Thursday, January 4, 2007

Agen Perusak

Hadi S Alikodra
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

Dalam dua tahun terakhir, Sumatera yang dulu jarang dilanda banjir, kini telah jadi langganan banjir --bahkan lebih parah ketimbang banjir di Pulau Jawa. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), misalnya, banjir yang muncul di akhir Desember ini telah menyebabkan 70 orang tewas dan 200 ribu orang mengungsi.

Kita masih ingat, jika 26 Desember 2004 lalu banjir raksasa muncul akibat gempa tektonik 8,9 skla richter di bawah laut, maka 26 Desember 2006 banjir raksasa itu muncul akibat gundulnya hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Meski banjir Desember 2006 hanya menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan 200 ribu warga Aceh mengungsi --tak sedahsyat tsunami Desember 2004-- tapi jika dilihat sebab musabab banjir 2006, maka potensi destruktifnya jauh lebih besar dan lama dibanding tsunami.

Bahaya deforestrasi
Mengapa deforestasi lebih berbahaya ketimbang banjir karena tsunami? Pertama, karena banjir Aceh 2006 penyebabnya adalah manusia, sedangkan banjir Aceh 2004 (tsunami) penyebabnya adalah alam. Tidak seperti manusia yang punya kehendak bebas, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukumnya yang teratur dan mengikuti pakem-pakem tertentu. Ini berbeda dengan manusia. Kehendak bebasnya bisa menjadikan manusia sebagai 'agen perusak' sekaligus 'agen penyelamat' lingkungan.

Manusia bisa 'bekerja' untuk merusak atau membangun kapan saja di mana saja. Dalam kasus banjir Aceh 2006, manusia telah menjadi 'agen perusak' sehingga muncul banjir raksasa yang amat merugikan manusia dan lingkungannya. Pikiran yang konstruktif dari manusia ternyata tak mampu menahan ambisi pikiran yang destruktif sehingga alam pun turut hancur bersama pikiran manusia yang destruktif tadi.

Kedua, banjir Aceh 2006 sebetulnya sudah lama diprediksi sejak TNGL mulai dijarah kayunya. Peristiwa banjir bandang di kawasan wisata Kali Bohorok, Bukit Lawang, Langkat, Sumut (2/11/03) yang menewaskan 200 orang lebih, semestinya menjadi peringatan untuk para pemangku kepentingan guna mencegah illegal logging secara serius, khususnya yang terjadi di TNGL. Tapi apa yang terjadi sejak tragedi Bohorok tersebut, nyaris tak ada kebijakan berarti untuk mencegah penggundulan di TNGL.

Proyek jalan tembus Ladia Galaska yang membujur dari Lautan Hindia, Gayo Alas, sampai ke Selat Malaka yang dikritik para ahli dan aktivis konservasi serta lingkungan terus berjalan. Padahal, proyek Ladia Galaska yang menembus rimba raya TNGL tersebut dikhawatirkan bakal menjadi sarana transportasi illegal logging. Kekhawatiran itu ternyata benar adanya. Sejak dibangunnya jalan tembus Ladia Galaska, aktivitas illegal logging makin seru dan sulit ditangani. Menurut sejumlah aktivis konservasi dan lingkungan di NAD, kecepatan penggundulan sejak adanya jalan tembus tersebut makin besar dan bertambah besar lagi setelah adanya proyek rekonstruksi Aceh pascatsunami.

Ketiga, tidak seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi, banjir di Aceh sebetulnya bisa dicegah asal semua pihak berupaya keras untuk mencegahnya. Gerakan penanaman pohon yang dicanangkan pemerintah pusat ternyata gaungnya tak sampai ke daerah. Pemerintah tampaknya terlalu irit dana untuk mensosialisasikan gerakan penanaman pohon dan reboisasi hutan yang gundul. Musibah banjir dan longsor yang tiap tahun terjadi di mana-mana tampaknya belum menjadi pemicu untuk mensosialisasikan kepada publik secara luas dan besar-besaran betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan dan reboisasi hutan-hutan yang gundul tersebut.

Berdasar data Yayasan Leuser Indonesia (YLI) perambahan hutan di kawasan ekosistem Leuser meningkat hingga 463 persen dalam setahun terakhir. YLI juga menemukan banyak tempat penggergajian kayu untuk rekonstruksi Aceh. Dari mana kayu itu, jika bukan berasal dari illegal logging? Banyak pihak ikut bermain di bisnis kayu ilegal dan para pemangku kepentingan terkesan membiarkannya karena alasan rekonstruksi Aceh pascatsunami tadi.

Rudi Hardiyansyah Putra, monitoring officer YLI, misalnya, mengemukakan pengamatannya: hingga tahun 2003 kerusakan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) mencapai 30 persen atau 0,78 juta hektare dari 2,6 juta hektare areal hutan. Selama ini, kerusakan tersebut berkisar 10 ribu hektare per tahun. Setelah tsunami dan masa rekonstruksi Aceh, laju kerusakan itu mencapai 20 ribu hektare per tahun --dua kali lipat dari sebelumnya.

Selama Maret-Juni 2006, ungkap Rudi, ditemukan 190 titik perambahan hutan ilegal di KEL. Yang terluas di Kabupaten Aceh Tamiang dan Langkat. Kita tahu kemudian, banjir bandang terbesar 2006, terjadi di dua kabupaten tersebut. Sebagian besar wilayah Kabupaten Langkat terendam air dan seluruh Kabupaten Aceh Tamiang tergilas banjir bandang.

Pada 'titik rekonstruksi Aceh' ini memang terjadi ironi. Di satu sisi, berbagai pihak, dari dalam dan luar negeri, membantu rekonstruksi Aceh pascatsunami. Tapi di sisi lain, bagaimana agar bantuan itu tidak merusak Aceh, mungkin belum terpikirkan lebih jauh. Seperti kita ketahui semua, yang namanya membangun rumah pasti membutuhkan kayu. Bayangkan berapa jumlah kayu yang dibutuhkan untuk membangun 130 ribu unit rumah.

Saat ini saja, ketika rumah yang dibangun baru mencapai 57 ribu unit, banjir bandang pun kembali menggilas Aceh. Kayu-kayu untuk pembangunan rumah tersebut, siapa pun tahu, sebagian besar berasal dari illegal logging di TNGL. Seperti diungkapkan dalam dialog Metro TV Senin malam (25/12/06) tentang banjir Aceh, pemerintah seakan membiarkan illegal logging di TNGL karena kayunya dibutuhkan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Fenomena ini jelas sangat ironis. Di satu sisi pemerintah peduli dengan pembangunan perumahan di Aceh, sementara di sisi lain, pemerintah tak peduli dengan kerusakan TNGL yang dijarah kayunya untuk pembangunan perumahan di Aceh. Peristiwa ini, persis seperti sindiran Tuhan dalam Alquran (Surat Al-Baqarah 11 dan 12) yang menyatakan bahwa mereka itu sepertinya sedang membangun, tapi sebetulnya sedang membuat kerusakan.

Saatnya bertindak
Banjir serta longsor di Aceh dan Langkat Desember 2006 hendaknya menjadi perhatian semua stake holder bahwa kini sudah saatnya semua pihak berjuang untuk memperbaiki lingkungan dan menyelamatkan hutan di TNGL. Tak ada waktu untuk menunggu dan berpikir dengan segala macam dalih guna menunda reboisasi dan menyelamatkan hutan di TNGL.

Tragedi banjir bandang Bohorok tiga tahun lalu yang menewaskan dua ratus orang lebih adalah sebuah 'peringatan alam' yang ternyata diabaikan oleh semua stake holder. Saat itu, Departemen Kehutanan menolak tudingan bahwa musibah Bohorok adalah akibat penggundulan TNGL. Kini terbukti, bahwa tragedi Bohorok dalam skala yang lebih luas, terjadi di Aceh dan Langkat. YLI telah membuktikan adanya korelasi antara tingkat penggundulan TNGL dan besaran banjir per wilayah di NAD dan Sumut.

Kini, saatnya pemerintah harus menindak keras para pelaku illegal logging. Bila perlu, pemerintah menyiapkan UU yang lebih keras terhadap pelaku illegal logging --sama kerasnya terhadap pelaku terorisme. Jika kerasnya UU terorisme karena dorongan pihak luar, terutama AS, maka kerasnya UU illegal logging muncul karena dorongan dari dalam diri kita sendiri.

Bangsa Indonesia telah merasakan betapa beratnya menanggung beban musibah banjir dan longsor tiap tahun. Ribuan jiwa melayang dan triliunan harta benda lenyap tak berbekas. Supaya efektif, undang-undang tersebut harus mampu menghukum pihak-pihak yang terkait dengan illegal logging baik langsung maupun tak langsung --termasuk penadah-penadahnya. Dalam hal terakhir ini, tak terkecuali jika penadah itu merupakan lembaga pemerintah, baik lokal, nasional, maupun internasional. Dalam hal ini, seperti pada lembaga yang menangani rekonstruksi Aceh --jika mereka menggunakan kayu illegal logging, mereka pun harus diganjar dengan keras. Tanpa itu semua, hutan Indonesia akan hancur.

Ikhtisar
- Banjir di Pulau Sumatera merupakan pertanda alam telah terjadinya perusakan lingkungan yang sangat parah.
- Bahaya akibat rusaknya daya dukung lingkungan, jauh lebih berbahaya dibanding tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004.
- Rekonsutruksi Aceh pascatsunami dan pembangunan jalur Ladia Galaska, ikut mempercepat terjadinya perusakan hutan yang kini menimbulkan banjir.
- Pemerintah harus memperlakukan para perusak lingkungan sebagai teroris.

( )
Sumber: Republika

1 comment:

Anonymous said...

hi every person,

I identified koloms.blogspot.com after previous months and I'm very excited much to commence participating. I are basically lurking for the last month but figured I would be joining and sign up.

I am from Spain so please forgave my speaking english[url=http://boworlddiscovery.info/bookmarks].[/url][url=http://thehottesttopicsle.info/].[/url][url=http://maceleberitygossip.info/forum].[/url]