Thursday, December 28, 2006

ABS, sebuah catatan akhir tahun

oleh : Hilda Sabri Sulistyowartawati

Masih ingat singkatan ABS? Tentu saja kita ingat karena akronim dari asal bapak senang itu begitu populer di zaman Orde Baru.

Jika seseorang pandai mencari muka pada atasan dan hanya mengikuti apa kata bos, itulah ABS.

Di sektor pariwisata, singkatan ABS ini saya anggap paling tepat untuk menggambarkan cara kerja penyelenggara negara dan kalangan industrinya. Soalnya meski memiliki berbagai instrumen namun pariwisata Indonesia tetap terseok-seok. Bahkan untuk sekedar memulihkan citra aman di mata dunia pun begitu sulit.

Coba lihat negara lain yang kekayaan alam, seni dan budayanya tak seberapa. Mereka sudah melesat jauh dan banyak menuai devisa.

Pada 2005 Badan Pariwisata Dunia (UNWTO) mencatat ada 808 juta wisatawan dengan devisa mencapai US$800 triliun yang dihasilkan industri jasa terbesar di dunia ini.

Pariwisata kini menjadi motor penggerak sosial-ekonomi banyak negara di dunia. Penghasilan dari sektor ini termasuk tiket penerbangan, hotel, restoran dan kegiatan wisatawan domestik.

Meskipun didera inflasi industri wisata dunia tetap tumbuh 11,2% tahun lalu. Padahal selama lebih dari setengah abad sejak 1950 pertumbuhannya hanya 6,5%.

Coba tengok kinerja pariwisata tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang masing-masing sudah mencapai angka kunjungan belasan juta wisman. Malaysia 2006 ini targetnya 17 juta wisman. Hingga Agustus lalu negara serumpun itu sudah mencatat 11,5 juta wisman, naik 5,9% dari periode yang sama 2005.

Membandingkannya dengan Indonesia jauh panggang dari api. Pariwisata Indonesia tahun ini kembali turun. Jangankan mendapat pertumbuhan dua digit, sampai akhir Desember 2006 ini proyeksinya malah turun menjadi 4, 8 juta. Padahal tahun lalu lima juta wisman.

Memang sepanjang tahun ini Indonesia dirundung malang dengan adanya gempa di Yogyakarta dan Pangandaran, kasus flu burung, masalah asap, lumpur di Sidoarjo dan diakhir tahun ditutup dengan banjir bandang di Aceh Timur, NAD. Akibat musibah ini sedikitnya 500 orang tewas dan ribuan warga jadi pengungsi.

Belum termasuk banjir lainnya di Sumbar, Sumut serta Riau yang datang hampir bersamaan menjelang Natal. Masih banyak lagi yang mengganggu citra Indonesia di luar negri sebagai salah satu negara yang aman dan nyaman untuk menjadi tujuan wisata.

Kabinet Indonesia Bersatu sebenarnya sudah menghasilkan satu Inpres No: 16/2005 hasil pertemuan Presiden SBY dengan 17 menteri di Istana Tampak Siring, Bali, Febuari 2005 untuk mensinergikan kordinasi guna mengembangkan sektor pariwisata nasional.

Bersenjata Inpres itu kalangan industri pariwisata berharap segera ditindaklanjuti dengan Tourism Summit untuk memudahkan pemerintah dalam mengelola pariwisata dengan satu komando di tengah minimnya dana promosi. Tapi hingga penutup 2006, Tourism Summit belum terwujud.

Apa mau dikata kalau senjata ampuh tersebut di tangan Menbudpar belum diberdayakan dengan optimal. Padahal ibarat seorang dirijen pagelaran musik, bukan irama dan suara pemerintah saja yang harus disinergikan tapi justru peran swasta dan masyarakat yang mampu menggerakkan roda perekonomian.

Tak heran ketika peringatan dua tahun masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu, Oktober, industri pariwisata mengharapkan ada wajah baru di sektor ini. Tapi aroma ABS pula yang membuat kepala negara ditengarai menolak untuk melakukan reshuffle sejumlah menterinya.

Sikap hati-hati Presiden untuk tidak mengganti menteri-menterinya yang kurang berprestasi dari berbagai partai politik memang bisa dimengerti ke mana arah dan tujuannya agar tetap eksis dan dapat merealisasikan visinya hingga 2009. Lembaga baru pun dibentuk meski menuai protes.

Entah tidak tahan kritik atau memang tidak mau mendengar, sejak Oktober lalu kalangan pers terus dinasehati untuk tidak menulis berita miring. "Jangan mudah terkena hasutan karena kepentingan negara di atas segalanya."

Mungkin itu pula yang mendorong Depbudpar mengemas kegiatan outbound pada 8-9 Desember 2006 untuk kalangan pers. Dalam segala kesempatan pesan sponsor untuk tidak memelintir berita terus didengungkan oleh Menbudpar dan jajarannya.

Salah dalam menafsirkan fungsi pers ini akhirnya akan menenggelamkan peranan pers dalam pengembangan pariwisata nasional. Menjadikan pers sebagai alat untuk membudayakan ABS di lingkungan itu adalah kesalahan fatal yang harus cepat disadari dan diperbaiki.

Kemitraan 3 in 1 antara pemerintah, swasta dan masyarakat bukanlah sekedar slogan. Tapi bila diterapkan akan menjadi suatu kekuatan yang besar bagi pengembangan pariwisata nasional. Sayang sekali momentum untuk melakukan evaluasi akhir tahun dengan pers justru diabaikan.

Depbudpar seharusnya bisa menjadi payung dan menggerakkan agar kalangan media mau memberikan ulasan yang menunjukkan optimisme. Pelaku pariwisata seharusnya jadi penggerak dan solid antara satu dan lainnya.

Apa mau dikata kalau kelemahan dari pengembangan pariwisata nasional ini justru juga datang dari para pelakunya. Pers tidak pernah tidur dan bisa mengendus ada aroma ABS juga di dalam tubuh asosiasi sehingga mereka hanya terfokus masalah intern.

Bagaimana tidak menuai protes anggota kalau para ketua asosiasi pariwisata yang ada tidak bisa membedakan kepentingan organisasi dengan kepentingan bisnisnya? Padahal Depbudpar sudah merasa cukup mendengarkan dan bersinergi dengan asosiasi yang ada.

Bukan itu saja, hubungan antara asosiasi pariwisata dan industri penunjangnya juga tidak sehat. Malah saling melancarkan ancaman saling boikot.

Salah satu pemilik perusahaan penerbangan swasta dengan arogan dan secara terbuka mengabaikan peran travel agent. Dia tidak ambil pusing kalau tiket penerbangannya tidak dijual melalui agen.

Sinergi yang kuat harusnya menjadi landasan di kalangan industri pariwisata. Tidak boleh ada yang merasa lebih penting dari pada yang lain karena semua harus saling menunjang.

Simaklah hasil analisa kartu Visa Internasional di Indonesia yang dikeluarkan November. Pada 2005 wisman pemegang kartu ini yang datang ke Indonesia membelanjakan Rp 5,6 triliun. Separuh dari mereka datang dari kawasan Asia-Pasifik yang mengeluarkan 34% untuk akomodasi, ritel 16%, restoran dan F&B 6%, sport dan leisure 6% dan transportasi 6%.

Bayangkan kalau asosiasi pariwisata yang ada tidak solid untuk memberikan kontribusinya guna meningkatkan pelayanan jasa pariwisata yang ada. Ke depan, penurunan kunjungan wisman mungkin tidak bisa direm lagi.

Deretan panjang ketidakharmonisan di antara para pelaku usaha itu tetap ada, sementara kalangan industri tidak efektif pula kalau harus berhubungan dengan banyak menteri untuk menyelesaikan berbagai persoalan dari soal kebijakan hingga persaingan usaha.

Solusi untuk mendudukan kalangan pemerintah, profesional, politisi bahkan pers nasional secara bersama sebenarnya sudah tertuang di Inpres 16/2005. Tinggal ada kemauan untuk memfungsikannya atau Inpres itu tetap disimpan di laci ?

Hilda Sabri Sulistyo, Wartawan Bisnis Indonesia

No comments: