selayaknya, program dua departemen untuk mengakhiri masalah kelompok pemukim harus direspons dengan baik oleh para aparat RT/RW hingga tingkat Camat di setiap daerah. Kerumitan kerja gaya birokrasi harus diakhiri. Dalam beberapa pertemuan dengan aparat pemda baik di Jakarta, Tangerang maupun Jawa Timur, ada kesan kalau masalah bisa susah lalu kenapa harus dimudahkan. Saatnya aparat pemerintah di semua lini mengambil langkah pregresif menyelesaikan urusan ini.
Mengubah pola pikir: kalau bisa mudah kenapa harus disulit-sulitkan. Apalagi, jalan menuju ke Surga memang tidak hanya satu. ****
Sumber: Harian Fajar Makassar, 3 September 2007