Wednesday, January 3, 2007

Membaca Budaya Sunda

Oleh JAKOB SUMARDJO

SELAMA saya mencoba memahami artefak-artefak budaya Sunda sebagai simbol sosialnya, terutama artefak-artefak seninya, kesimpulan sementara yang dapat saya ambil adalah betapa kayanya kebudayaan ini dengan varian-variannya. Kita tidak dapat menyatakan bahwa budaya Sunda itu begini dan begitu akibat variannya yang banyak.

Kalau pernyataan seperti itu diungkapkan, mungkin cocok untuk beberapa varian, namun tentu ada melesetnya untuk varian-varian yang lain. Antropolog Amerika, Robert Wessing, dalam Konferensi Kebudayaan Sunda bertaraf internasional di Bandung, mengatakan bahwa Sunda sebagai kesatuan adalah sebuah abstraksi, kenyataannya Sunda itu beragam, namun Sunda juga adanya.

Realitas paradoks seperti ini segera terbaca ketika saya membaca transkripsi beberapa pertunjukan pantun Sunda dari berbagai daerah di Pasundan ini. Semua pantun Sunda adalah pantun Sunda, namun ada perbedaan antara pantun Cisolok dengan pantun Situraja, dengan pantun Kuningan, dengan pantun Bogor, dengan pantun Baduy. Begitu pula beberapa seni pertunjukan Sunda hanya ada di satu daerah, misalnya Garut, tetapi tidak ada di daerah Karawang, tidak di daerah Sumedang, dan lainnya. Topeng Betawi hanya ada di sekitar masyarakat Sunda di Jakarta dan Bekasi, Topeng Cisalak hanya ada di Bogor, Topeng Banjet hanya ada di Karawang, Topeng Cirebon hanya ada di Cirebon yang berbeda dengan Topeng Priangan.

Mereka yang ahli bahasa tentu akan menemui gejala varian yang serupa. Bahasa Sunda itu jelas bahasa Sunda, namun ada perbedaan antara bahasa di Priangan dengan di Bogor dan tempat lain. Benda yang sama oleh beberapa dialek Sunda disebut dengan nama yang berbeda-beda. Atau sebutan yang sama ternyata menunjuk pada kenyataan yang berbeda di beberapa daerah. Semua ini menunjukkan bahwa budaya Sunda itu amat kaya, amat beragam, amat bervarian, namun menunjukkan kesundaan yang sukar dirumuskan. Mungkin ini bukan hanya gejala budaya Sunda, namun realitas itu ada.

Inilah sebabnya orang harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam pers pro toto, yakni menyebut suatu varian Sunda sebagai milik seluruh budaya Sunda yang nomor dua besarnya setelah budaya Jawa itu. Tidak mengherankan apabila artikel M. Rosihan Anwar, Ph.D., "Negara Pasundan Versi Kartalegawa" ("PR" Selasa 12 Desember 2006) dapat menimbulkan salah baca karena "versi" tersebut tidak berarti "seluruh Sunda". Artikel itu dengan jelas menyebut bahwa masyarakat Sunda yang lain justru menentangnya. Menyebut bagian untuk keseluruhan tidak dapat diberlakukan begitu saja terhadap realitas budaya ini.

Dr. Nina N. Lubis menulis menulis dan mengedit buku berjudul Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (2000), yang menyadarkan kita bahwa sejarah Jawa Barat juga bervarian. Terbentuknya Banten, Cirebon, Galuh-Ciamis, Sumedang, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Bogor ternyata tidak merupakan suatu kesatuan peristiwa meskipun kadang ada hubungannya, tetap merupakan "cerita" tersendiri. Berbeda kalau orang mau menulis sejarah kota-kota lama di Jawa, misalnya, mau tak mau tentu mengacu pada pusat kekuasaan yang sama. Kota-kota itu berkembang sebagai bagian-bagian sejarah pusat yang sama meskipun mempunyai cerita yang berbeda pula.

Sekarang ini masyarakat Sunda Cianjur misalnya, dapat menyusun sejarah daerahnya sendiri yang tipis kaitannya dengan sejarah Banten atau sejarah Cirebon. Begitu pula artefak-artefak seni setiap daerah berbeda-beda. Bahasa Sunda juga bervarian. Namun semua perbedaan-perbedaan itu menuju satu kesepakatan bahwa itu semua Sunda. Genealogi Sunda itu kaya meskipun ada genealogi dasarnya yang sama, yakni budaya masyarakat peladang (huma).

Geografi Pasundan ini berbukit-bukit dan kaya hujan. Tantangan alam ini dijawab oleh masyarakat Sunda dengan mengembangkan teknologi pertanian ladang. Huma adalah ladang berpindah karena tanaman padi mengandalkan humus tanah dan hujan sehingga kesuburan tanah berusia terbatas sekitar 4-5 tahun. Sesudah itu harus dicari lahan baru dengan membuka hutan lagi.

Mobilitas ini tidak memungkinkan pembentukan kelompok besar, mungkin hanya sekitar 40-50 keluarga dalam satu kelompok. Kelompok kecil ini membentuk kesatuan dengan kelompok lain, yang biasanya pengembangan dari kelompok (kampung) aslinya. Masyarakat Sunda membentuk kesatuan kelompok itu dalam sistem tripartit. Di sini kebebasan dan keterikatan saling mengisi. Ke dalam, bebas dan otonom, tetapi ke luar, terikat oleh dua kelompok yang lain. Hubungan itu bersifat pembagian fungsi dan otoritas.

Silih asah, silih asih, silih asuh. Saling mengasuh berarti ada yang mengasuh dan diasuh. Pengasuh dipegang oleh kelompok asli tertua. Inilah penguasa adat yang amat dihormat. Kampung inilah pemilik mandat otoritas kekuasaan, namun ia tidak menjalankan mandat itu. Pelaku mandat adalah kampung Silih Asih, yakni eksekutif yang menyatukan ketiga kampung. Silih Asah dipegang oleh kampung ketiga. Asah berarti mengasah, menajamkan karena otoritas menjaga keamanan dan pertahanan ketiga kampung. Inilah kampung para ahli silat.

Kehidupan berladang ini merupakan embrio lahirnya konsep kebebasan dalam keterikatan. Plural tetapi tunggal. Tiga tetapi satu. Satu tetapi tiga. Pola ini masih hidup sampai hari ini di daerah perdesaan Sunda, dengan susunan kampung adat (buhun), kampung nagara (administrasi modern), dan kampung Islam di mana masjid besar berada. Varian-varian Sunda muncul dari sistem tripatit ini. Bebas tetapi menyatu. Sunda sini dan Sunda sana, namun satu Sunda. Secara eksistensi banyak Sunda, namun substansinya satu Sunda.

Dalam sistem Sunda semacam itu, pancakaki merupakan asas penting kekeluargaan atau kekerabatan. Hubungan darah lebih bermakna daripada kesatuan lokal. Inilah sebabnya lokal-lokal Sunda boleh banyak dan beragam, namun semua itu disatukan oleh darah Sundanya. Tidak heran apabila hitungan pituin tidaknya darah seseorang akan menentukan eratnya ikatan kekeluargaan. Sunda sejati adalah semua yang berdarah Sunda sejak awalnya.

Sistem ini juga menyulitkan untuk mencari satu tokoh Sunda yang mewakili seluruh kesundaan, justru karena kayanya varian. Satu-satunya tokoh yang mewakili seluruh Sunda ialah Prabu Siliwangi karena raja ini menyatukan seluruh Sunda dalam otoritas mandat sakralnya. Siliwangi adalah Sunda dan Sunda adalah Siliwangi. Ketika tokoh yang demikian itu tidak muncul lagi, kedudukannya digantikan lembaga agama Islam yang memang menyatukan seluruh kesundaan. Islam adalah Sunda dan Sunda adalah Islam.

Mungkinkah tokoh seperti Prabu Siliwangi akan muncul kembali sebagai simbol Sunda yang baru? Dalam hubungan ini jelaslah bahwa tokoh semacam Kartalegawa seperti ditulis Rosihan Anwar itu tentu tidak dibaca sebagai mewakili Sunda.

Sistem tripartit ini juga menyebabkan orang Sunda sangat ekologis. Gunung dan hutan dilestarikan. Pembukaan hutan selalu terbatas, bukan babad hutan. Kelestarian hutan menjamin tersedianya air dan hujan. Hutan-hutan sakral masih dapat disaksikan beberapa puluh tahun yang lalu di Pasundan ini. Orang dilarang menebangi hutan semacam itu, bahkan memasukinya pun dilarang.

Sebuah kesatuan tiga kampung atau enam atau sembilan, selalu dikaitkan dengan keberadaan hutan sakralnya. Kampung dan hutan (bukit) adalah pasangan kembar kehidupan. Keduanya saling mengisi dan memberi. Hutan memberi air, manusia melestarikan hutan. Tidak heran apabila gunung-gunung dan bukit-bukit (pasir) di tanah Pasundan terjaga keberadaannya sampai beberapa puluh tahun lalu. Hutan, dalam pikiran orang Sunda, dihuni oleh roh-roh raja. "Hati-hati kalau memasuki hutan Anu dan Anu karena bisa bertemu dengan Putri Anu dari Pajajaran", begitu bunyi pesan penduduk kampung dekat hutan. Berbeda dengan pandangan orang Jawa yang melihat hutan sebagai tempat bersemayamnya segala jin dan demit setan yang angker-angker. Hanya manusia sakti mampu memasuki hutan semacam itu.

Lestarinya hutan-hutan menyebabkan keterpisahan antarkelompok kampung juga semakin kuat. Hal ini menyebabkan varian Sunda semakin diperkuat. Varian bahasa berkembang. Kemandirian kesenian menyebabkan suatu daerah memiliki jenis seni tertentu, sedangkan daerah lain memiliki jenis seni yang lain. Peta varian budaya Sunda ibarat sebuah tapestry yang berisi jalinan varian-varian warna dan bentuk, yang muncul di sudut ruang kemudian menghilang dan muncul di sudut yang lain. Semua itu merupakan mozaik yang saling berkelindan, muncul, hilang bermetamorfosa di tempat lain. ***

Penulis, budayawan tinggal di Bandung.

Sumber: Pikiran Rakyat

No comments: